Tradisi ‘Makmeugang’: Walau Dirantau Kami Tetap Menjaganya
Makmeugang memiliki nilai relegius dengan bersedekah atau saling berbagi sesama masyarakat yang memiliki kemampuan lebih kepada masyarakat kurang mampu.

Oleh Sulaiman Juned
TRADISI Makmeugang atau Meugang bagi masyarakat Aceh telah menjadi budaya. Meugang tetap dilaksanakan bagi masyarakat Aceh walaupun tidak menetap di negerinya. Makmeugang atau Meugang diawali pada masa kerajaan Aceh dengan memotong hewan dalam jumlah yang banyak lalu dibagikan secara gratis kepada masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai rasa syukur dan ungkapan terima kasih atas kemakmuran negeri Aceh dalam menyambut hari-hari besar (cuci) umat Islam. “Tradisi Meugang sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun yang lalu. Tradisi ini dimulai sejak masa Kerajaan Aceh Sultan Iskandar Muda (1607-1636 Masehi). Masa itu Sultan Iskandar Muda memotong hewan yang banyak dan membagikannya kepada masyarakat” (Wikipedia, diakses Rabu 26 Februari 2025, Pukul 20:12 WIB).
Makmeugang atau Meugang merupakan tradisi yang diawali dengan pemotongan sapi, kerbau, kambing, dan ayam, serta itik (bebek). Kebiasaan ini dilakukan ketika menyambut bulan Ramadan (dua hari sebelum Ramadan), atau menyambut hari raya Idulfitri, juga hari raya Iduladha. Kegiatan Makmeugang memiliki nilai relegius dengan bersedekah atau saling berbagi sesama masyarakat yang memiliki kemampuan lebih kepada masyarakat kurang mampu. Hal ini sekaligus untuk memupuk nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong. “Makmeugang atau Meugang adalah tradisi memasak daging dan menikmatinya bersama keluarga dan yatim piatu oleh masyarakat Aceh” (Wikipedia.org, diakses Rabu 26 Februari 2025 pukul 20:12 WIB).
Atas dasar itulah, keluarga saya di Padang Panjang, Sumatera Barat hari ini Rabu, 26 Februari April 2025 menjadi hari Meugang pertama dan Kamis besok Meugang kedua. Kami tidak memotong hewan, namun kami membeli daging di pasar. Lalu, istri saya memasak “sie mirah” (daging merah), “sie puteh” (daging putih atau masak daging kurma namanya kalau di Minang), memasak rendang ayam kampung. Juga memasak soto kesukaan saya.
Kami sekeluarga walau berada di rantau tetap saja menikmati hari Makmeugang pertama ini dengan sederhana untuk tetap menjaga tradisi religius, kebersaman, dan gotong royong tersebut yang telah diwariskan leluhur.
Sambil menikmati gerimis malam ini diteras rumah kami, sembari menikmati soto Aceh racikan istri tercinta saya ucapkan “Selamat menyambut dan menjalankan ibadah Ramadan 1446 H/2025 M. Mohon maaf lahir dan bathin”. Aamin ya Rabb.
Sulaiman Juned, sastrawan, kolumnis, dan esais serta sutradara teater, dosen Jurusan Seni Teater dan Pascasarjana ISI Padang Panjang, pendiri/pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang, juga Ketua Umum Majelis Adat Aceh (MAA) Perwakilan Sumatera Barat.
Penulis: Sulaiman Juned
Editor: Muhammad Subhan