Zalim terhadap Diri

Tubuh kita bukan robot yang bisa bekerja tanpa henti, melainkan dua sisi yang saling bersinergi. Ada saatnya bekerja dan ada pula hak-haknya yang mesti dipenuhi.

Oleh Puspa Dani

Sudahkah kita berbuat adil terhadap diri?

Memberi hak kepada diri sesuai porsinya atau malah abai? Kadang kenyataan berkata lain. Pesona dunia begitu menggoda.

Contoh sederhana, saat beraktivitas di malam hari, menyelesaikan laporan atau menuntaskan sebuah pekerjaan, misalnya. Mata sudah mengantuk berat, tak sanggup lagi untuk bertahan, sementara pekerjaan belum selesai. Maka kita berusaha untuk melawan kantuk yang menyerang, memaksakan diri untuk menyelesaikan. Padahal tubuh sudah memberi sinyal untuk berhenti, butuh istirahat.

Berbagai usaha dilakukan agar mata kembali nyalang. Minum segelas kopi, misalnya, kadang malah diberi sejumput garam. Hingga kemudian kantuk menghilang, pekerjaan pun dilanjutkan. Bergadang sampai tengah malam, keasyikan, bisa sampai pagi.

Padahal sudah banyak peringatan bahwa tidur larut malam, apalagi bergadang sampai pagi, sangat membahayakan kesehatan.

Bang Roma Irama, artis senior, dengan lagunya memberi nasihat untuk jangan sering bergadang: “Bergadang jangan bergadang, bergadang tiada artinya. Bergadang boleh saja asal ada perlunya.”

Perut memberi kode lapar, tetapi kita tidak segera makan. Tetap dipaksakan bekerja. Padahal, apa salahnya sejenak makan untuk memenuhi hak diri? Di saat penyakit bermunculan, barulah penyesalan tiba. Padahal itu terjadi akibat kesalahan kita sendiri.

Kita lupa bersyukur dengan segala nikmat yang telah Allah berikan. Sibuk mengurus dunia, kadang malah akhirat terabaikan. Ketika usia mulai menua, barulah semua disadari. Ternyata selama ini kita telah zalim terhadap diri.

Beraktivitas di siang hari, tubuh tetap perlu beristirahat. Namun kadang kita juga abai. Dipaksakan untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan. Tenaga diforsir tanpa batas. Entah apa yang dikejar. Padahal dunia semakin dikejar semakin menjauh. Hingga kemudian berujung lelah, malah bisa berakibat sakit parah. Sekali lagi, zalim terhadap diri.

Padahal Allah sudah menciptakan semua berpasangan. Ada siang ada malam, ada terang ada gelap, ada senang ada pula susah, dan lain sebagainya. Demikian pula tubuh, ada masanya bekerja dan perlu waktu pula untuk beristirahat.

Tubuh kita bukan robot yang bisa bekerja tanpa henti, melainkan dua sisi yang saling bersinergi. Ada saatnya bekerja dan ada pula hak-haknya yang mesti dipenuhi.

Sudah waktunya bermuhasabah sebelum terlambat. Bekerjalah, tak ada yang melarang. Namun ingat, ada batas-batas yang perlu kita pahami dan indahkan. Jangan sampai terlambat, hingga raga tak berdaya dan jiwa menjadi sengsara.

Kalau kita telah memahami hal itu, maka marilah sesuatu itu kita letakkan pada tempatnya. Allah menciptakan siang untuk bekerja dan malam hari untuk beristirahat.

Para ahli kesehatan sering mengingatkan bahwa pada malam hari, pukul 23.00 sampai pukul 02.00 WIB, kita sudah mesti tertidur. Karena pada jam tersebut, tubuh kita melakukan detoksifikasi dan regenerasi sel. Sehabis jam tersebut, silakan bangun untuk beraktivitas.

Hal itu tentu sangat sesuai dengan ajaran agama kita, Islam. Bangunlah di tengah malam untuk melaksanakan ibadah salat tahajud.

Namun sayang, kita mengabaikan itu karena tuntutan pekerjaan. Malahan kadang hanya untuk hal sia-sia. Asyik main gadget hingga lupa waktu. Tanggung, eh ternyata sudah pagi.

Marilah kita bermuhasabah sebelum segalanya terlambat. Ubahlah pola pikir dan pola kerja. Tubuh kita juga butuh istirahat, perlu penyegaran atau, istilah orang sekarang, healing. Refreshing tidak perlu jauh-jauh, yang penting menyenangkan.

Kita yang tahu apa yang diinginkan tubuh kita. Maka berikanlah haknya. Waktu bekerja, mari bekerja. Waktu istirahat, bawalah beristirahat. Jangan dipaksakan juga untuk menyelesaikan pekerjaan. Tinggalkan dulu, mengaso dulu. Nanti kalau kondisi tubuh terasa sudah pulih, barulah pekerjaan dilanjutkan.

Pergilah berwisata dengan mereka yang tersayang. Nikmati kebersamaan. Jalin keakraban. Lupakan aktivitas rutin sejenak. Hormon bahagia akan membuat tubuh kembali semangat untuk bekerja.

Sebagai seorang muslim, perbanyaklah ibadah dan istighfar. Kita mengakui selama ini telah berlaku zalim terhadap diri. Tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali atas pertolongan Allah yang Maha Luhur dan Maha Agung.

Semoga kita segera berhenti berbuat zalim terhadap diri. Memberikan hak diri sesuai kapasitasnya. Sehingga kita bisa menjalani kehidupan ini dengan tenang, sehat, dan bahagia. Wallahualam Bissawab. []

Puspa Dani, Pendamping Satuan Pendidikan di Dinas Pendidikan Pasaman Barat. Penulis, Pegiat Literasi, dan anggota FPL Pasaman Barat. Salah satu peserta Sekolah Menulis ellipsis (SMe).

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.

Penulis: Puspa Dani

Editor: Muhammad Subhan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan