Tan Malaka, Pemikir Revolusioner yang Terlupakan

Tan Malaka menuntut kemerdekaan penuh bagi Indonesia dan menulis buku Gerpolek yang berisi strategi perlawanan terhadap imperialisme.

Catatan Adisman Libra — Padang

TAN MALAKA adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Ia memberikan kontribusi besar dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda dan perumusan konsep Republik Indonesia.

Sebagai seorang pemikir dan revolusioner, gagasannya telah menginspirasi banyak orang, dan pengaruhnya masih terasa hingga saat ini.

Tan Malaka lahir pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Saat itu, daerah kelahirannya berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda.

Nama aslinya adalah Ibrahim dengan gelar adat Simabua Datuk Sutan Malaka. Ayahnya, HM. Rasad Caniago, adalah seorang buruh tani, sedangkan ibunya, Rangkayo Sinah Simabur, berasal dari keluarga terpandang di desanya.

Sejak kecil, Tan Malaka sudah dididik dalam tradisi Islam yang kuat, menghafal Al-Qur’an, serta mempelajari seni bela diri pencak silat. Namun, di kemudian hari, pemikirannya berkembang ke arah revolusioner, yang mengantarnya menjadi salah satu tokoh paling kontroversial dalam sejarah Indonesia.

Pemikiran Tan Malaka

Sebagai sosok yang dijuluki Bapak Republik Indonesia, nasib Tan Malaka berakhir tragis di ujung senapan tentara republik yang ia perjuangkan. Namanya lama absen dari buku sejarah Indonesia, dan baru dalam beberapa dekade terakhir mulai mendapatkan pengakuan kembali. Padahal, Tan Malaka adalah tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia dalam bukunya Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) tahun 1925, jauh sebelum Mohammad Hatta menulis Indonesie Vrij (1928) dan Soekarno menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).

Jejak pendidikannya dimulai dari Kweekschool (kini SMA Negeri 2 Bukittinggi) pada 1908. Di sana, ia belajar bahasa Belanda dan menjadi pemain sepak bola yang terampil. Salah satu gurunya, G.H. Horensma, mengakui bahwa Tan Malaka adalah murid yang cerdas meskipun terkadang tidak patuh.

Setelah lulus pada 1913, ia kembali ke desanya dan dianugerahi gelar adat. Namun, ia memilih untuk tidak menikah, karena menganggap pernikahan dapat menghambat perjuangannya.

Dengan dukungan dana dari masyarakat desanya, ia melanjutkan pendidikan ke Belanda pada 1913. Di Eropa, Tan Malaka mendalami teori revolusi dan sosialisme, terinspirasi oleh buku De Franse Revolutie karya Wilhelm Blos. Ia juga mulai membaca karya-karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin, yang memperkuat pemikirannya tentang perlawanan terhadap kolonialisme.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Tan Malaka kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru di perkebunan tembakau Deli, Sumatera Timur. Di sana, ia menyaksikan penderitaan para buruh kuli akibat sistem kapitalisme kolonial.

Ia pun menulis berbagai artikel kritis, seperti “Tanah Orang Miskin” dan laporan mengenai penderitaan para kuli di Sumatera Post. Keterlibatannya dalam gerakan perlawanan membuatnya berhubungan dengan Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Di Semarang, ia mendirikan Sekolah Sarekat Islam yang berorientasi pada pendidikan berbasis kearifan lokal.

Perjalanan Politik

Dalam perjalanannya, Tan Malaka menjalani kehidupan nomaden di berbagai negara, termasuk Rusia, Filipina, dan Tiongkok. Ia menggunakan banyak nama samaran, seperti Ilyas Husein, Ossorio, Ong Soong Lee, Alisio Rivera, dan Hasan Gozali, untuk menghindari kejaran intelijen kolonial. Setelah Revolusi Rusia 1917, ia makin tertarik pada komunisme dan sosialisme. Namun, Tan Malaka tetap mempertahankan keyakinannya terhadap Islam sebagai landasan moral perjuangannya.

Pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, ia menentang perundingan dengan Belanda yang dianggap merugikan Indonesia. Ia bahkan dianggap sebagai dalang Peristiwa 3 Juli 1946, sebuah upaya menentang kebijakan diplomasi yang lunak terhadap Belanda.

Tan Malaka menuntut kemerdekaan penuh bagi Indonesia dan menulis buku Gerpolek yang berisi strategi perlawanan terhadap imperialisme.

Namun, perjuangan Tan Malaka berakhir tragis. Pada 21 Februari 1949, ia dieksekusi tanpa pengadilan oleh tentara Republik Indonesia di Jawa Timur. Meskipun diakui sebagai pahlawan nasional pada 28 Maret 1963 berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 53, namanya tetap jarang dibahas dalam narasi sejarah arus utama.

Menulis Madilog

Salah satu karya terpenting Tan Malaka adalah Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), yang diterbitkan pada 1943. Buku ini menjadi salah satu karya intelektual paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran politik Indonesia. Madilog berisi konsep filsafat yang menggabungkan materialisme historis dengan logika ilmiah, mengajak bangsa Indonesia untuk berpikir kritis dan rasional dalam perjuangan menuju kemerdekaan.

Hingga kini, pemikiran dan perjuangan Tan Malaka masih menjadi bahan kajian yang menarik. Ia adalah seorang revolusioner yang tidak mencari popularitas, tetapi berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Sayangnya, namanya sempat terlupakan dalam sejarah resmi. Kini, saatnya kita mengenang kembali peran besar Tan Malaka dalam membentuk Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat. []

Sumber foto utama: Revolusioner.org

Penulis: Adisman Libra

Editor: Muhammad Subhan

Komentar

1 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan