Wisuda
Wisuda bukan sekadar seremonial, tetapi momen sakral yang menyentuh batin dan menyatukan harapan. Yang perlu dihapus bukan acaranya, melainkan beban biaya yang memberatkan.

Oleh Muhammad Subhan
WISUDA adalah momen yang tak akan berulang. Ia datang hanya sekali, dalam bentuk dan rasa yang tak bisa disalin.
Ada yang menilainya sekadar seremonial. Mubazir. Menghambur uang. Membebani orang tua.
Tapi sesungguhnya, bukan wisudanya yang salah. Yang salah adalah beban yang dipaksa dibayar untuk momen sakral itu.
Mari kita renungkan.
Seorang anak kecil, berdiri dengan toga mungil, wajahnya canggung tapi matanya bersinar.
Ia tak tahu betul apa arti “tamat TK”. Tapi ia tahu ia sedang dirayakan.
Namanya dipanggil. Ia melangkah ke depan. Diberi gulungan kertas, pelukan hangat, dan senyum semua orang.
Itu cukup baginya untuk merasa berharga. Untuk percaya bahwa belajar itu indah, dan layak diperjuangkan.
Di pangkuan ibunya, air mata jatuh perlahan. Ibunya juga menitikkan air mata haru. Bukan karena mewahnya pesta. Tapi karena kecilnya tangan si anak telah menaklukkan huruf demi huruf. Selama bersekolah.
Ia belajar mengeja. Belajar mengenal dunia. Dan kini, dunia pula yang menyambutnya.
Begitu pula di pesantren.
Anak-anak yang telah mengkhatamkan Al-Qur’an. Dengan suara bergetar dan pelafalan tertatih. Diberi kesempatan berdiri, membawa mushaf yang telah mengubah hidup mereka.
Wisuda khatam bukanlah pamer hafalan. Melainkan penghargaan terhadap air mata di malam-malam panjang.
Terhadap suara guru yang tak henti membenarkan makhraj dan tajwid.
Bahkan di bangku perguruan tinggi. Wisuda adalah pelampung terakhir yang ditambatkan dalam lautan perjuangan bertahun-tahun.
Ia bukan pesta. Ia adalah pengakuan.
Bahwa anak petani dari kampung kecil itu, telah menyelesaikan sesuatu yang besar. Bahwa jerih payah orang tuanya—yang menjual kebun, menabung sejak dini, menyisihkan untuk ongkos kuliah—akhirnya menemui ujung.
Tapi, ya, wisuda memang sering kali salah dimaknai.
Dijadikan ajang pamer. Dihargai dengan angka dan mewahnya panggung.
Orang tua diminta membayar toga dan pakaian yang tak murah. Anak-anak diwajibkan menyewa studio foto, menyumbang konsumsi, bahkan membeli karangan bunga.
Sekolah menjelma seperti EO kecil. Dan momen sakral berubah menjadi ladang bisnis.
Padahal, bisa saja berbeda.
Wisuda bisa dirayakan dengan doa bersama. Di halaman sekolah. Di surau. Di bawah langit yang terang.
Tak perlu panggung tinggi atau artis yang diundang. Cukup dengan sambutan yang jujur, pembacaan nama-nama, dan pelukan yang tulus.
Wisuda bisa dijalankan tanpa membebani. Karena nilai dari sebuah momen bukan ditentukan dari biaya yang dikeluarkan. Tapi dari cinta yang menyertainya.
Sekolah atau lembaga pendidikan mestinya jadi pelindung, bukan penekan. Anak-anak dari keluarga miskin itu yang seharusnya dibantu, bukan diminta membayar lebih.
Jika perlu, biaya wisuda ditanggung bersama. Atau digratiskan untuk yang tak mampu. Sebab, bukan gaun atau dekorasi yang akan diingat anak-anak itu nanti. Tapi rasa. Rasa dihargai. Rasa selesai. Rasa dikenang.
Wisuda memberi jeda. Menjadi garis pemisah antara dulu dan nanti. Menjadi ruang untuk mengucap terima kasih kepada guru. Kepada teman seperjuangan. Kepada orang tua yang tak tidur demi uang masuk semester.
Bagi sebagian orang tua, wisuda anak adalah hari raya pribadi. Pakaian terbaik dikenakan. Bahkan jika harus meminjam.
Senyum tak henti ditarik meski dada sesak menahan biaya. Sebab bahagia anak adalah bahagia mereka. Sebab, orang tua tahu, hari itu tidak akan kembali. Anaknya tak akan selamanya di TK. Tak akan selamanya duduk di pesantren. Tak akan selamanya menyandang status mahasiswa.
Hari itu harus disyukuri. Harus dikenang.
Wisuda bukan hanya tentang anak. Ia tentang seluruh perjalanan. Tentang rumah yang tak selalu terang, tentang buku-buku bekas yang diwariskan, tentang malam-malam penuh tanya: “Mampukah aku menyelesaikan ini?”
Ketika selesai, tidakkah layak diberi penanda? Tidakkah hidup memang butuh simbol-simbol yang menegaskan pencapaian?
Wisuda, dengan segala kerendahan hatinya, adalah simbol.
Simbol bahwa perjalanan tidak sia-sia. Simbol bahwa setiap peluh dan luka telah menjelma menjadi sesuatu. Sesuatu yang nyata. Yang bisa dilihat. Dirayakan. Dikenang.
Maka, jangan hapus wisuda. Hapuslah biaya yang mencekik. Hapuslah keharusan yang memberatkan. Hapuslah keinginan mencari untung dalam acara wisuda.
Dan, biarkan anak-anak itu mengenang hari bahagia mereka. Sebagai momen terakhir di sekolah yang mengajarkan mereka arti ilmu dan perjuangan.
Karena suatu hari nanti, saat hidup menggoncang dan realitas membentur dada, mereka akan membuka kembali kenangan itu. Dan berkata dalam hati, “Aku pernah berdiri di depan orang banyak. Dihargai. Dirajakan. Diratukan. Dirayakan. Dicintai.”
Itulah makna sejati dari sebuah wisuda. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Lukisan sebagai ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah