Yang Bicara dengan Tulisan
Heru Joni Putra (kiri) di Kusala Sastra Khatulistiwa ke-17, 25 Oktober 2017. Sumber: Wikipedia Commons, diakses melalui Google.com
Oleh Aqila Minhatul Mawla
DESIRAN debu menyapu jalan raya dan bisikan percakapan terdengar di telinga saya. Saya bertemu banyak anak muda yang menghabiskan waktu dengan duduk di kafe sambil tertawa dengan temannya, anak muda yang mengendarai kendaraannya dengan kebut sambil melewati lampu merah. Sebagian besar generasi muda saat ini sering menghabiskan waktunya dengan hal yang kurang produktif, sangat sedikit di antara mereka yang menunjukkan minat terhadap literasi. Ya, generasi muda di Payakumbuh saat ini kekurangan minat terhadap sastra.
Padahal, dulunya Payakumbuh merupakan pencetak sastrawan hingga bergema di kancah nasional, seperti Gus Tf yang tidak hanya diakui di Indonesia, namun sampai ke Asia Tenggara, Iyut Fitra yang menjadi Peraih Penghargaan Sastra Kemendikbud RI (2020), Adri Sandra yang menjadi Peraih tiga Rekor MURI, dan masih banyak sastrawan lainnya. Dengan aksi hebatnya, mereka membawa harum nama Payakumbuh ke seluruh Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Sungguh disayangkan, jika kita sebagai generasi muda bersikap abai akan sejarah serta perkembangan sastra di Payakumbuh.
Apakah kita sebagai generasi muda akan menutup mata soal ini? Dan pernahkah kamu berpikir bahwa kebanyakan manusia sering mengandalkan mulutnya untuk mengekspresikan dirinya? Seperti halnya yang sering dilakukan anak muda saat ini, yaitu curhat kepada teman sebaya. Tetapi, apakah berbicara adalah salah satu cara untuk mengekspresikan diri kita? Atau bisakah kita menggunakan karya tulis sebagai media untuk berekspresi?
Hal ini tertanam pada diri Heru Joni Putra. Ia lebih akrab disapa Heru. Ia percaya, mengekspresikan diri tidak selalu dengan berbicara. “Menulis adalah alat utama untuk menyampaikan apa pun yang saya pikirkan,” tutur Heru melalui tulisan yang dikirimkannya via WhatsApp, Senin (26/05/25) lalu.
Heru menulis hingga ia menjadi pemenang Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta (2023). Selain itu, ia juga berhasil menerbitkan buku yang berjudul Badrul Mustafa Badrul Mustafa Badrul Mustafa (2017) yang telah diterjemahkan oleh George A. Fowler ke dalam bahasa Inggris dengan judul Will Badrul Mustafa Never Die: Verse from the Front (2020), sehingga peminat sastra dari berbagai belahan dunia dapat menikmati karyanya. Ia juga menulis buku esai Suara yang Lebih Keras: Catatan dari Makam Tan Malaka (2021) beserta naskah puisi Suatu Hari di Batas Ilmu Pengetahuan (2023).
Sebetulnya, penyair yang berusia 34 tahun itu adalah orang yang cenderung pendiam. Seperti yang diceritakannya kepada saya, ia sempat menderita gagap yang cukup parah saat ia menduduki bangku SMP. Hal ini menyebabkan ia enggan berbicara dan mengobrol dengan teman sebayanya. Ia lebih sering berdiam diri dan mengekspresikan dirinya melalui tulisan.Karena itulah ia mulai menulis, terutama semenjak masuk ke dunia pendidikan. Setelah tamat, ia mulai memamerkan karyanya.
Pada awalnya, ia mengirim tulisannya ke koran cetak seperti Padang Ekspres. Karya-karya Heru juga dimuat di media nasional, seperti Kompas, Koran Tempo, dan Majalah Horison yang merupakan majalah sastra bulanan paling lama yang bertahan di Indonesia. Berawal dari situlah, Heru memperoleh banyak penghargaan dari karya yang diciptakannya.
Pada 3 Oktober 1990 di Tiakar, Kecamatan Payakumbuh Timur, Kota Payakumbuh, Sumatra Barat, Heru menghirup udara pertamanya sebagai permata hati dari sepasang kekasih. Heru tertarik dengan sastra semenjak ia SD. “Biasanya Ayah yang memberikan sebagian besar bahan bacaan saya,” kata Heru. Ia juga sering menyisihkan uangnya untuk membeli koran, majalah, tabloid, dan komik yang ia beli di Toko Hizra dan toko buku lainnya di sekitar Pasar Payakumbuh, atau ia membeli buku bacaan setiap kali ada acara Pacu Kuda di Gelanggang Kubu Gadang.
Tantangan yang dihadapi Heru tak hanya menderita gagap, tetapi ia harus mengalami rasanya kehilangan sosok yang sangat penting dalam kehidupannya. “Ayah saya seorang wartawan, namun beliau meninggal ketika saya kelas dua SMP,” kata Heru sambil menambahkan bahwa kepergian ayahnya juga berpengaruh pada pemenuhan biaya pendidikannya.
Walaupun begitu, ia tetap gigih untuk mempelajari sastra. Setelah mengalami duka yang mendalam, Heru mulai belajar menulis sastra saat menduduki kelas sembilan SMP. Sebagaimana dikatakannya, “Semenjak kelas tiga SMP, saya mulai belajar menulis sastra.”
Menulis karya sastra Heru jadikan sebagai media untuk mengekspresikan dirinya, seperti yang telah saya singgung sebelumnya. Mulanya, ia membuat catatan harian, lama-kelamaan karya tulisan Heru mulai berkembang. Ia mulai mempelajari karya sastra seperti puisi, cerita pendek, dan esai. “Saya pelajari semuanya karena setiap genre punya karakteristik yang berbeda dan karena itu mewadahi kebutuhan yang berbeda dalam pikiran saya,” tambah Heru.
Puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo adalah beberapa yang dipelajarinya pada masa-masa awal. Selain itu, ia juga dipengaruhi oleh sastrawan Payakumbuh yang dikenalnya. “Saya dipengaruhi oleh semua sastrawan yang saya kenal dan baca karyanya. Tentunya Gus Tf, Iyut Fitra, Adri Sandra, Feni Efendi, Damhuri Muhammad, Zelfeni Wimra, Ahda Imran, A. Damhoeri, Apria Putra Angku Mudo Khalis, dan seterusnya,” tutur Heru.
Alumnus SMA Negeri 1 Kota Payakumbuh ini merupakan siswa yang cerdas dan sering menjadi juara kelas. Meskipun rajin, ia tidak kesulitan membagi waktu untuk mempelajari sastra dan belajar di sekolah. Ia juga sempat untuk bermain band dan berleha-leha di pos ronda. “Mungkin karena waktu itu saya tidak punya motor, tidak punya televisi, tidak punya komputer, tidak punya handphone, hanya punya sepeda. Sehingga rasanya waktu tidak kurang sama sekali,” tutur Heru.
Rovindo Maysa, temannya sewaku SMA, memang mengatakan kalau Heru anak yang rajin. “Rasa ingin tahunya tinggi,” kata Rovindo saaat diwawancara lewat WhatsApp pada Selasa (10/06/25) lalu.
Selain rajin, Heru juga dikenal sebagai sosok yang ramah dan gemar berkomunitas. “Dia memang suka berkomunitas,” jelas Rovindo. “Heru tidak hanya dekat dengan anak penulis, tetapi juga dengan anak teater dan anak musik,” tambah Rahma Della yang merupakan seorang teman komunitas Heru pada Kamis (19/06/25) lalu.

Perpustakaan Komunitas Seni Intro Payakumbuh
Begitu tamat SMA, Heru melanjutkan pendidikannya di Universitas Andalas Jurusan Sastra Inggris dan mendapatkan gelar sarjananya pada tahun 2015. Heru melanjutkan pendidikan S-2 di Universitas Indonesia dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 2019. Setelah itu, Heru giat bergabung dengan beberapa komunitas, seperti komunitas Bengkel Sastra Dewan Kesenian Sumbar di INS Kayu Tanam, komunitas seni Intro yang bertempat di Payakumbuh dan Rumah Kreatif Kandangpadati di Kota Padang.
Setelah menimba ilmu di banyak komunitas, Heru aktif menciptakan karya dan memperoleh banyak penghargaan. Salah satunya, ia dinobatkan sebagai Tokoh Seni Pilihan Majalah Tempo (2017). Karya-karyanya juga muncul di beberapa buku antologi, di antaranya Hutan Pinus (2011).
Selain menciptakan karya-karya yang terkenal hingga kancah internasional, Heru juga ikut serta menyelenggarakan sebuah acara Payakumbuh Poetry Festival bersama teman-teman komunitas Intro yang sudah berlangsung selama 4 tahun. “Saya senang karena di Payakumbuh Poetry Festival, puisi bisa dihadirkan dalam bentuk musik, visual, pertunjukan, dan sebagainya,” tutur Heru. Karena selama di sekolah, sastra dianggap sebagai pengisi waktu luang dan hiburan. Padahal, sastra merupakan ilmu yang sama seperti sains: cara manusia mengelaborasi ilmu pengetahuan.
Ikut menyelenggarakan Payakumbuh Poetry Festival juga bentuk sederhana Heru untuk berbakti pada kampung halamannya. Walaupun ia sudah bergema di kancah nasional, ia tidak akan lupa dari mana asal usul ia menjadi seperti saat ini. Ia juga berharap generasi muda Payakumbuh saat ini mengikuti jejak orang hebat dan berkarya. “Ikuti jejak banyak orang yang lebih hebat dan sudah lama berkarya. Intinya, belajarlah dari semua orang hebat,” begitu kata Heru sebagai saran untuk generasi muda saat ini.[]

Aqila Minhatul Mawla, lahir di Bukittinggi, 14 Februari 2008. Ia telah menunjukkan ketertarikan pada dunia bahasa sejak kecil. Ia juga gemar membaca, meski awalnya hanya pembaca senyap, masa SMA mengubahnya. Ia mulai menulis buku harian, dan menjadikan tulisannya sebagai cermin perasaannya yang mendalam. Ia meraih juara harapan 2 bidang Menulis Jurnalistik Feature di Festival Lomba Seni dan Sastra Nasional (FLS3N) seleksi Tingkat Kota Payakumbuh pada Juni 2025 lalu.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Aqila Minhatul Mawla
Editor: Adisman Libra









