Taman Baca: Menyulap Mimpi Menjadi Kenyataan

Beberapa buku hilang, ada yang dibawa pulang anak-anak, ada pula yang usang dimakan usia, ada yang bagian sampulnya lenyap entah ke mana.

Oleh Nurlelawati

INI adalah mimpi tentang sebuah taman bacaan, oase pengetahuan di tengah gersangnya kehidupan. Jauh sebelum menjadi pegiat literasi, jiwa saya telah dihuni kecintaan pada buku. Koleksi buku pelajaran sekolah menjadi awal mula, buku yang sudah tua tetapi masih layak dibaca tetap saya susun rapi di meja yang hanya terbuat dari kayu sederhana, bahkan ada yang saya jejerkan di dinding dengan penyangga tali agar tampak banyak dan kelihatan gambarnya. Sebuah perpustakaan mini yang menyimpan kenangan dan pengetahuan.

Mimpi itu kemudian membuncah, menggerakkan langkah saya untuk mengumpulkan buku-buku, tidak hanya milik saya, tetapi juga dari orang tua saya seorang guru yang rumahnya bagai perpustakaan kecil, dan dari saudara-saudara saya. Bahkan saya meminta kepada guru yang sudah purna tugas dan tetangga yang memiliki buku di rumah dan tidak dibaca lagi untuk disumbangkan ke taman baca. Buku-buku itu seakan berbisik mengajak saya pada sebuah petualangan baru.

Maka, terciptalah sebuah kelas kecil, les privat membaca dan berhitung untuk anak-anak sekolah dasar. Bukan sekadar mengajari mereka membaca dan berhitung, tetapi juga menanamkan kecintaan pada buku. Setiap kali bertemu sebelum les dimulai mereka saya biarkan untuk membuka buku bahkan mewajibkan untuk membaca satu buku. Senyum-senyum polos mereka, mata yang berbinar saat membaca, menjadi energi yang menguatkan langkah saya. Apalagi setiap pekan jumlah mereka yang datang semakin bertambah. Tiga kali seminggu, siang hari sepulang sekolah, jam dua tepat kami memulai les privat, walaupun hujan, tetapi mereka tetap hadir, kami bertemu, membangun jembatan pengetahuan di antara halaman-halaman buku.

Namun, waktu tak pernah berhenti berlalu. Dua tahun sudah kami lewati, beberapa buku hilang, ada yang dibawa pulang anak-anak, ada pula yang usang dimakan usia, ada yang bagian sampulnya lenyap entah ke mana. Tetapi, di tengah kehilangan itu, sesuatu yang baru tumbuh, mereka meminta agar bukunya ditambah dan meminta buku baru, mereka bosan membaca buku itu-itu saja. Rutinitas membaca sepuluh menit sebelum atau sesudah belajar, menumbuhkan benih kecintaan membaca di hati anak-anak. Minat mereka terhadap buku semakin meningkat, melampaui batas kelas kecil saya, membawa saya pada sebuah keputusan, mendirikan taman baca.

Bersama anak-anak di Perpusdes yang saya kelola. (Foto: Dok. Pribadi)

Perjalanan membangun taman baca tidak semulus jalan tol. Buku-buku cerita yang dibutuhkan untuk memenuhi dahaga baca anak-anak, harganya selangit. Uang hasil les privat, yang hanya cukup untuk membeli spidol, dan membayar satu tenaga pengajar tak mampu membelinya. Bayangkan saja harga buku baru berkisar lima puluh ribu rupiah.

Pandemi Covid-19 pun datang, menambah tantangan. Anak-anak terkurung di rumah, jenuh bermain handphone. Buku-buku yang saya miliki menjadi penyelamat, menjadi teman setia mereka di masa sulit itu. Mereka datang untuk meminjam buku, bahkan kadang sampai berminggu-minggu tidak dikembalikan karena takut untuk keluar, mereka hanya bisa video call untuk mengatakan esok ingin meminjam buku lagi. Sehingga waktu itu banyak koleksi buku di taman baca saya berkurang, karena dipinjam dan ketika mengembalikan ada yang tidak kembali.

Saya tidak menyerah. Saya menebar asa melalui media sosial, Facebook, WhatsApp, dan Telegram. Hanya sekadar untuk promosi bahwa ada taman baca yang membutuhkan buku bacaan dan mohon bantuan untuk donasi buku walaupun sudah tua asalkan masih layak dibaca. Doa dan usaha saya dibalas dengan beragam respons, dari dukungan penuh hingga komentar-komentar yang meragukan niat saya. Tetapi, saya tetap teguh, menjelaskan bahwa taman baca ini bukan untuk mencari keuntungan, tetapi untuk berbagi pengetahuan dan menebar kebaikan.

Buku-buku berdatangan, dari tangan-tangan dermawan. Ada yang datang mengantarkan, ada pula yang saya ambil sendiri dari rumah donatur. Bahkan saya mendapatkan donatur dari dosen Universitas Darmajaya, Bandar Lampung, Ibu Novita Sari, S.Sos., M.M. Pengarang buku cerita rakyat Lampung Legenda Mahat Menggala, buku karyanya saya resensi dan waktu itu sempat disebarkan oleh akun milik Rumah Baca Yusuf Baradatu yang dikelola Bapak Aan Primadona Reza. Ibu Novita terkesan dengan apa yang saya lakukan sehingga saya diberi bantuan buku lumayan banyak. Satu persatu, buku-buku itu saya pilah, saya rawat, seakan merawat sebuah harta karun. Akhirnya, mimpi itu terwujud. Spanduk bertuliskan “Taman Baca Mandiri SN” terpasang di depan rumah saya, menyambut setiap langkah kaki yang haus akan pengetahuan. Pada waktu itu tidak terpikir apa nama taman baca yang saya buat, dengan simpel akhirnya saya mengambil inisial depan nama saya dan suami (Sumadio) sehingga menjadi SN.

Setahun kemudian, kepala kampung Way Pisang mengulurkan tangan, menawarkan kerja sama dengan perpustakaan kampung, taman baca yang saya kelola menjadi Perpusdes. Surat keputusan (SK) dan insentif Rp100.000 per bulan. Kerja sama itu membuka jalan bagi peningkatan kapasitas diri saya, melalui pelatihan-pelatihan literasi dari berbagai lembaga, seperti Dinas Perpusda, Kantor Bahasa Lampung, Perpusnas, dan Forum Taman Baca Masyarakat (FTBM). Sampai akhirnya saya bertemu dengan guru menulis Bapak Muhammad Subhan ketika pelatihan di Hotel Horizon Bandar Lampung tahun 2021. Saya tertarik dengan materi yang disampaikan dan gayung bersambut, saya digabungkan dalam grup menulis Sekolah Menulis elipsis (SMe). Bahkan, tidak lama berjarak, saya juga diutus mengikuti kegiatan Peer Lerning Meeting (PLM) di Surabaya, kegiatan dari Perpusnas RI untuk meningkatkan kualitas pengelolaan taman baca yang saya kelola.

Kini, taman baca saya telah berkembang menjadi Perpusdes Way Pisang. Koleksi buku yang semakin bertambah, suasana yang semakin hangat, semuanya menjadi bukti bahwa keuletan dan kesabaran adalah kunci untuk mewujudkan mimpi. Dari perjalanan ini saya belajar bahwa sebuah mimpi, sekalipun kecil, dapat mengubah dunia, satu buku, satu anak, satu kampung, pada satu waktu. Mimpi itu tidak akan berakhir selagi kita masih bisa tidur dan kembali mewujudkan. []

Nurlelawati seorang guru yang dipercaya menjadi kepala sekolah di salah satu sekolah dasar, Kecamatan Way Tuba, Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung, sekaligus menjadi pegiat literasi yang memiliki taman baca atau Perpusdes yang dikelola secara mandiri, Saat ini menjadi salah satu siswa Sekolah Menulis elipis (SMe) asuhan Muhammad Subhan dari Padang Panjang, Sumatera Barat.

Penulis: Nurlelawati

Editor: Muhammad Subhan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan