Teater

Hidup adalah panggung teater tanpa gladi resik. Setiap peran harus dimainkan dengan sepenuh hati. Pada akhirnya, tirai akan tertutup, dan hanya makna yang ditinggalkan akan dikenang.

Oleh Muhammad Subhan

DUNIA ini panggung teater. Baik laki-laki dan perempuan hanyalah pemain (aktor). Mereka masuk dan keluar sesuai peran. Begitu kata William Shakespeare.

Kita lahir tanpa skenario. Kita tumbuh dengan peran yang terus berubah.

Seorang bayi menangis, lalu tertawa. Seorang anak berlari, lalu jatuh. Seorang remaja bermimpi, lalu ragu. Seorang dewasa bekerja, lalu lelah. Seorang tua termenung, lalu pergi.

Panggung kehidupan tak selalu terang. Terkadang lampu meredup, tirai jatuh. Ada babak gembira, ada adegan duka. Semua berpindah tanpa aba-aba.

Teater adalah cermin kehidupan. Di dalamnya ada air mata dan tawa. Ada kejujuran, ada kepalsuan. Ada kebenaran, ada kepura-puraan.

Kita memainkan peran masing-masing. Ada yang menjadi pahlawan. Ada yang menjadi pecundang. Ada yang setia pada naskah. Ada yang berimprovisasi untuk memenuhi kebutuhan seni.

Peran yang kocak membuat kita terbahak. Peran cinta membuat kita mabuk kepayang. Begitu lirik lagu “Panggung Sandiwara” yang ditulis penyair Taufiq Ismail dan dipopulerkan penyanyi Achmad Albar di era 1990-an.

Tapi, di balik semua itu, ada pesan yang tersembunyi. Kita semua sedang berlatih untuk peran terakhir.

Kelahiran adalah pintu masuk. Kematian adalah pintu keluar. Di antara keduanya, panggung harus dihidupkan. Dengan cerita yang pantas dikenang.

Mengapa kita bersandiwara? Mengapa kita berpura-pura? Bukankah hidup itu nyata? Atau hanya sketsa yang terus diperbaiki?

Teater mengajarkan makna. Bahwa setiap adegan berharga. Bahwa setiap dialog bisa mengubah dunia. Bahwa peran sekecil apa pun punya arti.

Di Yunani, teater adalah persembahan. Di kerajaan, teater adalah hiburan. Di jalanan, teater adalah perjuangan. Di hati manusia, teater adalah kehidupan.

Mungkin kita bukan aktor utama. Mungkin kita hanya figuran. Tapi, tanpa figuran, panggung terasa hampa. Tanpa kita, cerita ini tak sempurna.

Maka, mari berperan dengan sebaik-baiknya. Mari bermain dengan hati. Mari menuliskan naskah dengan cinta.

Sebab, pada akhirnya, tirai akan ditutup. Dan tepuk tangan akan menggema. Bukan karena kita sempurna. Tapi karena kita telah memberi makna.

Teater adalah ruang yang bebas. Di sana, kita bisa menjadi siapa saja: seorang raja yang bijaksana, seorang pengemis yang putus asa, seorang kekasih yang setia, atau seorang pengkhianat yang culas.

Kita tak bisa memilih peran sejak awal. Namun, kita bisa memilih bagaimana memainkannya. Dengan elegan atau dengan sembrono. Dengan jujur atau dengan tipu daya.

Di atas panggung, semua tampak jelas. Cahaya menyorot wajah-wajah kita. Emosi tertumpah tanpa bisa disembunyikan.

Tapi di luar panggung, topeng-topeng mulai dipakai. Kita tersenyum saat hati terluka. Kita tertawa saat hati menangis.

Bukankah kehidupan pun demikian?

Kita berakting di hadapan dunia. Bertutur seolah tahu segalanya. Berlaku seolah tak pernah goyah.

Namun, di dalam hati, ada ruang yang sunyi. Di sana, kita menyadari segalanya fana. Bahwa peran ini tak abadi. Bahwa kita hanyalah pelintas yang menari di atas pentas.

Ketika lampu mulai meredup. Ketika tirai hampir tertutup. Apakah kita puas dengan peran yang telah dimainkan? Ataukah kita ingin mengulang adegan-adegan yang terlewat?

Hidup adalah pertunjukan tanpa gladi resik.

Tak ada kesempatan untuk mengulang babak. Tak ada revisi untuk adegan yang telanjur dimainkan.

Maka, jadilah pemeran terbaik dalam kisahmu sendiri. Tak perlu meniru lakon orang lain. Tak perlu takut akan penilaian penonton.

Karena, pada akhirnya, semua panggung akan sepi. Dan kita hanya akan dikenang dari cerita yang kita tinggalkan.

Selamat merayakan Hari Teater Sedunia, 27 Maret. Semoga setiap peran yang kita jalani membawa kebaikan, melampaui hari ini, menuju masa depan yang lebih bermakna. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Canva.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Komentar

2 Komentar
  1. Seorang sastrawan yang modifikasi dengan kata kata sastra perpaduan antara puisi dan kehidupan pasti hasilna jempolan yang apik bermain kata dan diksi sangat apik dan SAE pisaan…selamat

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan