Oleh Safry Doom

“Sophia, cita-cita kamu ingin jadi apa?” tanya Mama Meri setelah melihat nilai ujian Sophia pagi itu. Mama Meri sangat senang ketika melihat hasil usaha dan kerja keras putri kesayangannya selama ini. Ia berjanji akan terus berusaha untuk bisa melanjutkan pendidikan Sophia ke jenjang yang lebih tinggi lagi.

“Mama sanggup jika Sophia masuk perguruan tinggi?” Tanpa menjawab Mama Meri, Sophia melemparkan pertanyaan itu.
“Mama pasti berusaha, Sayang,” jawab Mama Meri datar.
“Mama yakin?”
“Mama pasti bisa, Sophia. Doakan saja supaya usaha yang dibangun akan mendapatkan hasil yang cukup.”

“Aku ingin menjadi wartawan, Mam.”
“Wartawan?” Mama Meri kaget bukan main.
“Mama tidak setuju jika Sophia jadi wartawan?”
Mama Meri diam. Senyum di wajahnya pagi itu seketika hilang.

“Apakah cita-cita menjadi seorang wartawan tidak bagus, Mam?”
“Bagus, Sophia” jawab Mama Meri dengan suara yang sangat kaku. “Tidak ada cita-cita yang lain selain wartawan?” lanjutnya lagi.
“Tidak ada,” jawab Sophia singkat.
“Coba pikirkan lagi, Sophia.”
“Saya sudah berpikir, Mam. Menurutku, menjadi seorang wartawan itu pilihan yang baik.”
“Masih ada cita-cita lain yang lebih baik, Sophia!”

Mama Meri diam. Kemudian ia kembali membungkus nasi yang dipesan dari salah satu perusahan dekat warung kecil itu. Pagi itu, ia tidak memberikan jawaban setuju atau tidaknya tentang cita-cita Sophia menjadi seorang wartawan.

Setelah mendengar cita-cita Sophia, di warung kecil dekat toserba itu, wajah Mama Meri tampak cemas. Kata wartawan membuat ingatanya kembali ke masa lalu. Masa di mana hatinya merasa terluka dan kecewa. Semua harapannya mati setelah Hery, suaminya, tak lagi pulang.
*

Sembilan belas tahun yang lalu, sebagai seorang pemimpin redaksi di salah satu media online yang sudah mulai terkenal, Hery tidak puas dengan informasi yang disampaikan oleh para anggotanya yang terjun langsung ke lokasi penolakan proyek itu. Saat itu, Hery akhirnya memutuskan untuk membuat liputan secara langsung di lokasi penolakan proyek. Hery tidak hanya tinggal diam. Ia tidak mau hanya mengelola data yang disampaikan oleh anggotanya.

Sebelum Hery memutuskan untuk terjun langsung ke lokasi, ia selalu mendapatkan pesan-pesan yang berisi kata-kata ancaman jika ia masih berani meliput penolakan proyek tersebut. Ada juga pesan yang mengajak Hery untuk tidak terlibat. Namun, Hery sama sekali tidak peduli. Ia hanya ingin menjadi jembatan untuk menyampaikan suara orang-orang kecil kepada semua orang di negeri ini.

“Hery, kapan kamu pulang?” Begitulah pertanyaan terakhir Mama Meri sebelum kepergian Hery untuk meliput berita tentang penolakan proyek geotermal itu.
“Jika pekerjaan itu cepat selesai, aku akan segera pulang,” jawab Hery.
Mama Meri terdiam.

“Jangan cemas, Sayang. Aku pasti baik-baik saja.” Hery berusaha memecahkan kesedihan di wajah istrinya. Ia mencoba meyakinkan Mama Meri atas keputusan itu.
“Masalah tentang proyek itu cukup serius, Hery!” kata Mama Meri lagi dan air matanya mulai membentuk aliran sungai di wajah yang bulat itu.

“Kita harus berjuang membela yang benar, Meri. Membantu menyuarakan suara orang-orang kecil.”
“Aku tahu, Hery. Pikiranmu sungguh sangat mulia, tetapi kamu tidak pernah tahu bahwa betapa mahalnya kebenaran di negeri ini!”
“Kita harus bekerja dengan hati nurani, Meri. Kita harus berjuang untuk menghidupkan semua suara yang hampir mati,” kata Hery sambil memeluk Mama Meri dan kemudian mencium kening Sophia yang masih berumur dua bulan.

Mama Meri hanya diam. Air matanya terus mengalir. Ia sangat takut mendengar keputusan Hery beberapa hari yang lalu untuk meliput berita tentang penolakan proyek itu. Keputusan itu sangat berat menurut Mama Meri. Teman-teman Hery yang bekerja di media, baik media cetak maupun media online, tidak berani meliput suasana penolakan proyek itu. Menurut teman-teman Hery, mereka sering kali diancam dan diteror oleh orang-orang yang tidak dikenal. Banyak pesan di WhatsApp yang berisi kata-kata makian dan ancaman jika berani meliput berita tentang penolakan proyek itu.

Rasa cemas Mama Meri juga makin bertambah ketika ia mendengar berita tentang kematian Tinus bersama keluarganya dua bulan yang lalu. Mama Meri tahu, Tinus adalah rekan kerja Hery. Selama ini kedua sahabat itu sama sekali tidak pernah takut untuk membongkar segala kejahatan yang terus berkembang di negeri ini. Mereka selalu memihak pada kebenaran dan terus menghidupi sumpah mereka sebagai seorang wartawan.

Beberapa hari sebelum kematian Tinus, rumahnya terus diteror oleh orang-orang yang tidak dikenal. Hal tersebut terjadi karena Tinus terus membongkar rumah persembunyian bandar judi online di dekat tempat tinggalnya. Tinus pernah menceritakan kepada Hery bahwa ia sering kali diancam melalui telepon atau melalui akun media sosialnya. Akhirnya, segala keberanian Tinus diakhiri dengan kematian bersama keluarganya. Tinus dan keluarganya ditemukan tewas akibat dilahap api yang memberangus rumahnya. Ketika polisi mendatangi TKP, mereka tidak menemukan sumber yang pasti tentang penyebab kebakaran itu.
*

Rasa cemas dicampur rasa takut terus memburu Mama Meri. Beberapa hari terakhir, wajah Hery terus melintas dalam pikiran Mama Meri. Makin ia memikirkan Hery, rasa benci dan dendam terus meluapi hatinya. Ia juga merasa tidak berdaya setelah mendengar keputusan Sophia yang tidak bisa dibatalkan itu. Keputusan Sophia sudah bulat. Mama Meri tidak tahu bagaimana cara membatalkan keputusan itu.

Setiap hari Sophia terus meminta pendapat Mama Meri tentang cita-citanya. Ia tidak sabar lagi untuk mendaftarkan diri sebagai mahasiswa baru di salah satu universitas terkenal di ibu kota.
“Sophia, kebenaran sangat mahal di negeri ini,” kata Mama Meri pada suatu kesempatan.
“Mama, bukankah kita hidup untuk mencari kebenaran? Apakah kebenaran itu sesuatu yang tidak adil?”

“Pikiranmu itu sangat benar, Sophia. Kamu harus ingat bahwa semakin kita membela kebenaran, kita pasti akan diteror oleh orang-orang yang tidak mencintai kebenaran!”
“Jangan berpikir yang aneh-aneh, Mama!” Suara Sophia semakin meninggi.
Mama Meri diam. Suasana rumah yang sangat kecil itu menjadi hening.

“Cukup ayahmu yang mati dengan bodoh, Sophia!” kata Mama Meri beberapa menit kemudian.
Sophia kaget. Ia terus menatap ibunya dengan lekat. Rasa ingin tahu tentang ayahnya terus meluap dalam hatinya.

“Mati dengan bodoh?” Sophia semakin penasaran. “Bukankah Mama sudah menceritakan kepada Sophia bahwa dulu Ayah mati karena menderita kanker otak?”
Mama Meri diam. Ia berusaha untuk mengendalikan dirinya. Ia ingin menceritakan hal yang sebenarnya tentang Hery, suaminya. Selama ini ia telah berusaha untuk selalu berbohong kepada Sophia tentang kematian Hery.

“Sembilan belas tahun yang lalu.” Dengan suara yang kaku Mama Meri berusaha menceritakan yang sebenarnya. “Hery berusaha untuk membela orang-orang kecil di sebuah kampung yang jaraknya sangat jauh dari kota ini. Namun, pekerjaannya itu tidak disukai oleh orang-orang yang tidak mencintai keadilan. Ia pun ditangkap oleh orang-orang yang tidak ia kenal dan sejak saat itu ia tidak lagi pulang,” lanjut Mama Meri. Air matanya terus mengalir bersama kata-kata yang diucapkannya itu.

Suasana rumah itu makin hening. Sophia masih membisu. Suara napasnya terus memburu.
“Dulu, Ayah Sophia itu, wartawan?”
“Benar, Sophia. Ayahmu memiliki prestasi yang sangat baik. Namun, ia diculik karena berjuang membela orang-orang kecil.”

Sophia diam. Baru kali ini air matanya jatuh membasahi pipi yang mungil itu. Ia sangat kecewa kepada ibunya yang selama ini terus menyembunyikan identitas ayahnya. Sementara Mama Meri terus mendekap Sophia dalam pelukan. Ia tidak ingin peristiwa kematian Hery akan dialami juga oleh buah hatinya.

“Ketika seorang anak dilahirkan dari rahim kebenaran, tentu ia akan terus bertumbuh untuk tetap membela dan mempertahankan kebenaran. Sophia tetap ingin jadi wartawan, Mama!” Kemudian ia berjalan meninggalkan Mama Meri. Sophia ingin menjadi manusia pengembara. []

Maumere, 2024

Safry Doom, adalah nama pena dari Saverinus Dosom. lahir di Raca, Manggarai Barat, 24 September 2001. Beberapa cerpennya telah muat di Kompas.Id, Koran Tempo, Republika, Pos Kupang dan beberapa media lokal lainya.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Safry Doom

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan