Titik Balik

Hidup menyediakan jeda agar manusia tidak larut dalam kesombongan dan bisa menemukan jati diri sejati.

Oleh Muhammad Subhan

MENJADI tahanan itu tidak enak. Tempatnya di penjara. Bui. Tangsi. Kiri kanan tembok batu. Depan belakang jeruji besi.

Ruangannya sempit. Lembap. Pengap. Tak ada kasur empuk. MCK seadanya. Makanan tak sedap. Tidur pun tak nyenyak.

Setiap hari, yang terpikir hanya satu: Kapan bisa bebas kembali?

Tahanan biasanya pelanggar hukum. Pencuri. Perampok. Pembunuh. Koruptor. Pemerkosa. Dan pelaku kejahatan lainnya. Mereka yang divonis bersalah oleh pengadilan. Mereka menyandang status narapidana—napi.

Lama penahanan berbeda-beda. Tergantung vonis hakim. Ada yang lima bulan. Ada lima tahun. Ada pula yang seumur hidup.

Tak ada yang bahagia saat mendengar vonis. Hati resah. Jiwa gelisah. Kebebasan direnggut.

Penjara memang dibuat agar pelaku jera. Agar sadar. Agar tak mengulang kesalahan.

Tapi tidak semua begitu. Ada yang bertobat. Ada pula yang selepas dari penjara berbuat kejahatan baru.

Puasa sejatinya juga penjara. Manusia menahan diri. Dari makan. Dari minum. Dari hal-hal yang membatalkan. Dari dosa-dosa, yang halus maupun kasar.

Lisan ditahan agar tak memfitnah. Mata ditahan agar tak melihat yang haram. Telinga ditahan agar tak mendengar yang sia-sia. Tangan ditahan agar tak merampas hak orang lain.

Puasa adalah masa penahanan spiritual. Jiwa ditundukkan. Ego dikendalikan. Nafsu dibungkam.

Selama puasa, tubuh dilatih. Hati dibersihkan. Kedermawanan tumbuh. Manusia menjadi lebih tahu arti lapar dan dahaga. Menjadi lebih peduli.

Namun, tak semua tahanan puasa berhasil. Ada yang, usai Ramadan, kembali seperti semula. Lisan tajam. Mata liar. Tangan merampas. Kaki melangkah ke gelap.

Puasa hanya jadi ritus. Sekadar menahan lapar dan haus. Tak menyentuh jiwa. Tak melahirkan kemenangan.

Ada sebuah kisah dicatat Ali Hasjmy dalam bukunya, Surat-Surat dari Penjara. Suatu malam, tahun 1953. Di penjara Pancurbatu, Sumatra Timur. Seorang pemuda bernama Bangun menangis.

Ia ditahan karena perampokan. Usianya dua puluh lima tahun. Dan ia tidak beragama. Atheis.

Tangisnya terdengar oleh sesama tahanan. Ali Hasjmy, seorang tahanan politik yang juga sastrawan, menghampirinya.

“Ada apa, Bangun?” tanyanya.

Bangun menjawab, serak: “Dua malam ini saya merasa dikejar oleh sesuatu. Saya tidak tahu apa itu, tapi sangat menakutkan.”

“Mungkin itu suara hati kecilmu?” tanya Ali Hasjmy.

Bangun mengangguk pelan.

“Saya tahu saya banyak berbuat jahat. Tapi selama ini bisa saya tutupi. Sekarang, rasanya semua kesalahan saya diketahui sesuatu yang gaib. Saya merasa dikejar dan diminta pertanggungjawaban.”

“Saudara percaya Tuhan?” tanya Ali Hasjmy.

“Tak percaya.”

“Beragama?”

“Juga tidak.”

Ali Hasjmy pun berkata, “Apa yang Saudara rasakan, itulah tanda dari Tuhan. Yang ilmunya meliputi semesta. Yang mengetuk hati lewat kesunyian.”

Bangun terdiam.

“Oh…,” gumamnya pelan.

Pertemuan itu jadi bagian perjalanan spiritual Ali Hasjmy. Dan bagi Bangun, itu adalah titik balik.

Ia mulai merenung. Ia mulai mencari. Ia mulai beribadah. Ia mulai mengenal Tuhan.

Suatu malam, Bangun membangunkan Ali Hasjmy. Dengan wajah bersinar, ia berkata, “Saya menemukan jalan lepas itu, Tuan.”

“Sore tadi saya merenungi diri dan dunia. Saya yakin, di balik alam ini ada kekuatan besar. Mungkin itu Tuhan. Saya belum sampai ke sana sepenuhnya, tapi saya percaya… Tuhan itu ada.”

Sejak itu, Bangun menjadi manusia baru. Ia lebih bahagia. Meski masih dalam penjara.

Begitulah. Penjara bisa menjadi tempat tobat. Tempat berpaling dari dosa. Tempat jiwa mengembara, lalu kembali. Pulang—pulang ke dalam diri. Titik balik yang mengingatkan seorang manusia sebagai hamba.

Tak semua orang butuh jeruji besi untuk jadi tahanan. Kadang hidup pun jadi penjara. Dalam kesibukan. Dalam ambisi. Dalam keangkuhan.

Tapi seperti halnya puasa dan penjara, ada masa jeda yang disediakan agar kita kembali. Menemukan cahaya dalam kegelapan. Mendengar suara hati dalam sunyi.

Tujuannya, agar manusia tidak angkuh. Tidak sombong.

Dan, dalam hidup ini, apa yang mau disombongkan? Sebanyak apa pun harta. Sebesar apa pun kekuasaan. Pada waktunya, semua titipan itu akan diminta kembali. Oleh Sang Mahapemilik. Tuhan.

Sehebat apa pun manusia, hidupnya dibatasi usia. Tak ada yang lebih besar dan kuasa selain Kebesaran dan Kekuasaan Allah Swt.

Buya Hamka dalam buku Dari Lembah Cita-Cita menulis: “Besar manusia dengan akal dan budinya memang. Tetapi Allah lebih besar. Berapa kali dinyatakan kisah raja-raja yang terdahulu di dalam Al-Qur’an… Namrud, Fir’aun, Haman, Qarun, Tsamud, ‘Ad, dan kerajaan-kerajaan yang hancur… Semuanya datang dan semuanya musnah. Sehingga yang tinggal hanya sebutannya saja. Dan selalu ternyata: Allah juga yang Maha Besar. Allahu Akbar.”

Semoga, siapa pun yang sedang menjadi tahanan, di dalam penjara maupun di luar penjara, lulus ujian. Menemukan titik baliknya. Bebas. Karena hati benar-benar merdeka.

Dan, bila saatnya tiba, manusia pulang bukan hanya sebagai manusia, tetapi sebagai jiwa yang utuh. Jiwa yang tenang. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.

Lukisan ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan