Tikus

Selama keserakahan masih bertakhta, tikus akan selalu ada, mengerat tanpa kenyang, merajalela tanpa takut.

Oleh Muhammad Subhan

KISAH-KISAH dari negeri dongeng menggambarkan tikus lahir dari kegelapan. Ia menyusup di sela-sela waktu, menjelajah lorong-lorong pengap yang tak tersentuh matahari.

Sejak mula, ia sudah tahu takdirnya: hidup dalam bayang-bayang, menyelinap, mencuri, dan bertahan dengan cara yang sering kali menjijikkan.

Dari selokan hingga istana, dari gubuk reot hingga gedung bercat emas, tikus selalu ada.

Ia lebih tua dari sejarah, lebih cerdik dari jebakan, lebih bandel dari hukum.

Tikus adalah penghuni perut bumi. Ia menggali, merayap, mengerat. Tak ada batas baginya.

Dinding dapat dilubangi, gudang dapat dikosongkan, lumbung dapat dikuras.

Ia merusak dengan ketamakan yang lahir dari insting. Makanan adalah agama, kerakusan adalah ibadahnya. Ia melahap apa saja, bahkan jenisnya sendiri jika terpaksa.

Ia adalah perwujudan dari kelaparan yang tak pernah selesai.

Tikus suka tempat kotor. Ia raja di wilayah busuk, penguasa selokan dan sampah. Ia hidup dari sisa-sisa, dari yang tercecer, dari yang tak diinginkan manusia.

Namun, bukan hanya di tempat kumuh ia berkeliaran. Ia ada di mana ada makanan, ada celah, ada kesempatan.

Istana mewah pun punya tikus. Namun tikus istana bukan sekadar perusak lumbung. Ia menggerogoti dengan lebih halus, lebih licik, lebih lembut.

Tikus cerdik. Ia belajar dari setiap jebakan, mencium racun dari kejauhan, menghindari bahaya dengan kelicinan yang menakutkan.

Ia beradaptasi, menyesuaikan diri dengan perubahan, lebih cepat dari manusia.

Jika satu cara gagal, ia menemukan cara lain. Jika satu sarang terbakar, ia membangun yang baru di tempat yang lebih aman.

Tikus tidak mati dengan mudah. Meski pabrik-pabrik racun tikus terus berkembang, tapi hewan bermoncong itu terus pula beranak pinak.

Dalam kehidupan manusia, tikus menjadi simbol. Simbol kerakusan, pengkhianatan, kelicikan.

Koruptor sering diidentikkan dengan tikus. Mereka bergerak dalam diam, mencuri tanpa suara, meninggalkan rakyat kelaparan sementara mereka menggendut dalam perjamuan.

Mereka tak butuh jebakan tikus. Mereka yang membuat jebakan untuk orang lain. Mereka mengerat negeri ini seperti tikus mengerat kayu, hingga lapuk, hingga roboh.

Tetapi, manusia pun kadang lebih tikus dari tikus. Di dalam dirinya, ada naluri yang mirip. Suka menyelinap mencari celah, memanfaatkan yang lemah, merampas yang bukan haknya.

Hanya saja, manusia melakukannya dengan jas dan dasi, dengan kata-kata manis dan janji yang muluk.

Bedanya, tikus tidak berpura-pura suci. Tikus hanya mengikuti nalurinya.

Sedangkan manusia?

Mereka berpura-pura adil, berpura-pura bekerja untuk rakyat, sambil menggali lubang bagi negeri sendiri.

Tikus adalah hama. Ia bukan sekadar hewan kecil yang mengganggu. Ia merusak ladang, melubangi dinding rumah, mengotori dapur, menyebarkan penyakit.

Seperti wabah, ia datang tanpa diundang dan pergi meninggalkan kehancuran.

Jika dibiarkan, tikus akan membesar, berkembang biak, menguasai ruang yang tak seharusnya.

Begitu pula para tikus dalam tubuh negara. Jika tidak ditebas, mereka akan terus tumbuh, terus menggerogoti hingga hanya tersisa tulang belulang.

Tikus harus diperangi. Dengan jebakan, dengan racun, dengan ketegasan.

Tetapi, membunuh tikus tak cukup jika tempat kotor masih ada.

Selokan harus dikeringkan, sampah harus dibersihkan, lumbung harus dijaga.

Begitu pula dengan manusia. Korupsi tak bisa sekadar diberantas. Sistem harus diperbaiki, mental harus dibersihkan, keserakahan harus dikikis dari akar.

Jika tidak, tikus-tikus baru akan terus lahir, dengan wajah baru, dengan cara baru, dengan kelicikan yang lebih tajam.

Dan pada akhirnya, renungan itu menghantam kita. Apakah kita benar-benar membenci tikus? Ataukah kita hanya takut karena melihat bayangan diri sendiri dalam mata kecilnya yang hitam dan licik? Apakah kita benar-benar ingin memberantas tikus? Ataukah kita hanya ingin menggantikan mereka di atas meja perjamuan?

Dunia ini penuh tikus, tetapi yang lebih mengerikan adalah manusia yang hidup seperti mereka, mengerat tanpa kenyang, menyelinap tanpa rasa malu, menjarah tanpa belas kasihan.

Tikus ada di mana-mana. Ia tak akan hilang, selama keserakahan masih menjadi tuhan dalam hati manusia. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, dan founder Sekolah Menulis elipsis.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Canva.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan