Transformasi Penyuluh Pertanian Menjadi Penyuluh Literasi
Kebiasaan Joko linier dengan upaya penguatan literasi. Berawal dari membaca karya sastra, lalu menulis dan membagikannya ke komunitas.

Oleh Wahyu Kris
BANYAK mimpi terkubur karena kecelakaan, tapi tidak dengan mimpi Joko. Penyuluh pertanian di Sumenep itu menjadi menjelma penyuluh literasi justru setelah mengalami kecelakaan.
Joko lahir di Desa Kalibaru, Banyuwangi pada 27 Oktober 1960. Selepas menyelesaikan pendidikan SD, SMP, dan SMA di Bondowoso, Joko bekerja di Sumenep Madura sebagai penyuluh pertanian. Waktu itu usianya baru menginjak 18 tahun.
Sebagai penyuluh pertanian, Joko menempuh perjalanan dengan sepeda motor sejauh 25 kilometer setiap hari. Tugas utamanya adalah memberikan wawasan kepada petani. Terutama dalam hal pemilihan bibit unggul untuk tanah berbatu dan cara merawat tanaman di lahan kering. Penolakan sudah seperti makanan sehari-hari, tapi ia selalu menekankan pada diri sendiri bahwa penyuluh pertanian itu pelayan petani.
Pada awal masa tugasnya, Joko sempat terkejut dengan carok. Tradisi duel menjaga kehormatan diri dengan senjata celurit itu sungguh membekas di ingatan Joko. Hal itu mendorong Joko untuk menyelami lebih dalam kultur masyarakat Sumenep. Sembari memberikan penyuluhan pertanian, Joko menyelipkan percakapan-percakapan sepakbola, tradisi sosial, politik desa, hingga pencaharian keluarga. Dari situ Joko menangkap betapa erat orang Sumenep melekatkan diri pada ikatan keluarga dan kampung halamannya. Sorot mata, raut wajah, dan tekanan suara menegaskan bahwa mereka adalah petarung.
Kondisi udara kering, cuaca panas, dan tanah tandus membentuk masyarakat Sumenep menjadi ‘keras’. Namun, di balik karakter ‘keras’ tersimpan bongkahan daya juang mengagumkan. Mereka adalah tipikal masyarakat pejuang yang selalu mencari celah jalan keluar ketika terhadang batu cadas. Masyarakat Sumenep, dan Madura pada umumnya, sangat menjunjung tinggi muruah, kehormatan diri.
Medio September 2016, Joko mengalami kecelakaan lalu-lintas saat perjalanan pulang. Seusai menjalani perawatan selama tiga bulan, Joko menghadapi situasi baru. Separuh tubuhnya bagian bawah lumpuh. Kedua tangan dan jemari Joko tak bisa leluasa bergerak. Jangankan bepergian, duduk dan berdiri saja tidak bisa.
“Saya menghabiskan waktu 24 jam sehari, 7 hari sepekan, di atas ranjang. Sangat terbatas untuk bergerak. Jika bosan berbaring, anak lelaki menggendong saya untuk duduk di kursi. Makan pun disuapi sepiring berdua sama istri,” begitu kisahnya lewat pesan suara.
Dulu Joko berkeliling dari satu kampung ke kampung setiap hari. Sering juga langsung terjun ke ladang. Kini ia harus berbaring di atas ranjang sepanjang waktu. Ada sisi yang hilang dalam jiwanya. Dalam situasi kehilangan itulah Joko menemukan kembali mimpi masa kecilnya lewat buku yang dibawa seorang teman.
Buku itu adalah antologi pentigraf Dari Robot yang Sempurna hingga Alea Ingin ke Surga yang diterbitkan komunitas Kampung Pentigraf Indonesia (2017). Joko menekuri antologi pentigraf itu penuh kegembiraan. Dia menemukan kisah-kisah inspiratif di dalamnya. Serangkaian cerita mengendapkan makna di benaknya. Di kedalaman endapan pentigraf itulah Joko menemukan kembali nyala hidup yang sempat meredup. Mimpi masa kecilnya menjadi penulis tetiba kembali hadir di depan mata.
Pentigraf kependekan dari cerpen tiga paragraf. Genre sastra ini diperkenalkan oleh sastrawan kota Malang Tengsoe Tjahjono sekitar 2014. Sesuai namanya, pentigraf hanya terdiri dari tiga paragraf. Tersusun dari sekitar 210 kata. Latar, tokoh, dan konflik lebur ke dalam alur cerita. Ciri unik pentigraf adalah hadirnya kejutan di paragraf ketiga.
Sejak itu Joko belajar menulis pentigraf dengan menggunakan gawai. Jemari yang tak leluasa bergerak bukan halangan. Manakala jarinya letih menulis lewat keyboard layar sentuh, ia menggunakan fitur voice to text untuk menuang gagasan ke dalam kata. Awalnya ia butuh waktu sepekan untuk menyelesaikan satu judul. Kini ia bisa menyelesaikannya dalam satu-dua hari, apalagi jika idenya kuat dan mood-nya sedang menyala.
Beragam berita kontekstual dan peristiwa viral yang berseliweran di media sosial pun menjadi bahan mentah. Joko menyukai fenomena sosial dan pergulatan keluarga sebagai tema tulisan. Topik pendidikan terkadang tertuang juga dalam pentigrafnya. Tema-tema tersebut sering memantik gagasannya karena, menurut Joko, persoalan pelik di dalamnya tak pernah habis digali. Joko meracik bahan mentah tersebut dengan imajinasi intelektual, menyelipkan pesan-pesan di dalamnya, lalu jadilah pentigraf.
Satu hal yang membuatnya tekun berkarya adalah keyakinan bahwa literasi membawa manusia pada ruang-ruang tak terbatas. Serangkaian kata bisa menghasilkan ribuan cerita. Di balik satu cerita tersimpan ribuan pesan. Maka, menurut Joko, literasi layak dijadikan kawan di mana kita bisa leluasa bertukar gagasan dan menitip pesan. Bersama kelindan gagasan dan pesan itulah peradaban diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Pengalaman puluhan tahun menjadi penyuluh pertanian akhirnya menjadi sumur gagasan. Di pembaringan, Joko kembali membuka memori bagaimana ia berjumpa berbagai macam karakter petani. Di luar lahan pertanian, mereka tetaplah manusia yang mesti berjuang melawan tandusnya kehidupan dan bertarung mengalahkan keterbatasan. Karakter petarung yang dijumpainya pada wajah petani kini perlahan menyeruak dari wajahnya. Jiwa pejuang yang dulu ia tangkap dari orang Sumenep kini membangkitkan jiwanya.
Masa pandemi menjadi masa produktif bagi Joko. Ia menemukan ruang dan waktu yang memberinya kebebasan berkarya. Sejauh ini sudah lebih dari 80 judul pentigraf lahir dari rahim literasi Joko. Sebagian besar termaktub dalam 10 antologi pentigraf dan 2 antologi cerpen. Banyak juga yang bertebaran di grup Whatsapp dan Facebook. Pada tahun 2021, salah satu pentigraf Joko bahkan menyabet juara ketiga lomba penulisan pentigraf yang diadakan komunitas literasi di Purworejo Jawa Tengah.
Kendati tidak bisa bergerak ke mana-mana, semangat berkaryanya terus bergerak. Tubuhnya terbaring, tapi karyanya terbang. Lelaki bernama lengkap Joko Setyo Hutomo itu aktif dalam komunitas maya Kampung Pentigraf Indonesia (Facebook) dan Komunitas Sastra Tiga Indonesia (Whatsapp).
Kedua komunitas pentigraf tersebut beranggotakan beragam kalangan, mulai dari guru, pedagang, dokter, pensiunan, ibu rumah tangga, dan mahasiswa, konselor, hingga teknisi, dan rohaniwan. Mereka telah melahirkan banyak pentigraf dengan tema uniknya masing-masing. Ia senang setiap kali pentigraf yang diunggahnya di grup WA mendapatkan masukan. Joko serasa menemukan keluarga baru yang terbuka diajak rembug bersama.
“Sebelum saya share di grup WA maupun media sosial, tulisan saya serahkan kepada anak saya untuk dikoreksi dulu. Kritikannya juga sepedas cabai terhadap isi tulisan saya,” ungkap Joko tentang putrinya, Alifya Nur Fitri, yang kemudian diajaknya berkontribusi menulis antologi pentigraf bertema Corona.
Media sosial menjadi lahan di mana Joko menyemai benih-benih literasi. Ia sadar betul bahwa zaman pasti berganti, tapi literasi mesti tetap lestari. Setiap zaman membawa corak medianya masing-masing. Literasi mesti dihidupi secara lentur agar mampu beradaptasi. Bagaimana Joko berkarya menyiratkan penegasan bahwa ‘zaman fana, literasi abadi’. Pada zaman Guttenberg, media cetak menjadi ruang utama di mana literasi hidup dan berkembang. Lalu terbitlah zaman Zuckerberg yang memicu literasi berbondong-bondong migrasi ke media sosial.
Terkait media sosial yang acap dituduh sebagai biang merosotnya tingkat literasi, Joko menegaskan ketidaksetujuannya. Media sosial adalah kanal efektif untuk menyebarkan pentigraf. Berkat ketekunannya mengunggah karya di Facebook, banyak kalangan kini tertarik dengan pentigraf. Tawaran AI (Artificial Intelligence, kecerdasan buatan) yang katanya bisa menuruti hampir semua keinginan manusia sempat menggoda Joko. Ia pernah meminta bantuan kecerdasan buatan untuk menulis pentigraf. “Sampai saat ini hasilnya masih kurang memuaskan. Jalan ceritanya lempeng (datar). Plot twist-nya belum berasa, paragraf ketiganya kurang memberikan kejutan,” pungkasnya.
Begitulah Joko dan pentigraf hidup bersama dalam ekosistem literasi. Keduanya terikat simbiosis saling menghidupi dan menghidupkan. Pentigraf menjadi suluh jiwa yang menyalakan kembali semangat hidup Joko. Joko menulis pentigraf untuk merawat nyala hidupnya. Menulis pentigraf kini menjadi cara Joko mengajak masyarakat menciptakan ruang-ruang berliterasi.
Kebiasaan kecil Joko linier dengan upaya penguatan literasi. Berawal dari membaca karya sastra, lalu menulis dan membagikannya ke komunitas. Tiga kata kerja itulah yang sesungguhnya menjadi ikhtiar literasi. Ketiganya merupakan penanda hadirnya proses dialektika, baik pembaca dengan karya sastra, pembaca dengan pengarang, maupun pembaca dengan arus perkembangan zaman.
Apa yang ditekankan Joko agaknya perlu segera digemakan kepada dunia pendidikan. Pemangku kepentingan mesti bersehati mendesakkan olah rasa melalui pengalaman berliterasi sebagai penyelaras olah rasio dan olah raga. Tak perlu nama program dengan diksi ndakik-ndakik. Tak perlu acara seremonial yang berujung pencitraan semata. Wacana makanan jiwa mesti terus diproduksi agar zaman informasi tidak terombang-ambing gelombang post-truth. Pada aras itulah, ketekunan Joko menulis pentigraf layak diteladankan generasi kiwari agar tidak fakir literasi.
Berikut adalah biodata Joko Setyo Hutomo. Lahir di Banyuwangi, 27 Oktober 1960. Saat ini berdomisili di Sidoarjo, Jawa Timur. Pekerjaan sebagai Pentigrafis, pensiunan penyuluh pertanian. Menikah dengan Sri Utaminingsih (65 tahun), pensiunan Guru SMPN 1 Saronggi, Kab. Sumenep dan dikaruniai tiga orang anak: Lukman Nurdini (37 tahun), Wildan Nur Azhary (36 tahun), dan Alifya Nur Fitri (29 tahun).
Wahyu Kris. Guru yang sedang dan senang belajar menulis. Buku esai sastranya Di Balik Wajah Hujan (2024) diterbitkan Pelangi Sastra Malang.
Penulis: Wahyu Kris
Editor: Maghdalena
Keren, pemilihan tokoh yang pas bisa menjadi inspirasi bagi pembaca. Pak Joko luar biasa, meskipun dalam keterbatasan karena sakit, kondisi kesehatan fisik yang tidak maksimal tidak membatasi ruang beliau untuk berkarya dan mengembangkan virus literasi. Tidak bisa dipungkiri, ternyata berawal dari musibah bersama (datanganya virus corona) membawa berkah bagi orang-orang yang memiliki kreativitas untuk melahirkan karya seperti Pak Joko. dan banyak lagi lainnya di luar sana. Tetap semangat Pak Joko, semoga sehat selalu dan ditunggubterus karya-karyanya. Salam literasi.