Tenang

Tenang adalah kekuatan yang membantu seseorang bertahan dalam situasi sulit. Dengan tenang, manusia bisa menghadapi hidup dengan lebih sabar, bijak, dan penuh harapan.

Oleh Muhammad Subhan

TENANG bukan berarti lemah. Bukan pula tanda menyerah.

Tenang adalah kekuatan dalam diam. Cara kita menjaga diri saat dunia di luar tak bisa dikendalikan.

Tidak mudah bersikap tenang saat hati sedang kacau. Ketika masalah datang bertubi-tubi. Ketika pekerjaan menumpuk. Ketika tanggung jawab belum tuntas. Semua terasa berat.

Namun, justru di situlah tenang paling dibutuhkan. Ketika hati bergetar. Ketika pikiran tak menentu. Hanya ketenangan yang bisa menahan kita dari jatuh lebih dalam.

Orang-orang yang tampak tenang, sering kali sedang menanggung beban berat. Mereka belajar mengatur napas. Menahan kata. Mengatur langkah. Agar tidak tumbang.

Tenang itu pilihan. Kita bisa memilih panik atau menenangkan diri. Kita bisa memilih ribut atau menarik napas pelan. Kita bisa memilih menunda reaksi, agar tidak menyesal nanti.

Kalau tenang, hati lebih senang. Kalau hati senang, ketenangan lebih mudah tumbuh. Keduanya saling menguatkan. Saling mengisi.

Ketenangan sangat dekat dengan kesabaran. Keduanya berjalan bersama.

Orang sabar biasanya tenang. Dan orang yang tenang, lebih mudah untuk bersabar.

Keduanya melatih kita untuk tidak terburu-buru. Untuk percaya bahwa segala sesuatu akan menemukan waktunya sendiri.

Kesabaran memberi ruang pada hati. Ketenangan memberi ruang pada pikiran. Bersama-sama, mereka menuntun kita melewati masa sulit tanpa harus kehilangan arah.

Tenang juga sangat penting dalam urusan emosi. Saat marah, kita mudah tersulut. Kata-kata bisa jadi senjata. Tapi kalau kita tenang, kita memberi jeda. Waktu untuk berpikir. Untuk menyaring apa yang layak diucap.

Saat menghadapi masalah, ketenangan membuat kita tetap berpijak.

Gagal, kecewa, kehilangan—semua pernah kita rasa. Tapi panik tidak pernah membawa solusi. Hanya dengan tenang, kita bisa menyusun ulang langkah.

Tenang membuat komunikasi lebih sehat. Kita tidak mudah memotong. Tidak mudah menyela. Lawan bicara pun merasa dihargai. Dan kita lebih mudah menyampaikan isi hati.

Dalam mengambil keputusan, tenang memberi kita ruang untuk menimbang. Tidak semua pilihan bisa diambil cepat. Kadang butuh waktu. Butuh kejelasan. Butuh ketenangan.

Di tempat kerja atau sekolah, tekanan datang hampir setiap hari. Tapi jika kita tetap tenang, kita bisa fokus. Bisa memilih mana yang harus diselesaikan lebih dahulu. Bisa tetap sopan meski ditekan. Profesional meski letih.

Dalam keadaan darurat, tenang adalah penyelamat. Saat semua panik, orang yang tenang bisa jadi penentu. Ia bisa berpikir cepat, tapi tidak gegabah.

Tenang juga penting dalam urusan batin. Saat beribadah. Saat menyendiri. Saat berdialog dengan Tuhan.

Ketenangan membuat kita lebih peka. Lebih hadir. Lebih merasakan makna hidup.

Dan saat tubuh kita sakit, tenang menjadi teman paling setia. Rasa nyeri, lelah, dan takut, kadang datang bersamaan. Tapi panik hanya menambah penderitaan. Tenang justru memberi kita harapan.

Sakit itu ujian. Tapi dengan tenang, kita bisa menerima. Bisa pasrah dengan ikhlas. Bisa mengalir bersama proses penyembuhan.

Tenang membantu kita tetap bersyukur, meski tubuh sedang tak berdaya.

Kesabaran dalam sakit juga menumbuhkan pengertian. Kita jadi tahu bahwa tubuh punya batas. Bahwa hidup ini rapuh. Tapi juga kuat, jika dijaga dengan tenang.

Banyak tokoh bijak menekankan pentingnya tenang dan sabar. Marcus Aurelius berkata, “Kualitas hidup bergantung pada kualitas pikiran.”

Helen Keller menulis, “Anda tidak akan belajar sabar dan berani jika hidup hanya berisi kebahagiaan.”

Dan Audrey Hepburn mengingatkan, “Hal yang paling penting adalah menikmati hidupmu, menjadi bahagia, apa pun yang terjadi.”

Dalam Al-Qur’an pun ditegaskan: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5–6).

Ini bukan sekadar ayat. Ini adalah janji.

Tenang tidak membuat masalah hilang. Tapi membuat kita sanggup menghadapinya. Membuat kita mampu bertahan.

Tenang bukan tentang tidak merasa. Tapi tentang tidak larut dalam rasa. Bukan tentang membuang beban. Tapi tentang membawa beban dengan cara yang lebih lembut.

Karena, dalam hidup ini, kita tidak bisa selalu menghindari badai. Tapi kita bisa belajar untuk tetap tenang—dan sabar—hingga badai itu berlalu. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.

Gambar ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan