Timphan, Soto, dan Tol Aceh
Makanan khas seperti timphan dan soto menjadi pengikat kenangan di tengah perjalanan melewati jalan tol baru di Aceh.
Oleh Muhammad Subhan
SUBUH begitu syahdu di Dayah Usi, sebuah gampong di Pidie. Gampong ini tak jauh dari kampung kakek saya di Adan, Meunasah Dayah. Suara takbiran, dalam suasana Iduladha, bergema dari meunasah. Suasana memang masih hari raya.
Siang kemarin kami tiba di Usi setelah menempuh perjalanan Banda Aceh—Sigli selama satu jam, melewati jalan tol dari Banda Aceh. Ini kali pertama saya melewati tol di Aceh. Tol itu baru selesai dibangun. Gagah. Jalannya rancak. Mulus. Membelah perbukitan di kaki Gunung Seulawah. Puncak gunung itu menjulang tinggi di kejauhan, sedikit diselimuti kabut.
Saya bersama kawan-kawan Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang yang sedang melakukan perjalanan literasi memilih jalan tol karena jaraknya lebih dekat, sekaligus penasaran seperti apa suasana jalan tol itu. Bukan berarti saya tak pernah melewati tol, hanya saja di Aceh ini kali pertama, setelah tol itu selesai dibangun.
Ternyata memang benar-benar dekat. Saya tak menyangka jarak Banda Aceh ke Sigli bisa ditempuh hanya satu jam. Normalnya, kalau melewati jalan lama via Saree, bisa 2—3 jam, kalau jalanan tak macet atau tak ada gangguan seperti kendaraan mogok.
Sepanjang jalan tol kami tidak berhenti karena rest area belum dibuka. Tol juga agak sepi.
Kami menikmati perjalanan itu. Ketika Si Biru—Kijang LGX keluaran 1997, kendaraan operasional Kuflet—tiba di ‘exit tol’ Padang Tiji, kami bersorak, “Wah, sudah sampai di Sigli!”
Saya bahagia bisa menjejakkan kaki di kota yang hidup dan semarak ini.
Setelah masuk ke jantung kota Sigli yang ditandai tugu buah melinjo (muling), kami berbelok ke kanan. Terus berjalan hingga tiba di Usi.
Usi ini tanah kelahiran sahabat saya, Dr. Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn., pendiri dan pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang. Beliau dosen teater di Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang. Doktor penciptaan seni lulusan ISI Solo.
Sebelum meninggalkan Banda Aceh, hujan turun deras disertai angin kencang. Seperti salam perpisahan. Di ibu kota provinsi di ujung Sumatra itu, kami sempat bersilaturahmi ke rumah Mak Hafsah Puteh di Villa Buana Ajun, Banda Aceh. Beliau mantan pegawai di Pemprov Aceh. Lumrahnya saat berlebaran, Mak Hafsah membuat kue timphan. Ini kue paling saya suka, apalagi isinya sari kaya. Sedap sekali. Saya ‘batambuah’ 3—4 buah timphan.
“Bungkus saja, untuk dimakan sambil ngopi di perjalanan,” ujar Mak Hafsah.
Saya senang sekali. Tapi tiba di Sigli, rupanya kue timphan itu lupa kami bawa. Saya diingatkan Kanda Sulaiman Juned, “Tadi Mak Hafsah berkabar, kenapa kue timphan tak jadi dibawa?”
Rupanya, kue itu benar-benar tertinggal di rumah Mak Hafsah. Dek Ki—tim Kuflet yang semula hendak membawa kue itu—lupa pula. Kami semua tertawa.
Syukurlah, tiba di Usi, di rumah adik Kanda Sulaiman Juned, terhidang kue timphan pula. Baru saja dimasak. Hangat-hangat. Kopi Gayo pun diseduh. ‘Ondeh’. Saya senang sekali. Hasrat makan kue timphan terpenuhi kembali di Sigli. Yang hilang tergantikan.
Ketika kami pamit dari rumah Mak Hafsah, hujan badai turun. Angin sangat kencang. Suaranya menderu. Pohon dan tanaman di halaman dihoyak angin. Seperti akan tercerabut dari akarnya. Kalau akar pohon itu tak kukuh, sudahlah, habis terbawa angin.
Kami berpamitan kepada Mak Hafsah lalu melanjutkan silaturahmi terakhir di Banda Aceh. Tujuannya ke rumah Dr. Budi Arianto, S.Pd., M.A., pegiat lingkungan dan dosen FKIP Bahasa Indonesia Universitas Syiah Kuala (USK), Banda Aceh. Beliau alumni Sanggar Cempala Karya (CeKa) Banda Aceh, saat masih mahasiswa, bersama-sama Kanda Sulaiman Juned. Baik di Aceh maupun Sumatera Barat, saya beberapa kali bertemu beliau.
Saat saya masih menjadi manajer di Rumah Puisi Taufiq Ismail di Aie Angek, Tanah Datar, Bang Budi—demikian saya akrab menyapanya—juga pernah singgah. Orangnya sederhana, suka berdiskusi, dan asyik. Lebih asyik lagi, meski beliau seorang doktor, ternyata pandai memasak. Di rumahnya, kami disambut soto daging yang spesial beliau masak sendiri.
“Iya, saya masak sendiri. Kalau soal soto, istri saya mengaku kalah, ha-ha,” ujarnya.
Benar. Soto bikinan Bang Budi nikmat sekali. Saya memang suka soto, terutama soto daging sapi. Di Padang Panjang, ada sebuah kedai soto yang ramai dan laris. Saya juga suka makan di sana. Tapi ternyata Bang Budi tak kalah hebat bikin soto. Saya menambah dua kali menyauk kuah dan daging yang luar biasa dengan racikan bumbu yang pas.
Saya tanyakan dari mana beliau belajar memasak soto itu. Rupanya, ada sebuah kedai soto pula di Banda Aceh yang beliau sukai racikannya. Ia penasaran, dan beberapa kali melakukan eksperimen: kenapa soto itu enak sekali?
“Ya, harus diteliti sedetail mungkin, meski pemilik kedai soto tak memberikan resepnya, ha-ha,” jawab Bang Budi, tertawa lagi.
Saya ikut tertawa. Memang, ketika menyukai sesuatu, tak cukup hanya suka. Harus bisa meniru atau membuatnya. Bahkan, dari eksperimen itu, bisa saja hasilnya lebih hebat dari sumber aslinya. Dan, tiba-tiba saya ingin juga bisa bikin soto seperti bikinan Bang Budi, ha-ha. Tapi, saya jujur, tak pandai memasak. Pandainya cuma makan saja, he-he.
Di rumah Bang Budi, kami berbincang lepas. Tentang literasi lingkungan. Tentang kopi. Tentang Seulawah dan Leuser, rumah dari segala fauna dan satwa. Tentang NGO. Tentang sastra dan seni. Lagi, saya banyak mendengar dari cerita-cerita beliau, diselingi nostalgia Kanda Sulaiman Juned saat aktif di Sanggar CeKa.
Usai salat Zuhur di ruang kerja Bang Budi yang sejuk, kami pamit. Meninggalkan Banda Aceh.
Kami lumayan lama di kota ini, sepekan. Lebih banyak bersilaturahmi dengan kawan-kawan, khususnya seniman, meski tak semua sempat dikunjungi karena keterbatasan waktu. Tapi setidaknya, bertemu beberapa kawan sudah cukup untuk melepas rindu.
Di Sigli, kami hanya rehat sejenak, sekaligus bersilaturahmi dengan beberapa keluarga. Tadi malam, saya dikunjungi Muhammad Khatami, perupa muda yang juga guru Bahasa di SMKN 2 Sigli. Khatami adalah pelukis ilustrasi untuk buku kumpulan cerpen saya berjudul “Bensin di Kepala Bapak”.
Dan, nanti malam, Si Biru akan melanjutkan perjalanan ke Takengon dan Bener Meriah di Aceh Tengah. Di Takengon, Kuflet akan singgah di sekolah dan komunitas, memberikan workshop serta diskusi teater dan sastra.
Perjalanan literasi Kuflet sudah hampir ke ujung. Nanti, selepas dari Takengon, perjalanan akan dilanjutkan ke Kota Petro Dollar Lhokseumawe dan Langsa. Di Lhokseumawe, saya ingin berziarah ke makam ayah, sembari mengenang gampong masa kecil di Keude Kruenggeukueh. Banyak kenangan di sana. Kenangan itu ingin saya pungut kembali, meski segala kisahnya tak dapat diulang lagi. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Foto: Jalan Tol Banda Aceh—Sigli. (Foto: Muhammad Subhan)
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah











