Oleh Arie Fajar Rofian

PADA hari yang lebih kelabu ketimbang biasanya di awal Juni 1989 itu, Xiao Ling duduk di hadapan cermin besar yang retaknya membentuk garis-garis halus yang menyerupai sarang laba-laba. Cermin itu adalah pemberian dari ibunya, seorang perempuan yang percaya bahwa kelak, di masa depan, anaknya akan menjadi bagian dari sebuah peristiwa penting yang tercatat dalam sejarah.

Xiao Ling memandangi refleksi dirinya dengan tatapan kosong, tetapi ramai dalam pikiran: rambut hitam panjang yang belum tersisir, mata sembap yang dilingkari bayang-bayang kelelahan, dan bibir tipis yang pucat seperti kertas koran yang terlalu lama dibiarkan. Di sisi meja, ada secangkir teh hijau yang dingin, lupa ia seruput—dan langsung diseruputnya agar tidak menimbulkan kekecewaan pada ibunya yang telah menyiapkan teh tersebut sejak dini hari, dan kini sedang tertidur pulas.

Di luar sana, langkah tegap sekumpulan tentara yang menghantam aspal bersimfoni dengan suara bising laju kendaraan taktis, membelah udara yang terlampau tipis. Xiao Ling tahu betul apa yang sedang terjadi, tetapi ia enggan memikirkannya, lebih-lebih membayangkannya. Dinding dan tiang apartemen yang sempit itu memantulkan gema suara yang berasal dari Lapangan Tiananmen.

Xiao Ling melirik ke arah luar jendela, langit Beijing tampak seperti selimut tua yang pernah hangat, tetapi sekarang dipenuhi debu. Gedung-gedung tinggi berlomba mencakar dan menggapai permukaan langit, sementara di bawahnya, orang-orang berlalu-lalang seperti sekumpulan bayangan. Perempuan itu menarik napas panjang, menyadari ada sesuatu yang lebih besar daripada apa yang bersemayam di dalam pikirannya.

“Kau tidak akan pergi ke sana, bukan?” tanya ibunya, pada malam sebelumnya, dirasuki perasaan khawatir yang berlebihan lantaran menerima rentetan informasi mengenai ketegangan yang terjadi di Lapangan Tiananmen. Suaranya terdengar lembut, seperti bisikan kecil yang kemudian hilang bersama embusan angin.

Xiao Ling tidak menjawab. Tidak menolak, juga tidak mengamini. Gemuruh di dadanya sudah mewakili, meski mungkin ibunya tak pernah menyadari hal tersebut. Senyum tipis yang merekah di sudut bibir Xiao Ling pada detik berikutnya, disimpulkan secara keliru oleh ibunya. Kekeliruan yang disyukuri Xiao Ling, tetapi disesali ibunya di kemudian hari.

“Aku harus ke sana,” gumam Xiao Ling, pada dirinya sendiri. Gumaman yang sudah ribuan kali ia gumamkan, seperti mantra ajaib untuk membangkitkan keyakinan. Baginya, tak ada yang lebih berharga daripada keberanian untuk berdiri di antara kerumunan, membawa poster dengan tulisan besar: Kebebasan dan reformasi adalah sebuah keharusan.

Hari itu, udara Beijing terasa sangat aneh. Tidak panas, juga tidak dingin, seperti ada sesuatu yang memeluk Xiao Ling terlalu erat, membuat napasnya sesak. Xiao Ling berjalan pelan, melewati lorong-lorong apartemen yang biasa dijelajahinya setiap hari, meski kali itu rasanya semuanya sangat berbeda. Ada ketegangan yang tak bisa dijelaskan, seperti detak jarum jam yang terlalu cepat, menandakan waktu telah berubah, tapi tak ada yang tahu arah menuju mana.

Ketika Xiao Ling tiba di Lapangan Tiananmen, kerumunan seperti lautan manusia tak berujung. Di mana-mana ada suara yang saling mengisi; saling menimpali. Suara tawa, suara tangis, serta suara harapan yang diteriakkan melalui megafon dan menarik banyak perhatian. Seorang pemuda bernama Zhang, sepuluh meter di hadapan Xiao Ling berseru lantang, “Kita tidak akan diam! Kita harus melawan kediktatoran!”

Xiao Ling tidak tahu pasti apa yang membuat semangatnya tiba-tiba begitu membara. Mungkin karena semua yang terjadi dalam beberapa hari belakangan—percakapan yang mengisi setiap sudut jalan, bisikan yang beredar cepat serupa api. Tentu saja, Xiao Ling tidak asing dengan protes itu, dengan mimpi-mimpi yang melintasi langit Tiananmen. Xiao Ling hanya tidak menyangka, mahasiswi tahun pertama seperti dirinya akan terlibat langsung di dalamnya, turun ke jalan dengan tangan terkepal dan urat leher yang menegang demi menyuarakan tuntutan.

Sepeninggal Mao Zedong, Tiongkok terjebak dalam anomali yang sulit dipahami oleh siapa pun. Pemerintah mulai mengizinkan masuk pihak swasta dan investasi asing demi membangkitkan perekonomian, menciptakan sistem ekonomi pasar yang terbuka, tetapi tetap mempertahankan kendali negara secara ketat, menutup ruang-ruang berpolitik dan berdemokrasi. Pada saat yang sama, praktik korupsi semakin merajalela.

Langkah Xiao Ling membelah kerumunan, menuju di mana kelompok teman-temannya berkumpul. Di antara mereka, ada wajah-wajah yang tak lagi bisa dikenali, seolah mereka telah berubah oleh sesuatu yang lebih dari sekadar idealisme. Zhang masih memegang erat-erat megafon di tangan kanannya, kembali menyerukan orasi yang menggetarkan sebagian kecil Lapangan Tiananmen.

Zhang bukanlah sosok yang menyukai keramaian, terlebih jika keramaian itu sampai menyesaki Lapangan Tiananmen. Sebelumnya, pria berkacamata tebal itu lebih suka duduk di perpustakaan universitas, membaca buku-buku, lalu menumpuknya dengan ketinggian yang menyerupai bangunan yang nyaris runtuh.

Namun, sesuatu di dalam dirinya berubah sejak dua bulan lalu, bersamaan dengan tewasnya—yang entah karena apa dan sangat mencurigakan—Hu Yaobang, Sekretaris Jenderal Partai Komunis yang membuka diri terhadap demokrasi. Kata-kata di dalam buku terlampau sunyi dibandingkan gemuruh dunia nyata. Ia ingin mengubah sesuatu, meski itu harus mengorbankan ketenangan yang selama ini ia cintai.

“Ini lebih dari sekadar pergerakan politik, tetapi lebih dari itu, yakni tentang masa depan bangsa yang sangat besar ini!”

Tak berselang lama, keheningan di Lapangan Tiananmen menyergap melalui cara yang aneh sekaligus membingungkan. Keheningan yang tak wajar, seperti detik sebelum kaca jendela pecah oleh lemparan batu dari kejauhan. Tank-tank berhenti tanpa aba-aba, sementara para tentara berdiri kaku serupa patung logam, mengarahkan moncong senapan ke lautan manusia yang tak berdosa.

Tiba-tiba, dunia berubah menjadi warna merah yang pekat. Kemungkinan yang tak pernah diinginkan itu datang menghampiri. Sebuah dentuman keras, seperti pecahan mimpi yang tak bisa disatukan kembali. Suara tembakan memecah hening. Kerumunan berubah menjadi kekacauan, suara jeritan terdengar seperti tak berujung, dan bau darah mencemari udara yang belakangan tidak pernah benar-benar bersih.

Orang-orang menangis sambil berlari, tetapi tidak demikian halnya dengan Xiao Ling. Ia membeku, berdiri kaku, tubuhnya dihantam cahaya merah dari sirene yang berkedip-kedip. Sementara, kedua matanya menatap kosong, menelusuri jejak-jejak berkabut yang membuat banyak orang merasa kalut. Harapan terhadap perubahan yang lebih baik sepertinya akan tetap menjadi mimpi pengantar tidur, angan-angan yang sulit berbuah kenyataan.

Xiao Ling terjatuh, tubuhnya terdorong kerumunan yang membubarkan diri tanpa arah dan tujuan yang jelas. Wajah Xiao Ling menyentuh tanah bercampur debu, dan di sekelilingnya, semua terasa kabur. Darah segar seketika mengalir dari keningnya, hangat sekaligus menjijikkan.

Kemudian, Xiao Ling merasakan ada sepasang tangan yang menariknya. Tangan lembut Zhang yang jarang digunakan selain untuk mencatat dan menggenggam buku. Dengan wajah pucat dan kacamata yang retak sebagian, pria canggung itu menarik Xiao Ling, membangkitkan tubuh mungilnya.

“Kita harus pergi dan berlari secepat mungkin, jangan menoleh ke belakang,” ucap Zhang, suaranya serak lantaran sudah terlalu banyak berorasi.

Xiao Ling dan Zhang berlari dengan kecepatan yang seirama, berupaya menghindari gapaian peluru tajam yang melesat ke segala penjuru mata angin. Namun, sepuluh meter setelahnya, Xiao Ling merasakan sesuatu yang merembes dari pinggulnya. Merah dan panas. Lalu, merah itu berubah jadi gelap. Selamanya.

*

PEREMPUAN tua itu duduk di kamar anaknya, yang kini hanya dihuni oleh tumpukan debu dan kenangan. Ia memandangi cermin di hadapannya, menyaksikan refleksi yang tampak kusam, digerus oleh putaran waktu yang tak pernah sudi menunggu. Cermin besar dengan banyak retakan halus itu, ia berikan sebagai hadiah ulang tahun ketika anaknya beranjak remaja. Ia tahu betul, sebagai remaja, anaknya membutuhkan cermin yang besar untuk berhias dan memantaskan diri pada dunia.

Cermin yang dulu kerap menampilkan wajah ceria gadis remaja, kini hanya memantulkan bayangan seorang ibu yang terjebak dalam kehingan yang mencekam. Waktu di ruangan itu seakan-akan berhenti, tiada suara kecuali detak jantungnya sendiri. Perempuan tua itu berupaya tenang selagi kenangan-kenangan terus membayang, sementara kedua tangan terlipat di pangkuannya. Awalnya, kedua tangan perempuan tua itu saling meremas-remas, lalu secara perlahan, berganti menjadi kepalan yang menandakan geram.

Setiap hari yang perempuan tua itu lewati, terasa seperti serpihan-serpihan kaca yang menusuk-nusuk hati, terkadang lebih tajam daripada yang mampu ia bayangkan. Tahun yang terus berganti, ternyata tak pernah bisa memadamkan rasa perih akan kehilangan, justru sebaliknya.

Perempuan tua itu membiarkan air matanya jauh, tetes demi tetes, menggenangi kedua sisi pipinya. Cermin di hadapannya seolah semakin memperjelas perasaan yang tak pernah bisa ia ungkapkan. Ia memalingkan pandangan dari cermin, berharap ada sesuatu yang dapat menghiburnya. Namun, hanya ada bayangan yang semakin kabur, seolah ikut larut dalam kehilangan yang tak kunjung usai.

Seorang peramal pernah berkata pada perempuan tua itu, bahwa kelak anaknya, Xiao Ling, akan menjadi bagian dari sebuah peristiwa penting yang tercatat dalam sejarah. Hanya saja, ia tak pernah menyangka, peristiwa besar itu dapat merenggut nyawa anak semata wayangnya. Hanya saja, ia tak pernah menyangka, sejarah itu tidak pernah benar-benar tercatat sebagaimana mestinya sebuah sejarah.

Puluhan tahun berlalu, ketika dunia tak lagi dibatasi oleh akses informasi, peristiwa kelabu di Lapangan Tiananmen hingga kini menjadi hal yang sangat sensitif untuk dibahas di negaranya. Unggahan segala sesuatu yang terkait peristiwa dan kekerasan di dalamnya secara teratur dihapus dari internet, dan dikendalikan secara ketat oleh pemerintah. Bagi generasi yang tidak terlibat langsung, mereka hanya akan memiliki sedikit memori dan kesadaran atas apa yang terjadi pada saat itu.

Perempuan tua itu segera menyeka air matanya, memupuk ketegaran yang tak pernah benar-benar menghampiri di sisa-sisa hidupnya, kemudian menyadari bahwa sejarah hanya ditulis oleh mereka yang menang dan berkuasa, bukan mereka yang tewas diterjang timah panas. []

Arie Fajar Rofian. Berdomisili di Karawang, Jawa Barat.

Gambar ilustrasi diolah oleh Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.

Penulis: Arie Fajar Rofian

Editor: Anita Aisyah

Komentar

1 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan