Oleh Daviatul Umam

YUYUD mengembuskan napas terakhirnya pagi itu, setelah berbulan-bulan menderita komplikasi. Tangisan disertai raungan dukacita pecah dan gaduh. Sangat tidak rela kehilangan anak semata wayangnya. Ibu dari anak lelaki 12 tahun itu seperti orang kesurupan. Tak henti-hentinya ia memekik sambil sesekali mengguncang dan menciumi jenazah anaknya, sesekali juga memukuli dadanya sendiri, sampai pita suaranya karat dan ia jatuh pingsan beberapa saat.

Sementara, ayah Yuyud meratapi kepergian anaknya di sudut ruang utama rumah, dengan air mata yang tak begitu deras, tetapi sorot matanya teramat suram dan berbahaya. Tubuhnya yang lunglai kemudian bangkit, keluar ke beranda, menghampiri seseorang seraya membisikkan sesuatu.

Seseorang yang dibisiki lantas bergegas ke dapur, mencari sebilah pisau di rak. Begitu menemukan benda yang dicari, ia langsung mengambil dan membawanya ke dalam rumah duka. Sesuai perintah ayah Yuyud, pisau itu diletakkan di atas perut jasad Yuyud yang berselubung kain pareo batik cokelat. Sontak salah seorang kerabat Yuyud menegurnya, “Buat apa?” Ia menjawab pelan, “Saya disuruh Sadikin. Tolong jaga pisau ini baik-baik.”

Tingkah lelaki tambun itu meninggalkan pertanyaan terpendam bagi para kerabat serta beberapa tetangga yang berada di dekat mayat. Tak ada yang tahu maksud atau tujuan sebuah pisau diletakkan di atas sekujur tubuh kaku itu—termasuk orang yang meletakkannya—kecuali Sadikin.

Di luar, kasak-kusuk tentang perkara ganjil tersebut mulai menyeruak. Para pelayat laki-laki menerka-nerka isi pikiran Sadikin sembari mengaitkan kematian Yuyud dengan prasangka mereka sendiri. Perbincangan samar demikian tak lain masih seputar isu yang tengah beredar di kampung Japaet. Pasalnya, warga mencium bau busuk yang tersembunyi di kampung tersebut. Mereka melempar syak wasangka kepada Pak Sumatwi. Lelaki 60 tahunan yang sejak dulu memang dikenal sebagai dukun itu, belakangan dicurigai sebagai penganut ajaran iblis.

Tiga orang warga yang meninggal dunia dalam setahun terakhir, diduga menjadi korban pembunuhan gaib, dan Pak Sumatwi adalah dalangnya. Walau tanpa bukti yang akurat, prasangka buruk itu bukan sama sekali tak beralasan. Dua di antara orang yang terbunuh teluh itu konon pernah berselisih dengan Pak Sumatwi. Bahkan salah satu dari keduanya hampir beradu senjata tajam dengan Pak Sumatwi di pasar sapi, andai saja orang-orang tidak segera melerainya.

Adapun korban satunya lagi, Salim, tidak merasa punya permasalahan sedikit pun dengan Pak Sumatwi. Ia merupakan sanak saudara Pak Sumatwi dan hubungan mereka selalu baik-baik saja. Akan tetapi, entah kenapa Pak Sumatwi pernah datang ke dalam mimpinya, kira-kira sepuluh hari sebelum ia mengalami sakit perut luar biasa. Di alam bawah sadarnya, Salim melihat Pak Sumatwi menuntun seekor anjing yang tampak kelaparan. Pak Sumatwi lalu melepas rantai yang tercantol ke kalung si anjing, dan seketika hewan najis itu lari ke arah Salim dengan wajah beringas.

Salim tak habis pikir. Ia pun hampir tak percaya, apa mungkin Pak Sumatwi memiliki ilmu hitam dan hendak mencelakai dirinya? Jika iya, dari mana Pak Sumatwi mendapatkan ilmu terlaknat itu dan untuk apa berupaya membunuh kerabatnya sendiri yang tidak bersalah?

Makin hari perut Salim membengkak, buncit mirip wanita hamil lima bulan. Jenis penyakit yang sama persis diderita oleh dua korban sebelumnya. Sudah dua kali Salim menjalani rawat inap di rumah sakit kota. Sejumlah dukun juga sudah didatangkan ke rumahnya. Pak Sumatwi sendiri yang pernah menjenguk Salim, sempat mengelus-elus perut kerabatnya itu sembari merapalkan jampi-jampi pengobatan. Tapi nihil. Penyakit Salim justru bertambah parah.

Dalam sakitnya yang semakin kualat, Salim kembali bermimpi orang yang sama. Muka Pak Sumatwi sejurus tersenyum, lalu tiba-tiba berubah menjelma kera. Mimpi buruk kedua itu seolah menjadi penegas bahwa Pak Sumatwi memang sumber datangnya penyakit yang Salim derita. Esoknya, dengan sisa tenaga yang sangat lemah, Salim menceritakan mimpi buruk tersebut kepada istri dan anak lanangnya. Entah siapa dari mereka yang kemudian membocorkan ke luar pagar, mimpi itu meluas dan menjadi buah lidah masyarakat dengan bumbu gosip yang beragam.

Pak Sumatwi barangkali tidak tahu kalau dirinya sedang digunjingkan di mana-mana atau pura-pura tidak mendengar. Sebagai kerabat, ia tetap melayat tatkala Salim telah wafat. Ia berlagak natural sebagaimana pelayat lain yang tidak merasa melakukan kejahatan apa pun. Ia juga tak pernah absen menyumbang tahlil untuk arwah Salim selama tujuh malam. Ia mungkin tidak tahu atau pura-pura bodoh bahwa jemaah tahlilan kerap membicarakannya diam-diam. Sebagian dari mereka beranggapan, santet yang dilakukan Pak Sumatwi tersulut atas dasar rasa dengkinya terhadap harta kekayaan yang dimiliki Salim, sedang ia sendiri bernasib sebaliknya.

*

Selepas tujuh hari kepergian anaknya, Sadikin mulai bergerak untuk menunaikan rencana besar yang sempat terbendung. Sebuah rencana yang ia rancang sejak Yuyud didiagnosis mengidap tuberkulosis, sebelum akhirnya gejala-gejala penyakit yang lain muncul bersusulan. Sadikin yakin, berbagai jenis penyakit di dalam tubuh anaknya pasti kiriman setan sehingga tidak cukup ditangani dengan tindakan medis. Satu-satunya obat yang menurutnya paling ampuh, adalah membunuh sosok yang telah meminta bantuan setan agar membuat Yuyud ambruk dan mampus.

Sebenarnya ada alternatif yang jauh lebih aman. Yakni berbicara secara baik-baik dengan si ahli tenung supaya menghentikan perbuatan kejinya. Namun, pantang bagi Sadikin melakukan hal demikian. Memohon pertolongan kepada orang yang sudah berbuat kejahatan besar terhadap dirinya, sama saja dengan menjilat kotoran orang itu. Rencana pembunuhan harus dibalas dengan hal serupa. Tapi rencana yang kian mendidih di kepalanya terpaksa didinginkan. Sadikin termakan tausiah gratis dari kakak iparnya saat ia mengutarakan niat kejam tersebut.

“Sadar, Kin. Di zaman sekarang carok bukan solusi yang tepat. Bukannya mengatasi masalah, malah nambah masalah. Kamu mau dipenjara?” tukas si kakak ipar. “Sudahlah. Fokus saja sama penyakit Yuyud. Jangan berpikir yang aneh-aneh. Lagi pula belum tentu Pak Sumatwi pelakunya. Belum tentu juga dia punya ilmu sihir.”

Sepintas, seakan mustahil kalau Pak Sumatwi mempelajari atau bahkan mengamalkan ilmu sihir. Perawakannya sopan. Sewaktu-waktu ia menjadi muazin di masjid, selain juga terbilang rajin salat berjemaah magrib, isya, dan subuh. Tapi mengingat praduga terkait kematian ‘misterius’ tiga orang di kampung Japaet, dipertegas dengan dua mimpi buruk Salim yang dijadikan titik tumpu pembuktian, orang-orang tidak ragu menyebut Pak Sumatwi sebagai tukang teluh.

Berdasarkan desas-desus itulah, Sadikin begitu yakin kalau anaknya juga kena tempias. Kendatipun ia merasa tidak punya permasalahan apa pun dengan Pak Sumatwi—apalagi anaknya—bisa saja Pak Sumatwi mengirim mantra busuknya kepada Yuyud atas dorongan kebencian yang lain. Bisa jadi manusia terkutuk itu melampiaskan iri hatinya akan keberuntungan bisnis Sadikin, sebagaimana telah dilakukannya kepada Salim.

Kini tak ada pilihan lain. Sadikin harus segera membayar nyawa anaknya. Persetan ia dengan penjara. Kepalanya telanjur dikuasai ambisi yang gila. Ia mengajak beberapa kawannya untuk berunding. Dalam lingkaran kecil itu, ia menguraikan rencana lamanya yang dulu tertunda. Sadikin ingin menjebak Pak Sumatwi di suatu tempat. Yang ia tekankan, kawan-kawannya cuma ditugaskan menjebak. Tidak lebih. Ia sendiri nanti yang akan menghabisi nyawa Pak Sumatwi.

Tetapi keinginan tersebut tertolak. Tidak ada yang setuju dengan ide Sadikin.

“Sabarlah sedikit. Itu terlalu bahaya buat kamu. Pak Sumatwi bukan orang sembarangan.”

“Kita semua punya kebencian yang sama. Jangan egois. Aku yakin, semua orang yang punya dendam sama Pak Sumatwi pasti juga ingin membunuhnya dengan tangannya sendiri. Jangan ceroboh.”

“Tapi kita tidak boleh terlambat. Biar tidak ada korban berikutnya.”

Mereka terus berembuk dengan segala macam pertimbangan, hingga membuahkan hasil yang cemerlang. Sadikin pun akhirnya turut bersepakat.

Seolah tidak mau memakan banyak waktu, hari itu juga mereka berpencar berbagi tugas. Semua laki-laki di kampung Japaet didatangi sekaligus dikompori. Tak lupa mereka menegaskan, jangan sampai ada satu orang perempuan pun yang tahu! Semua mengiyakan. Tanpa terkecuali. Mereka sangat antusias menyambut ajakan Sadikin dan kawan-kawannya. Terutama mereka yang menyimpan dendam yang sama terhadap Pak Sumatwi.

*

Pada malam yang telah ditentukan dan disepakati bersama, kurang-lebih pukul 02:00, semua laki-laki di kampung Japaet terjaga. Mereka saling membangunkan lewat telepon. Sialnya, beberapa orang tepergok sang istri. Mereka lantas menjawab dengan alasan yang dibuat-buat. Satu-dua orang yang gagal meyakinkan istrinya, terpaksa harus berterus terang.

Ya, semua laki-laki di kampung itu memang berhasil lolos dari istrinya. Meski begitu, ada seorang pria yang tidak ikut nimbrung bersama gerombolan. Rupanya ia memanfaatkan kesempatan untuk melancarkan kepentingannya sendiri. Tidak ada yang tahu kalau ternyata ia pergi ke rumah seorang wanita untuk menyalurkan gejolak berahinya. Dua hari sebelumnya, sudah ia kabarkan kepada kekasih gelapnya itu, bahwa pada malam Selasa pukul dua, semua lelaki—termasuk suami si wanita—bakal keluar rumah untuk membakar rumah Pak Sumatwi.

Sementara itu, gerombolan massa sudah tiba di pekarangan Pak Sumatwi. Mereka kompak menghambur-hamburkan bensin dan solar ke sekeliling rumah si tukang teluh. Selama beraksi, mereka sama-sama mengunci mulut dan begitu hati-hati menggerakkan kaki, khawatir pemilik rumah terjaga dari tidurnya. Apabila perlu menyampaikan instruksi atau aba-aba, mereka bicara lewat bahasa isyarat. Hanya sepoi angin dan derik jangkrik yang mengisi kesunyian.

Usai penyiraman bahan bakar dirasa cukup merata, korek kayu lekas-lekas dinyalakan dan dilempar oleh Sadikin. Cuma butuh beberapa detik, kobaran api sudah menyelimuti rumah malang itu. Sebuah rumah sederhana di mana Pak Sumatwi hidup sebatang kara semenjak ditinggal mati istrinya empat tahun silam. Anak satu-satunya, Sumatwi, menetap di rumah istrinya di pulau seberang dan jarang sekali pulang.

Kobaran api semakin menjadi-jadi berkat bantuan embusan angin. Sekali-sekali terdengar bunyi kertak kayu atap rumah dikunyah taring api dengan ganasnya. Orang-orang tersenyum puas di balik pepohonan dan semak-semak. Ada pula yang berdiri dengan perasaan iba sambil menatap pertunjukan dahsyat si jago merah dari kejauhan. Segelintir dari mereka bahkan diliput kabut sesal yang amat tebal.

Namun, ada satu hal yang luput dari perkiraan mereka. Tidak akan ada yang tewas dalam pembakaran, kecuali hewan-hewan kerdil yang menumpang tempat tinggal atau kebetulan singgah. Tanpa sepengetahuan mereka, beberapa jam sebelumnya Pak Sumatwi sudah mengemasi barang-barang yang dianggapnya berharga, seperlunya, kemudian pergi entah ke mana. []

Daviatul Umam. Lahir dan tinggal di Sumenep, Madura. Menulis puisi dan prosa. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah ini kini bergiat di Komunitas Damar Korong dan Malate Artspace, Sumenep. Buku puisinya yang telah terbit bertajuk Kampung Kekasih (2019).

Penulis: Daviatul Umam

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan