Terindikasi

Kata 'terindikasi' bukanlah sebuah vonis, melainkan hanya sebuah sinyal awal yang masih membutuhkan verifikasi lebih lanjut.

Oleh Muhammad Subhan

ADA satu kata yang sering membuat jantung berdegup kencang: terindikasi.

Kata ini muncul di berbagai berita, laporan, tulisan, dan perbincangan.

Ketika seseorang terindikasi melakukan sesuatu, sering kali kita terburu-buru mengambil kesimpulan.

Seakan-akan terindikasi sudah sama dengan terbukti.

Mari kita bedah.

Kata terindikasi berasal dari akar kata indikasi, yang dalam bahasa Latin indicatio berarti ‘menunjukkan’ atau ‘mengarah pada sesuatu’.

Kata ini tidak berdiri sendiri.

Ia selalu butuh pendamping: bukti, analisis, atau kajian lebih lanjut.

Dalam dunia kesehatan, seorang pasien bisa terindikasi mengidap suatu penyakit. Tapi, apakah itu berarti pasti sakit? Tidak.

Dokter masih perlu pemeriksaan lanjutan.

Dalam dunia hukum, seseorang bisa terindikasi terlibat dalam kejahatan. Tapi, apakah itu berarti bersalah? Belum tentu.

Ada asas praduga tak bersalah yang harus dijunjung.

Sayangnya, dalam keseharian, kata ini sering dipakai untuk menghakimi. Saat seseorang terindikasi melakukan kesalahan, langsung muncul kecaman.

Stempel sosial ditempelkan. Ruang klarifikasi menyempit. Diskusi terhenti.

Seakan-akan label terindikasi sudah menjadi vonis.

Padahal, terindikasi bukan kepastian. Ia adalah alarm, bukan keputusan akhir.

Baca juga: Goblok

Ia memberi sinyal untuk mencari tahu lebih dalam, bukan untuk buru-buru menghakimi.

Masih ada ruang untuk verifikasi, masih ada celah untuk diskusi.

Mengapa manusia mudah terjebak dalam kesimpulan tergesa-gesa?

Salah satunya adalah bias kognitif. Pikiran kita cenderung menyukai kepastian.

Ketidakpastian membuat resah. Maka, ketika ada informasi yang seolah-olah mendukung asumsi kita, otak langsung menguncinya sebagai kebenaran.

Fenomena ini dikenal sebagai confirmation bias—kecenderungan untuk menerima informasi yang memperkuat keyakinan yang sudah ada sebelumnya, tanpa mempertimbangkan alternatif lain.

Media sosial memperburuk keadaan. Berita yang mengandung kata terindikasi sering kali dibagikan tanpa konteks.

Judul-judul bombastis menarik perhatian, lalu orang-orang menyebarkan tanpa membaca isinya secara utuh.

Akibatnya, persepsi publik dibentuk berdasarkan asumsi, bukan fakta.

Sikap kritis menjadi kunci dalam menghadapi fenomena ini. Ketika mendengar seseorang terindikasi sesuatu, kita perlu bertanya: Apa sumber informasinya?

Apakah sudah ada bukti konkret? Apakah ada kemungkinan lain?

Dengan menggali lebih dalam, kita tidak hanya melindungi diri dari kesalahan persepsi, tetapi juga menjaga keadilan bagi mereka yang belum tentu bersalah.

Dalam dunia akademik, ilmuwan juga sering menggunakan istilah terindikasi. Ketika sebuah penelitian menemukan indikasi adanya hubungan antara dua variabel, itu bukan berarti kesimpulan akhir telah dibuat.

Masih ada serangkaian eksperimen yang harus dilakukan, pengujian lebih lanjut yang harus ditempuh, dan peer-review yang memastikan hasil tersebut valid.

Begitu juga dalam kehidupan sosial.

Jika seseorang terindikasi tidak jujur dalam pekerjaannya, misalnya, bukan berarti ia harus langsung dipecat.

Ada prosedur yang harus dijalankan: penyelidikan internal, klarifikasi dari berbagai pihak, serta kesempatan bagi yang bersangkutan untuk memberikan pembelaan.

Penting bagi kita untuk menyadari bahwa setiap individu berhak atas keadilan.

Tidak ada yang ingin dicap bersalah tanpa bukti yang kuat. Tidak ada yang ingin dihukum hanya berdasarkan asumsi.

Maka, dalam menghadapi isu apa pun, kita harus membuka ruang diskusi, bukan sekadar menyebarkan label.

Hidup penuh dengan ketidakpastian. Tidak semua hal bisa dipastikan dalam sekali pandang.

Kita perlu belajar menahan diri, menghindari penghakiman cepat, dan memberi ruang bagi kebenaran untuk muncul melalui proses yang adil.

Sebab, terindikasi hanyalah awal dari pencarian fakta, bukan akhir dari segalanya.

Maka, lain kali kita membaca atau mendengar kata terindikasi, mari berhenti sejenak.

Bertanya sebelum menilai. Memastikan sebelum menghakimi.

Sebab, hidup bukan soal siapa yang lebih cepat menarik kesimpulan, tapi siapa yang lebih bijak memahami kenyataan. []

Muhammad Subhan, tim redaksi Majalahelipsis.id.

Gambar ilustrasi diolah tim redaksi Majalahelipsis.id melalui Canva.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Komentar

2 Komentar
  1. Jadi sadar, di balik kata “terindikasi”, ada keluarga yang tidak bisa lagi bersosialisasi seperti biasa karena orang-orang sudah telanjur memberi cap.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan