Susah

Susah adalah wajah lain dari kehidupan yang penuh perjuangan, ujian, dan ketimpangan. Dengan empati dan iman, manusia bisa menemukan makna dan jalan keluar dari kesusahan.

Oleh Muhammad Subhan

SUSAH menjadi orang susah. Sudah pasti itu. Semua akan serba susah. Mau apa saja, susah.

Susah adalah satu kata. Tapi dampaknya bisa menjalar ke segala sisi kehidupan.

Ia bisa berarti perut lapar. Atau pikiran yang buntu. Bisa juga berarti hati yang penuh beban. Jiwa yang kehilangan arah.

Susah itu tak selalu tampak. Kadang menyamar dalam senyum orang yang sabar. Dalam tawa yang dipaksakan. Dalam langkah yang tetap maju meski tertatih.

Menjadi orang susah adalah hidup dalam keterbatasan. Serba kekurangan. Serba tidak cukup. Kadang serba tidak mungkin. Hidup seperti berjalan dalam kabut. Tak tahu arah. Tak tahu apa yang akan terjadi besok.

Orang susah bangun pagi bukan untuk mengejar mimpi, tapi untuk menyambung hidup. Setiap hari adalah perjuangan. Untuk makan. Untuk bertahan. Untuk tidak menyerah.

Pendidikan adalah impian yang mahal. Bukan semua anak bisa mencapainya. Bukan karena malas. Tapi karena tak punya biaya. Tak punya akses. Tak punya dukungan. Apalagi di perguruan tinggi.

Dalam bidang kesehatan, yang susah harus bersabar menunggu giliran, menunggu bantuan, menunggu obat. Kadang harus memilih: berobat atau makan. Pilihan-pilihan yang tak seharusnya ada, tapi nyata terjadi.

Ekonomi adalah tekanan yang paling nyata. Harga naik. Penghasilan stagnan. Lapangan kerja sempit. Utang bertumpuk.

Orang susah tahu rasanya tidur dengan cemas. Bangun dengan bingung. Apa yang bisa dijual hari ini? Apa yang bisa ditunda?

Dalam sisi sosial, orang susah sering dianggap masalah. Diperlakukan seolah beban. Tak punya suara. Tak punya tempat. Bantuan sering tak tepat sasaran. Program hanya bagus di kertas. Di lapangan, mereka tetap harus bertahan sendiri.

Susah juga berarti kehilangan harga diri. Ketika tak bisa memberi. Ketika hanya bisa meminta. Ketika merasa gagal sebagai kepala keluarga. Sebagai anak. Sebagai manusia. Itu luka yang tak terlihat, tapi terasa dalam.

Yang lebih menyakitkan, kadang orang susah harus tampil kuat. Harus pura-pura tak kenapa-kenapa. Karena masyarakat sering tak suka melihat duka. Karena orang susah tak boleh mengeluh. Kalau mengeluh, dianggap lemah. Kalau diam, dianggap tak butuh.

Kita sering menilai dari hasil. Tanpa tahu proses panjang dan terjal yang dilalui seseorang. Kita menyarankan motivasi. Memberi kutipan semangat. Padahal yang dibutuhkan kadang bukan kata-kata, tapi uluran nyata. Atau sekadar pengertian.

Susah bukan sekadar keadaan ekonomi. Tapi juga kondisi jiwa. Mental yang letih. Emosi yang rapuh. Semangat yang nyaris padam. Hidup terasa sempit. Seperti dunia menutup semua pintu.

Padahal, tak semua orang malas. Tak semua orang tak berusaha. Tapi sistem sering kali timpang. Yang kaya makin kaya. Yang miskin makin susah. Ketimpangan terus melebar. Kesempatan tidak dibagi rata. Lalu yang susah disuruh bersabar, sementara yang mapan makin leluasa.

Keadilan sosial adalah impian besar. Tapi di mata orang susah, itu seperti bayang-bayang. Ada dalam pidato pejabat. Tapi tak terasa dalam keseharian. Undang-undang dan program negara terdengar hebat. Tapi apakah mereka merasakannya?

Kita lupa bahwa susah itu bisa menimpa siapa saja. Bisa datang tiba-tiba. Bisa merobohkan siapa pun. Bahkan mereka yang dulunya kuat. Mereka yang tadinya berada.

Karena itu, memahami kesusahan orang lain adalah bentuk kemanusiaan. Bukan belas kasihan. Tapi empati. Bukan merasa lebih tinggi. Tapi menyadari bahwa kita mungkin saja berganti tempat.

Susah itu bukan aib. Bukan dosa. Bukan kelemahan.

Susah adalah bagian dari hidup. Tapi seharusnya tak perlu selalu ditanggung sendiri. Karena manusia diciptakan untuk saling menolong. Saling menguatkan.

Dunia ini tidak selalu ramah. Tapi kita bisa membuatnya lebih adil. Sedikit saja. Dengan membuka mata. Membuka hati. Memberi ruang. Memberi waktu. Memberi sedikit rezeki. Memberi pengertian.

Karena yang susah, bukan hanya mereka yang terlihat lusuh. Tapi juga mereka yang menanggung beban diam-diam.
Dan barangkali, saat kita memudahkan hidup orang lain, di situlah hidup kita jadi lebih bermakna.

Secara filosofis, kesusahan menampakkan wajah sejati kehidupan. Ia adalah guru yang paling keras, tapi juga paling jujur.

Ia menguji daya tahan, memperlihatkan siapa yang benar-benar peduli, dan siapa yang hanya berpura-pura.

Dalam susah, manusia belajar menata ulang makna hidup—bukan soal memiliki, tapi soal memberi makna pada setiap kehilangan.

Agama, dalam pengertiannya yang sejati, datang bukan untuk menghukum orang yang susah, melainkan mengangkat mereka. Tuhan tidak membenci mereka yang hidup dalam kesulitan. Justru, dalam ajaran hampir semua agama, doa orang yang susah lebih dekat didengar Tuhan.

Islam mengajarkan, “Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan.” (QS Al-Insyirah: 6). Kristen mengajarkan tentang berkat dalam penderitaan. Buddha menyentuh akar duka dan menunjukkan jalan pembebasan dari penderitaan. Semua agama membawa harapan.

Dengan iman, kesusahan tak lagi membuat putus asa. Ia menjadi ladang kesabaran. Menjadi jalan untuk lebih dekat kepada Tuhan. Menjadi pengingat bahwa hidup ini fana, dan yang abadi adalah amal baik, keikhlasan, dan cinta kepada sesama.

Agama tidak menyelesaikan kemiskinan secara instan. Tapi ia menumbuhkan kekuatan batin. Menyalakan harapan di tengah gelap. Dan memberi manusia alasan untuk tetap berjalan, meski dengan langkah perlahan. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan