THR
Kebahagiaan sejati bukan dari seberapa banyak yang kita dapat, tetapi dari seberapa besar yang kita berikan.

Oleh Muhammad Subhan
TUNJANGAN Hari Raya (THR) bukan sekadar uang tambahan. Ia adalah wujud perhatian. Ia adalah simbol penghargaan. Ia adalah bentuk rasa syukur.
Menurut sejarah, THR diperkenalkan pertama kali oleh Perdana Menteri Soekiman Wirjosandjojo pada 1951. Saat itu, hanya pegawai negeri sipil (PNS) yang menikmatinya. Kemudian, buruh dan pekerja swasta menuntut hal yang sama. Mereka ingin kebahagiaan serupa.
Kini, THR adalah hak. Perusahaan wajib memberikannya. Negara mengaturnya dalam perundang-undangan.
Bagi pekerja, THR bagaikan hujan di musim kemarau. Datang di saat yang tepat. Menyirami kantong yang mulai kering menjelang hari raya.
Tapi THR lebih dari sekadar kewajiban. Ia punya makna yang lebih dalam.
Ia adalah tradisi. Ia bagian dari budaya berbagi.
Sebagian menyebutnya sebagai bentuk sedekah. Sebagian lagi menyebutnya sebagai rezeki yang harus disalurkan. Seperti air, kalau dialirkan, ia akan bening, jernih. Jika tidak dialirkan, air itu menumpuk, bisa kumuh, membiakkan kuman penyakit.
Dan, THR bukan hanya milik karyawan. Ia juga milik orang-orang kecil yang tak terikat kontrak kerja. Guru honorer—juga guru-guru tak berhonor—tukang sapu, petugas keamanan, penjaga parkir, tukang ojek, hingga asisten rumah tangga.
Mereka juga menanti uluran tangan—meski terkadang mereka tidak meminta. Mereka juga ingin menyambut hari raya dengan senyuman.
Bayangkan kota tanpa tukang sapu. Sampah berserakan. Debu menari-nari di udara. Trotoar penuh sisa makanan.
Ketika kota mendapat penghargaan Adipura, siapa yang berdiri di panggung? Wali kota, pejabat, dan pengusaha.
Tapi, siapa yang memegang sapu? Siapa yang berpanas-panasan? Siapa yang berkumuh-kumuh dengan debu? Mereka, buruh kebersihan. Pernahkah mereka menyentuh piala itu?
THR seharusnya lebih dari sekadar nominal. Ia adalah penghargaan atas kerja keras, dedikasi, pengabdian tanpa batas. Ia adalah pengakuan atas jasa yang sering dilupakan.
Memberikan THR bukan hanya soal uang. Tapi soal hati.
Namun, ada yang salah dalam praktiknya. Ada yang menganggap THR sebagai beban. Ada yang memberi dengan terpaksa. Ada yang bahkan tak memberikannya sama sekali.
Ada pula oknum yang menyalahgunakan THR. Mereka menggunakan momen ini untuk memeras. Mengatasnamakan komunitas, organisasi, intansi, bahkan agama. Mereka meminta dengan paksa. Padahal, memberi THR seharusnya datang dari kesadaran sosial. Bukan dari paksaan.
Hidup ini harus banyak menggunakan hati. Jangan hanya otak dan otot. Hati yang peka akan membuat tangan ringan membantu.
Hati yang lembut akan membuka mata. Melihat yang susah. Menyadari yang kekurangan.
Memberi THR bukan soal jumlah. Besar atau kecil, yang penting ketulusan.
Satu lembar uang biru mungkin kecil bagi si kaya. Tapi bagi yang menerima, bisa jadi itulah uang yang menyelamatkan hari raya mereka.
Bisa jadi itulah yang membuat mereka bisa membeli baju baru untuk anak-anaknya. Bisa jadi itulah yang membuat mereka bisa menyajikan ketupat di meja.
THR, jika diberikan dengan hati, bisa lebih dari sekadar tunjangan. Ia bisa menjadi penghapus air mata. Ia bisa menjadi pengikat hubungan. Ia bisa menjadi pembuka pintu rezeki yang lebih besar.
Tapi kalau tidak ada, bagaimana?
Jangan bersedih. Jangan marah. Jangan mengutuk keadaan.
Rezeki tidak selalu datang dalam bentuk uang. Bisa jadi dalam bentuk lain: kesehatan, kebahagiaan, atau sekadar ketenangan.
Karena hidup bukan hanya tentang senang. Hidup adalah tentang ketenangan. Jika bisa senang dan tenang, itu berkah. Jika hanya senang tanpa ketenangan, hati tetap kosong. Jika hanya tenang tanpa senang, hidup terasa hampa.
Hidup harus seimbang. Jangan hanya mengejar uang. Jangan hanya mencari keuntungan.
Kalau terlalu rakus, akibatnya bisa buruk.
Bisa terkena penyakit 3S. Stres, Stroke, lalu Stop. Jika sudah Stop, semua selesai. Harta tak berguna. Jabatan tak bermakna. Tinggal nama. Itu pun kalau masih ada yang mengenang.
Maka, selagi hidup, berbagilah. Selagi ada, bantulah. Karena THR bukan hanya tentang tunjangan. Tapi tentang kemanusiaan. Tentang kebahagiaan bersama. Tentang hati yang lapang serta tangan yang terbuka.
Dan, kata Nabi saw., tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Berbahagialah mereka yang suka memberi dan berbagi. Berbahagialah mereka yang tak suka meminta-minta meski mereka layak menerima. Karena sejatinya, kebahagiaan hakiki bukanlah tentang berapa banyak yang kita dapat, melainkan seberapa besar yang kita berikan.
Memberi dengan tulus adalah bentuk kekayaan sesungguhnya, yang tak akan pernah habis meski dibagi, seberapa pun kecil atau besarnya. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah