Oleh Joe Hasan
ENTAH siapa nama perempuan ini. Sudah tiga bulan bertetangga dengannya, jangankan untuk mengetahui namanya, bertegur sapa saja tidak pernah. Saling melempar senyum saat berpapasan pun tidak. Kami sama-sama cuek. Menganggap semuanya hal biasa. Hingga malam ini dia memanggilku.
“Mas! Mas!”
“Iya?”
“Airnya masih pakai?”
“Oh, enggak. Sudah selesai kok.”
“Kalau sudah enggak dipakai langsung matiin dong.”
Raut wajahku berubah. Mendengar kata terakhirnya membuat aku ingin sekali menjambaknya. Mood-ku yang tadinya bagus karena baru terima gaji tiba-tiba berubah buruk. Aku bukan tidak ingin mematikan kran air itu, tapi aku lupa. Lagi pula bukan aku yang memutar kran airnya hingga meluber ke got. Tapi pemilik kamar sebelah. “Ngomongnya biasa sajalah. Enggak usah ngotot gitu. Enggak usah ada tekanan di kata dong.” Aku menggerutu sendiri seraya melihatnya berjalan membelakangiku.
“Sok cantik!” Aku menggerutu lagi. Kumatikan kran air dan berjalan menuju masjid. Mencoba menghilangkan amarahku kepada perempuan yang tidak aku tahu siapa namanya. Aku anggap ini sebagai hari sialku. Sepanjang perjalanan ke masjid hanya kata dong perempuan itu yang memenuhi kepalaku.
Masjid sepi. Hanya ada dua orang di terasnya sedang membaca buku. Di dalam masjid ada tiga orang bapak-bapak sedang tadarus di tempatnya masing-masing. Suara mereka seperti berlomba saling berkejar-kejaran menggema di dalam masjid. Ada yang sedang salat. Mungkin salat Magrib. Dan ada satu anak seusiaku sedang duduk bersila menundukkan kepala. Entah ia sedang berdoa, zikir, atau tidur. Sungguh manusia ajaib kalau ia tidur dalam posisi duduk.
Dulu waktu kecil aku sering melihat ayahku melakukan posisi itu setiap kali mengikutinya salat Jumat. Duduk dengan kepala tertunduk dan mata tertutup. Antara sedang menghayati isi khotbah yang disampaikan pendakwah atau benar-benar tertidur.
Masih ada waktu lima belas menit untuk berleha-leha sambil menunggu datangnya salat Isya. Ada seorang anak yang baru saja datang memasuki masjid dan langsung salat sunnah. Kuperkirakan usianya lima belas tahun. Badannya tidak lebih tinggi dariku. Kulitnya hitam manis. Mukanya bersih, memakai celana kain, baju batik, dan kopiah. Rapi. Seperti seorang ustaz. Dia bukan orang asing. Mungkin dia warga sekitar sini juga. Sering aku melihatnya salat berjamaah di masjid ini. Penerawanganku terhalang oleh kedatangan seseorang yang tidak kukenal. Ia menyapaku.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumusalam,” jawabku standar, dengan senyum apa adanya sambil membalas uluran tangannya. Kami bersalaman. Aku tidak mengenalnya tapi aku ingat siapa orang ini. Dia bapak-bapak yang tadi sedang salat. Usianya sekitar lima puluhan, terlihat keriput yang tidak sedikit di wajahnya.
“Tinggal di mana, Dek?”
“Di belakang supermarket mega, Pak,” jawabku tetap dengan senyum yang lebar.
“Oh, tinggal sama siapa di situ?”
“Sendiri, Pak.”
“Ngekos, ya?”
“Iya, Pak.”
“Keluarganya di man…,”
“Yah, namanya juga anak rantau, Pak.” Terdengar ia ingin melanjutkan terus pertanyaan namun aku segera memotongnya. Sedikit tidak nyaman dengan pertanyaan yang seolah menginterogasi. Sementara aku tidak kenal siapa dia. Meski dari raut wajahnya terlihat dia orang baik.
“Aktivitas hari-harinya apa, Dek?” tanyanya lagi. Gelisahku menggunung. Pikiranku mulai melayang ke mana-mana. Dan kurasa aku tidak perlu menjawab jujur atas pertanyaannya. Tidak boleh terlalu terbuka pada orang baru. Begitu, bukan?
“Kuliah, Pak.”
Tidak bohong. Aku memang kuliah. Tapi sambil bekerja. Namun, sekarang aku lebih fokus pada pekerjaan dulu. Aku sedang cuti satu semester.
“Jurusan apa?”
“Sastra Indonesia, Pak.”
“Oh, guru ya?”
“Iya, Pak.”
“Orang-orang bilang bahasa Indonesia itu gampang. Karena itu bahasa sehari-hari kita. Tapi sebenarnya bahasa Indonesia itu susah. Ada kata-kata yang sebenarnya tidak boleh dipakai dalam kehidupan sehari-hari kita. Dan ada beberapa kata yang salah yang harus dibenarkan.” Dia menjelaskan layaknya guru. Aku mulai suka pada bapak ini. Aku setuju dengan pendapatnya yang menganggap bahasa Indonesia itu sebenarnya tidaklah mudah.
Dulu. Dulu sekali. Waktu masih SMA, teman-temanku memilih jurusan akutansi, managemen, Bahasa Inggris, Tekhnik, MIPA, dan masih banyak lagi untuk melanjutkan pendidikan mereka di perkuliahan. Hanya aku sendiri yang memilih Bahasa Indonesia. Terlihat dan terdengar aneh memang. Mempelajari bahasa sendiri. Bahasa yang sudah kita kenal sejak lahir.
“Kenapa ambil Bahasa Indonesia? Memangnya kamu enggak tahu bahasa Indonesia?” salah satu temanku bertanya. Disusul dengan tawa yang bergemuruh. Aku hanya tersenyum. Aku tahu mereka sedang mengejekku. Meski dikatai seperti itu aku tetap bangga pada jurusan yang telah kupilih. Karena sebenarnya jurusan sastra itu jurusan mahal. Lihat saja di toko buku. Buku-buku sastra terkadang lebih mahal dibanding buku lain. Tipis dan kecil tapi harganya bisa mencapai hingga ratusan ribu. Sedangkan buku yang lain hanya puluhan ribu.
Lamunanku tentang buku dan masa lalu buyar seketika oleh suara azan. Bapak yang tadi berbincang denganku masih ada di depanku. Seolah suara azan menyuruh kami untuk diam. Bapak itu pergi, tak tahu ke mana. Mungkin berwudu.
Suara azan ini menenangkan hatiku. Sudah sangat lama aku jatuh hati pada orang yang menyuarakan adzan ini. Namun tak pernah kulihat sosoknya. Angin membawa mataku ke arah orang yang sedang berdiri menyuarakan azan. Mataku terbelalak. Aku tersentak. Aku kagum. Sekagum-kagumnya. Ternyata dia adalah anak yang tadi kulihat. Anak yang berbaju batik, celana kain, berkulit hitam manis. Anak yang usianya mungkin enam tahun lebih muda dariku.
Orang-orang mulai berdatangan memenuhi masjid. Dari yang muda hingga yang tua. Laki-laki dan perempuan. Dan aku masih tenggelam dalam kekagumanku pada anak ini. Setiap kali suara azan menggema, aku selalu terbangun meski kantuk menyerang deras di waktu subuh. Tadinya aku pikir orang tua yang memiliki suara ini. Aku seakan sedang melihat keistimewaan seseorang yang Tuhan berikan. Aku benar-benar merasa rendah. Bagaimana tidak, dia dengan usianya yang masih terbilang remaja memanggil orang-orang untuk salat.
Arah mataku masih belum berpaling. Kusadari aku tidaklah ada apa-apanya. Aku masih duduk di tempat yang sama. Semua salat sunnah. Kecuali aku. Masih mengagumi keajaiban yang baru saja kulihat.
Suara iqomat mulai terdengar. Kekagumanku pada sang muazin cilik ini timbul lagi. Aku sangat terkesan oleh hal yang ketiga ini. Ya. Ketiga. Karena ada tiga hal yang kualami malam ini. Pertama, mood-ku yang dibuat jelek oleh perempuan yang tidak kukenal yang sebenarnya adalah tetangga kos. Kedua, ada orang tua yang datang padaku seolah ingin mengetahui sesuatu tentangku. Yang ketiga, kekagumanku pada sang muazin cilik. Dan ini kualami dalam waktu tiga puluh menit.
Dalam hitungan detik. Suasana masjid tiba-tiba hening. Hanya ada suara Imam yang berlantun. Bahkan burung yang terbang seolah terpanggil untuk singgah sujud sebentar. []
Joe Hasan, lahir di Ambon pada 22 Februari. Tulisannya dimuat di media cetak dan online. Buku puisinya Dosa Termanis (2024).
Gambar ilustrasi diolah oleh Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.
Penulis: Joe Hasan
Editor: Ayu K. Ardi