Cerita Pendek Humor Asal-asalan oleh Doddi Ahmad Fauji*

KEKISRUHAN itu bermula dari Rendra, seorang begawan yang telah istirah di kesunyataan. Kepada santri-santri di Bengkel, ia sering kali mengajak berdiskusi secara bebas, kadang liar, namun tetap berargumentasi dengan didukung data dan fakta akurat.

Juga malam itu, ketika langit kelam, hanya ada samar tembias rembulan akibat tertutup asap pekat, Rendra berceramah tentang bab sejarah.

“Gajah Mada itu, kan rampok, tapi malah didudukkan sebagey pahlawan, dan lalu dijadikan nama-nama jalan, nama perguruan tinggi negeri. Pada saatnya, bisa berlahiran rampok-rampok terdidik dari kampus terebut,” katanya, pada malam Jumat Kliwon selepas isya. Anak-anak belum beranjak ke peraduan, namun siaran televisi tidak begitu menarik untuk disimak.

Bulan di langit tampak pucat, seperti diselimuti asap yang berkobar dari bangunan-bangunan terbakar oleh kemarahan rakyat. Lawatan Pak Harto ke beberapa negara sahabat, dan ucapannya yang disiarkan oleh televisi bahwa di Indonesia aman-aman saja, baik-baik saja, bertentangan dengan kenyataan di Jakarta yang rusuh. Banyak gedung fasilitas publik, termasuk mall-mall besar, dibakar entah oleh siapa yang marah, yang mengatasnamakan reformasi. Asap kelam dan bau hangit, membubung dari banyak tempat.

“Aku tidak asal ucap, ya. Kidung Sundayana dan kitab Pararaton yang ditemukan di Lombok, itu salah satu isinya menceritakan kepiluan yang dialami Kerajaan Galuh-Sunda, yang dijebak dalam strategi licik Gajah Mada, yang meminta Linggabuana mengantarkan putri Dyah Pitaloka Citraresmi untuk dinikahkan dengan Hayamwuruk. Karena kedudukan Hayamwuruk itu Raja, menurut Gajah Mada, maka Citraresmi yang harus datang ke Majapahit untuk dinikahkan, dan bukan sebaliknya!” Rendra menarik napas dan menyeruput teh kental pada bekong. Rendra tidak mencandu kopi, hanya sesekali.

Banyak penyair di entragan Rendra yang tidak suka ngopi dan tidak merokok. Taufik Ismail, Sapardi Djoko Damono, Saini KM, Ajip Rosidi, adalah santri-santri alim yang tidak suka ngopi dan udud. Namun, meski tidak ngopi, ucapan mereka itu kadang lebih pahit dari kopi tubruk tanpa gula. Apalagi yang namanya Ajip Rosidi, selain temperamental, dia gemar berdebat dan siap gelut benaran.

“Perempuan mendatangi laki-laki itu bertentangan dengan adat dan tradisi kedua belah pihak dalam pernikahan, karena kemestiannya pihak laki-laki yang mendatangi pihak perempuan. Lalu atas dasar Sumpah Palapa, tahu rasanya buah palapa? Kecut dan pahit! Gajah Mada berujar, dengan penyerahan Dyah Pitaloka, maka Galuh-Sunda berada di bawah kekuasaan Majapahit!”

“Wah, licik itu!” seru seorang santri kurus yang berasal dari Bandung.

“Ya, iyalah!” seru Rendra, sambil menatap kepada santri kurus itu.

“Orang Galuh tidak terima, toh! Siapa pun tidak akan terima diperlakukan dengan licik, apalagi dengan cara dijebak! Terjadilah insiden memilukan di bangsal Bubat itu, kan? Orang Sunda menyebutnya Palagan Bubat, yang artinya perang di Bubat, yang tidak seimbang, sehingga punggawa-punggawa Galuh berguguran. Raja moksa, dan Dyah Pitaloka bunuh diri!” tutur Rendra dengan atraktif, matanya kadang bolotot menyorot, dan dengan diimbuhi senyum manis atau entah, sinis.

Para santri Bengkel makin terkesiap mendengarkan tuturan Rendra.

“Tidak ada dasar dan alasan yang bisa dibenarkan dengan Sumpah Palapa, yang hendak mempersatukan Nusantara dengan cara perang dan pemaksaan! Merebut kedaulatan orang lain dengan dalih persatuan? Hah, bersatu untuk apa, apalagi jika ada pemaksaan dan tidak adil?”

Rendra menambahkan, “Di Minangkabau, tentara Majapahit kalah adu kerbau. Mereka pulang dengan tangan hampa. Di sana tidak terjadi perang, tapi lewat siasat adu kerbau. Bila kerbaunya kalah, maka harus bersedia tunduk. Kerbau besar dari Majapahit, ternyata kalah oleh anak kerbau yang oleh orang Minang dipasangi dulu pisau pada tanduknya. Ketika beradu, kerbau Minang yang menang, lalu mereka menyebut diri sebagai Minangkabau. Itu dari kata menang kerbau!”

Para santri tertawa terbahak-bahak mendengar cerita lucu dari Begawan Narendra itu.

“Ketika tentara Majapahit memasuki Bali dan Lombok, itu yang terjadi bukan asimilasi, tapi perampokan dan pemerkosaan. Kalimantan, Sulawesi, Maluku, apalagi Papua, tidak pernah ditaklukkan oleh Majapahit! Lah, tapi lucu, ada yang berujar dalam sidang BPUPKI bahwa wilayah Indonesia itu adalah bekas wilayah Majapahit! Ya sempit, dong, wilayah Indonesia! Aceh atau Riau tak pernah tersentuh oleh Majapahit, karena baru sampai Sumatra Barat, tentara Majapahit kalah oleh orang Menang Kerbau!”

Santri dari Bandung yang kurus itu, mendengarkan ceramah Sang Narendra dengan antusias, sambil udud kretek, terutama lagi karena dia orang Sunda, yang pernah mendengar cerita tentang Perang Bubat, yang membuat tokoh-tokoh Sunda hingga kini, belum bisa menerima jika di daerahnya ada nama Jalan Hayamwuruk, Jalan Majapahit, apalagi Jalan Gajah Mada.

“Rampok itu kemudian dijadikan pahlawan nasional, dijadikan nama jalan di beberapa kota, dan dijadikan nama perguruan tinggi!”

*

Santri itu telah lulus nyantri, kemudian menjadi wartawan di sebuah media cukup ternama dan berwibawa, salah satunya atas rekomendasi Rendra, ketika redaktur budaya koran tersebut menanyakan kepada Rendra, dari lima pelamar calon wartawan seni budaya, Rendra merekomendasikan yang mana? Rendra menyebut nama orang yang pernah nyantri di bengkelnya.

Saat menjadi wartawan, santri itu mewawancarai Rendra dan menanyakan kembali kisah Menang Kerbau menjadi Minangkabau! Rendra mengulangi tuturannya, mungkin beda gaya tapi tetap satu nada, bahwa Gajah Mada adalah rampok!

Tuturan Rendra itu dimuatkan di koran! Salah satu Raja Jawa yang bertahta di Ngayogyakarta melayangkan protes, mengajukan hak jawab dan dimuatkan! Namun, tidak ada polemik berkepanjangan. Gairah reformasi, rebutan kekuasaan melalui kerajaan-kerajaan kecil yang menjelma dalam bentuk partai, membuat orang-orang terkuras energinya daripada harus berdebat.

Namun, ketika Gubernur RK hendak mengubah nama Jalan Kopo menjadi Jalan Hayamwuruk di Kota Bandung, masyarakat Sunda dari berbagai generasi protes keras, sehingga pengubahan nama itu tidak jadi. Upaya rekonsiliasi yang digagas Sri Sultan di masa Gubernur RK mengalami jalan buntu. Tetapi, di beberapa wilayah Jawa, sudah terdapat nama Jalan Siliwiangi, tapi entah kalau nama Jalan Galuh, Jalan Pajajaran, Jalan Linggabuana, atau Jalan Dyah Pitaloka Citraresmi. Luka sejarah bisa sulit dihapuskan karena diwariskan turun-temurun kepada anak cicit.

*

Akan Tetapi, hingga Presiden keenam yang memimpin kerajaan bernama Republik, para presiden kerap kali merupakan alumnus dari perguruan-perguruan tinggi wilayah Barat. Dan hal ini membuat rektor dari UGM dan UNS bertemu secara diam-diam, hanya sedikit yang tahu. Keduanya bersepakat, agar wilayah tengah memiliki perguruan tinggi yang kuat dan tangguh, bisa mensejajari ITB, UI, Unpad (meski dropout, tapi jadi presiden juga) serta IPB, maka dua perguruan tinggi ini mesti di-merger. Jika kekuatan Solo tempat UNS dan Yogya tempat UGM yang merupakan wilayah warisan Mataram digabung kembali, maka Mataram Jilid II bisa benar-benar tumbuh kokoh.

Keduanya sepakat dengan merger, namun soal nama untuk universitas baru mengalami deadlock hingga kini. Keduanya adu regeng, sama-sama ngotot, dan sama-sama nama perguruan tingginya harus disebut duluan pada nama perguruan tinggi baru hasil merger.

Universitas Sebelas Maret tentunya mengusulkan nama Universitas Sebelas Gajah atau USG, dan UGM usul nama perguruan tinggi hasil merger adalah Universitas Gajah Sebelas disingkat UGS. Rebutan nama USG atau UGS tenggelam oleh isu ijazah palsu yang menguar dari UGM. Mana yang benar?

Asli tapi palsu, itu setara dengan sudah tapi belum, dan kita dipaksa untuk mafhum.[]

Hanya cerita humor, tidak dapat dijadikan referensi rujukan apa pun.

Doddi Ahmad Fauji, penyair kelahiran Bandung, 1970. Mantan wartawan koran Media Indonesia, Jurnal Nasional, dan majalah pertahanan dan keamanan Tapal Batas dari tahun 1998—2013. Kini mengelola Sanggar Literasi SituSeni mediatif yang bergerak di bidang pelatihan menulis, ekspresi kesenian, dan pengembangan literasi. Bukunya yang telah terbit: Amor Memoar Traktat (2006), Neng Li (2015), Jangjawokan (2016), serta Menghidupkan Ruh Puisi: Seluk Beluk dan Petunjuk Menulis Puisi (2018). Berdomisili di Bandung, Jawa Barat.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi AI.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Doddi Ahmad Fauji

Editor: Adisman Libra

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan