‘Urang Minang’ di Pusaran Kemerdekaan RI
Banyak tokoh Minang yang menjadi pemikir, pejuang, dan diplomat dalam sejarah Indonesia.

Oleh Mak Jamil Labai Sampono
Pasan rang tuo: “Yuang… kok nyampang dialiah jalan di urang lalu, pasa diusai di pandatang, supadan dianjak urang, tanah pusako nan tarampeh. Singsiangkan lengan baju ang, Yuang, jan ang takuik darah taserak, jan ang takuik mahadang musuh. Kalau tak ado bapantang mati, basilang karih di lihia nan bana, sampaikan juo. Tandang ka langgang walau surang, soal ajo urusan nan ciek.”
Inilah kalimat petuah dari orang tua di kampung ketika melepas anak setelah selesai mengaji dan belajar silek, sebagai semangat menghadapi tantangan hidup. Barangkali ini pula yang membuat para pejuang Minang selalu berada di garda terdepan dalam perjuangan demi NKRI.

Sejarah mencatat bahwa Indonesia berutang budi kepada etnis Minangkabau. Banyak pemikir dan pejuang Minang yang meletakkan dasar bagi bangsa Indonesia yang merdeka, meski pada akhirnya banyak juga tokoh Minang yang dikucilkan pasca-kemerdekaan.
Orang Minangkabau memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan hingga mempertahankan Republik Indonesia (RI).
Berikut ini beberapa tokoh Minang yang berkontribusi dalam pusaran NKRI:
- Soekarno (Proklamator), menantu orang Minang (Fatmawati, istri Soekarno, memiliki darah bangsawan Kerajaan Indrapura, Pesisir Selatan).
- Tan Malaka, tiga tahun sebelum Sumpah Pemuda sudah menulis buku Naar de Republiek Indonesia, yang menjadi inspirasi Soekarno dalam perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia.
- M. Yamin, salah satu pengusul dalam rapat BPUPKI mengenai dasar negara pada tahun 1945.
- Mohammad Hatta, Proklamator sekaligus penyusun konsep ekonomi kerakyatan Indonesia.
- Agus Salim, pejuang diplomasi yang berperan dalam pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Indonesia.
- Sutan Sjahrir, diplomat ulung yang bernegosiasi dalam perundingan saat Belanda dan sekutunya masih berusaha mencengkeram Indonesia melalui agresi militer.
- Mohammad Natsir, tokoh yang mengembalikan NKRI melalui Mosi Integral-nya setelah Indonesia terpecah dalam negara boneka RIS pasca-Perjanjian Linggarjati.
Tidak heran jika Prof. Syafi’i Ma’arif pernah berkata: “Apabila NKRI hancur lebur dan semua daerah-daerah memisahkan diri, maka Sumatera Barat-lah (baca: Minangkabau) yang tersisa.”
Begitu pula dalam peristiwa PDRI di Bukittinggi, ketika Jakarta digempur oleh Agresi Militer Belanda, pemerintahan darurat tetap menggunakan nama Republik Indonesia (RI).
PRRI, yang digawangi oleh tokoh-tokoh Masyumi dan perwira militer daerah—meskipun banyak pihak menyebutnya pemberontak—tetap menggunakan nama Republik Indonesia (RI). Tuntutan PRRI juga tidak pernah menyebut pemisahan diri dari NKRI. Mereka hanya menuntut:
- Kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 yang murni.
- Mengembalikan Dwitunggal Soekarno-Hatta.
- Perlunya Otonomi Daerah agar dapat menggali potensi dan kekayaan daerah.
- Membersihkan kabinet dari pengaruh komunis.
Berbeda dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang secara eksplisit menyematkan kata merdeka dalam perjuangannya.
Oleh karena itu, sangat miris apabila orang Minang saat ini tidak lagi tampil sebagai pemikir yang mampu “menyelamatkan” bangsa serta memberikan panduan bagi Indonesia dalam menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks.
Lebih menyedihkan lagi jika orang Minang berubah menjadi pragmatis, sekadar menjadi kaki tangan penguasa demi mendapatkan jabatan dan keuntungan politik. Sangat memilukan jika ada orang Minang yang justru turut terlibat dalam upaya membuat negara ini bangkrut dan kehilangan identitas ideologis perjuangan kemerdekaannya. []
Mak Jamil Labai Sampono, Praktisi Adat Minangkabau.
Penulis: Mak Jamil Labai Sampono
Editor: Muhammad Subhan