Oleh Aliurridha

“KAMU tak jadi ambil tawarannya?” Pertanyaan Jero memutus lamunanku. Aku tidak langsung menjawab dan memilih mengisap rokokku dalam-dalam. Kemudian aku menggeleng.

“Aku tuh, heran sama kamu. Bukannya kamu benci pekerjaanmu?”

“Bukannya kamu tahu merokok tidak baik buat kesehatan, tapi toh kamu tidak berhenti juga.”

“Ya, mau bagaimana lagi. Tak ada ini, tak ada lagi yang bisa aku nikmati.”

“Kita,” kataku membenarkan.

Aku menoleh ke sekeliling, ke wajah orang-orang yang sedang berbagi asap rokok di dalam terminal . Hanya di dalam Terminal ini orang-orang diperbolehkan merokok. Sejak Undang-Undang Kesehatan diberlakukan, setiap yang tertangkap merokok di luar Terminal akan dikenakan denda yang tak masuk akal. Orang-orang yang tidak bisa membayar akan dipekerjakan oleh negara. Tentu saja tanpa bayaran. Namun, perokok bukannya berkurang, malah terus bertambah.

“Setidaknya kamu sekarang punya pilihan.”

“Mungkin kamu benar.”

“Kalau aku jadi kamu, sudah aku terima tawaran Pak Tua itu.”

Tepat setelah Jero mengatakan itu, sebuah pemberitahuan masuk ke gelang elektronik di pergelangan tanganku.

“Pak Tuamu?”

Aku mengangguk. Kuisap panjang rokokku sebelum keluar Terminal. Jero menepuk punggungku.

“Pikirkan lagi,” ujar Jero. Aku mengangguk kemudian keluar dari tempurung kura-kura, melangkah menuju kereta kapsul yang mengantarku ke tempat lelaki itu.

Sudah lebih sepuluh tahun aku menekuni pekerjaan ini. Aku menemani orang-orang tua kesepian berjalan kaki berkeliling kota sambil membicarakan banyak hal. Aku tidak pernah menyukai pekerjaanku, tapi ini satu-satunya yang bisa kukerjakan. Sejak revolusi ‘45, orang-orang tua itu mendirikan faksi-faksi, kemudian anak-anak diberikan tes untuk masuk ke faksi yang sesuai dengan karakteristik mereka agar bisa berfungsi untuk negara. Namun, ada juga jenis yang tidak cocok di faksi mana pun sepertiku. Negara tidak mau berinvestasi untuk orang-orang sepertiku. Karenanya aku harus mencari cara agar berfungsi di dunia ini. Dan menjadi Teman Jalan kupikir yang paling cocok buatku.

“Bagaimana kabarmu?”

“Itu pertanyaan yang rumit.”

Ia tertawa mendengar jawabanku. Kemudian dengan agak tertatih ia berdiri dari bangku tempatnya duduk. Aku membantunya. Lalu kami berjalan beriringan.

“Sudah diputuskan?”

“Ya.”

“Jawabanmu masih sama?”

“Ya.”

“Tidakkah tebersit di benakmu tentang perubahan?”

Aku tidak menanggapinya.

“Tak inginkah dirimu punya hidup yang lebih baik?”

“Aku menikmati pekerjaanku.”

Gelang di tanganku berbunyi.

“Tidak biasanya dirimu berbohong.”

“Bukannya kamu yang memintaku untuk tak selalu berterus terang?”

“Benar. Manusia butuh sedikit kebohongan dalam hidupnya.”

Aku menunjuk ke gelang elektronik di tanganku. “Dan konon orang-orang kaya hanya mau mendengar kebenaran dari mulut orang-orang miskin,” balasku sinis.

“Itu sesuatu yang harus kamu lakukan di luar sana, bukan di sini. Di sini kamu dibayar untuk bicara jujur. Kamu tahu, kamu tidak akan bisa bertahan di luar sana jika terlalu berterus terang. Dunia ini dibangun daripada kebohongan!”

“Karena itu orang sepertimu butuh orang sepertiku.”

“Ada yang lainnya,” balasnya penuh arti.

“Aku benar-benar tidak habis pikir, kok ada orang yang mau menghabiskan uang hanya untuk mendengar bantahan.”

“Jika kamu sudah terlalu lama mendengar apa yang ingin kamu dengar, kamu rindu mendengar apa yang tidak ingin kamu dengar.”

“Kenapa tidak sekalian saja bikin mesin-mesin itu membantah kalian?”

“Ah, sepertinya kita sudah sering membahasnya. Tak peduli berapa kali pun kita membicarakannya, kamu tidak akan mengerti. Kamu berada di sisi seberang. Kamu tidak melihat apa yang kami lihat.”

“Coba jelaskan!”

“Sebentar,” katanya. Ia menunjuk bangku di bawah pohon trembesi. Lalu kami menuju ke sana. Ia duduk dengan metodis. Aku duduk tepat di sebelahnya.

“Kamu tahu, Nak. Negeri ini tidak mungkin mencapai puncak kesejahteraannya jika setiap orang tidak bersepaham. Ketidaksepahaman bisa mengganggu daripada jalannya pembangunan. Kami butuh orang-orang yang bisa bekerja sesuai dengan orientasi pembangunan nasional.” Ia diam sebenar sebelum melanjutkan. “Itu yang kami percayai dulu….”

Aku pernah membacanya di buku sejarah tentang bagaimana orang-orang tua itu mengembangkan sistem yang membuat negeri ini mampu mencapai kemakmuran setelah ulang tahun yang ke seratus. Salah satunya adalah dengan membatasi jumlah angka kelahiran. Setiap warga yang tak cukup kaya, tidak dibolehkan punya anak. Jika ingin punya anak, mereka harus menginvestasikan sebagian besar usianya kepada negara. Mungkin itu alasan orang-orang tua kesepian ini menggunakan jasa kami. Mungkin juga itulah kenapa ada begitu banyak anak yang menjadi milik negara.

“Jadi, karena itu kalian menciptakan faksi-faksi? Agar orang jadi seragam?”

“Seragam….” Ia terbatuk. “Kata itu sebaiknya tidak kamu gunakan. Dengarkan kami, Nak. Itu kata yang berbahaya. Negara kita menjunjung tinggi pluralisme. Tidak ada yang seragam. Faksi-faksi adalah bukti betapa setiap orang berbeda satu dengan lainnya, dan kami memelihara daripada perbedaan itu.”

Aku menatap gelang di tangannya, menunggu gelang itu berbunyi. Gelang tidak berbunyi. Tapi aku tahu dia berbohong.

“Ayolah. Itu bohong, kan? Ini tidak adil. Aku takkan membocorkan tentang yang kita bicarakan hari ini. Bahkan jika aku ingin, aku tetap tidak bisa melakukannya, bukan?”

Ia tidak langsung menanggapi dan menatapku masygul.

“Sudah berapa kali kita terjebak pada percakapan ini?”

“Kami sudah tidak menghitungnya lagi. Puluhan kali mungkin.”

“Sebanyak itu?”

“Kurang lebih.”

“Aku benar-benar keras kepala rupanya.”

“Dan itu yang membuat pembicaraan kita selalu menyenangkan.”

“Menyenangkan? Bagaimana aku bisa tahu, kamu terus menghapus ingatanku.”

“Kami tidak menghapusnya,” katanya mengoreksi. “Hanya menguncinya. Jika kamu menerima tawaran kami, kuncinya akan kami beri.”

“Sudahlah. Berhenti menawarkan itu, Pak Tua. Aku tidak tertarik menjadi salah satu robotmu!”

“Kamu bukan robot, dan tidak pernah menjadi robot. Kamu itu….”

Perkataannya terpotong. Seeokor merpati melintas di depannya, kemudian bertengger di sandaran bangku taman tepat di sebelah ia duduk. Matanya bergerak mengikuti pergerakan merpati itu. Ia memperhatikan burung merpati cukup lama. Sinar matahari sore menembusi pohon-pohon trembesi dan menimpa wajah lelaki tua di sebelahku. Wajahnya terlihat lebih tua daripada hari-hari biasanya. Wajahnya kelihatan lelah, seumpama orang yang terlalu lama memikul beban kehidupan.

“Kamu bukan robot,” ulangnya.

Ah, lagi-lagi dia mengulang kata-kata yang sama untuk mendapat jawaban yang berbeda.

“Apakah kalau aku tidak mau, sebagian ingatanku akan terkunci selamanya?” tanyaku.

Ia mengangguk sedih. Matanya berkaca-kaca diterpa matahari sore musim kemarau yang dingin. Aku mencoba memahami apa yang dirasakannya, tetapi aku tidak bisa. Setiap menatap matanya, rasanya seluruh diriku tersedot ke dalam lubang yang membingungkan. Semacam puzzle dari teka-teki pikiran.

“Tak peduli berapa kali pun, tetap saja susah untuk mengatakannya. Rasanya selalu seperti pertama kali.”

Aku mencoba memahami kata-kata penuh arti itu.

“Kami tidak butuh robot. Segala kebutuhan kami sudah ada yang mengurus. Kami butuh pewaris.”

“Dan aku kembali mengatakan tidak untuk itu.”

“Jika kamu menerimanya, kamu tidak perlu lagi bekerja seperti ini. Kami tahu dirimu benci pekerjaan ini.”

“Siapa bilang? Aku senang, kok. Pekerjaan ini memungkinkan aku punya akses pada buku. Aku bisa membaca banyak, meskipun, ya, itu demi kepentingan kalian; agar aku punya bahan untuk dibicarakan. Tapi, setidaknya, aku masih bisa memilih apa yang kubaca. Tidak seperti kebanyakan kalian yang hidup dalam perlindungan faksi. Jika ada bagian yang kubenci dari pekerjaan ini, itu karena aku harus bertemu orang-orang tua yang memaksaku menuruti keinginan mereka.”

“Tidak ada yang memaksamu untuk itu. Dirimu manusia bebas. Bebas melakukan apa saja. Bebas berkata apa saja.”

Aku berdiri. “Kalau begitu aku pergi sekarang.”

“Kita masih bicara. Masih ada yang belum kami katakan.”

Aku kembali duduk. “Berikan saja ke orang lain, Pak Tua. Ada begitu banyak orang di luar sana yang senang menjadi pewarismu. Atau kamu bisa menyumbangkannya. Pasti banyak panti asuhan yang menunggu dengan senyum merekah untuk itu. Jika tidak, kamu bisa menyumbangkannya untuk negaramu tercinta ini. Tak usah repot-repot denganku.”

“Yang kami butuhkan adalah teman bicara. Teman bertukar pikir.”

“Aku di sini setiap hari.”

“Kami ingin lebih daripada itu.” Ia mengambil jeda sebelum melanjutkan, “Kami tahu dirimu tidak mengerti. Mungkin nanti di penghujung usia, baru dirimu mengerti; tidak ada yang lebih menyenangkan daripada punya teman bicara.”

“Kamu bukan butuh teman bicara. Kamu butuh orang yang selalu mau mendengarkanmu. Tidak puas membeli waktuku, kamu hendak membeli hidupku.”

“Bukan begitu. Bagaimana cara mengatakannya dengan benar?” Ia diam sejenak.

“Kamu itu sebenarnya anakku.”

Aku terperangah. Lelaki tua ini pasti sudah pikun, pikirku.

“Kamu mungkin tidak percaya,” lanjutnya. Kemudian ia menceritakan segalanya. Ia bercerita tentang ibuku, tentang bagaimana ia meninggalkanku, dan tentang kehilangan yang ia terima jika saat itu ia memilih aku ketimbang negara. Lalu aku tidak mendengar apa-apa lagi kecuali suara Ibu yang sesekali datang mengunjungiku di panti.

“Kamu tidak usah mencarinya. Suatu saat nanti dia pasti mencarimu.”

“Kenapa Ibu bisa seyakin itu?”

“Ibu tak tahu alasannya. Tapi dia pasti datang.”

Saat itu aku tidak mengatakan apa-apa, tetapi aku bersumpah tidak akan menunggu. Kemudian kenangan masa kecil yang berantakan bagai piring pecah itu datang. Gelombang kemarahan meluap hingga tubuhku terasa panas. Tapi aku tidak melakukan apa-apa. Hanya membeku seperti lahar dingin. Akhirnya, aku mengerti kenapa aku tidak pernah bisa menerima tawarannya. Kemudian aku melihat matanya menatapku dengan kilatan rasa bersalah. Kami tidak berkata apa-apa untuk waktu yang cukup lama, sampai selubung beku yang menyelimuti kami pecah oleh apa yang dikatakannya kemudian.

“Kali ini kami akan membiarkanmu mengingat daripada percakapan kita. Kami bahkan akan memberi kuncinya. Dirimu bisa mengakses kembali ingatanmu yang hilang.”

Lelaki tua itu kemudian berdiri. “Kami sudah lama menunggu reaksimu yang ini. Negeri ini tengah sekarat, Nak. Faksi tidak lagi bekerja seperti dulu. Tapi generasi tua tidak bisa lagi memperbaikinya. Negeri ini membutuhkan orang-orang sepertimu.”

Setelah mengatakan itu ia pergi meninggalkanku dalam kebingungan. Aku terus menatap punggung bungkuknya yang melaju ke arah matahari terbenam. []

Blencong, 2023-2024

Aliurridha. Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Mataram. Pada tahun 2023 terpilih sebagai emerging writers dalam Makassar International Writers Festival. Bergiat di komunitas Akarpohon. Novel terbarunya berjudul Teori Pernikahan Bahagia (Falcon Publishing, 2024).

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.

Penulis: Aliurridha

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan