Surat

Zaman surat-menyurat mengajari saya sabar, merawat kata, dan menghargai waktu. Dalam setiap amplop, tersimpan cinta yang ditulis pelan-pelan dan penuh makna.

Oleh Muhammad Subhan

DI TAHUN 1990-an, saya menghabiskan masa remaja di Aceh. Masa, yang tentu, tak dapat lagi diulang.

Kegembiraan masa remaja itu sederhana. Dunia tulis-menulis membukanya.

Saya menemukan kebahagiaan yang tak bisa dibeli: menulis surat. Mengirim cerita ke teman-teman jauh. Di berbagai kota. Bahkan luar negeri.

Waktu itu, belum ada media sosial. Tak ada notifikasi. Tak ada emoji di layar gawai.

Yang ada hanya secarik kertas, sebatang pena, dan prangko kecil di sudut amplop.

Setelah menulis dan mengirim surat, saya menunggu. Setiap minggu, menunggu surat balasan. Dan saat surat itu datang—dunia serasa berputar lebih indah.

Surat-menyurat atau istilah lain berkorespondensi, bukan hanya sarana berbagi cerita. Ia adalah pintu. Jembatan. Sungai yang mengalirkan pengalaman, budaya, dan cara pandang yang berbeda.

Majalah Sahabat Pena dari Pos Indonesia menjadi kompas saya. Di sana saya mencari teman-teman baru. Membaca cerpen. Menikmati puisi. Merangkai harapan agar satu nama di majalah itu balas menulis surat kepada saya.

Saat surat balasan datang, rasa haru itu tak bisa dijelaskan. Jantung sudah pasti berdebar tak biasa. Seperti orang jatuh cinta. Seakan saya menerima sepotong dunia yang belum pernah saya jejaki.

Dari surat-surat itu, saya belajar banyak. Tentang kehidupan yang lain. Tentang betapa luasnya bumi ini, dan betapa indahnya perbedaan.

Surat juga mengajari saya menulis kreatif. Saya harus merangkai kalimat dengan hati-hati. Memilih kata yang tepat. Sopan. Lembut. Semuanya harus lahir dari hati.

Bahasa surat itu berbeda. Tak sama dengan bahasa SMS, WhatsApp, atau medsos lainnya. Punya sopan santun sendiri. Penuh pertimbangan. Ada etika yang tak tertulis—dan dari situlah, saya mulai paham bagaimana menulis yang benar.

Orang bilang, watak manusia bisa terbaca dari goresan tangannya. Entahlah. Yang pasti saya tak suka menerawang.

Dari hobi bersurat-menyurat itu, lahirlah hobi lain: filateli. Hobi mengumpulkan prangko. Dan, saya mulai jatuh cinta pada prangko.

Ukuran prangko itu kecil. Tipis. Tapi penuh makna. Penuh sejarah.

Prangko bukan sekadar biaya kirim. Ia membawa kisah. Tentang tokoh. Tentang peristiwa. Tentang bunga, hewan, dan negara-negara yang hanya bisa saya bayangkan di zaman itu.

Saya kumpulkanlah prangko itu. Saya simpan rapi dalam album. Setiap lembar menyimpan kisah. Setiap prangko menyimpan rasa ingin tahu.

Surat dan prangko mengasah banyak hal dalam diri saya. Mereka membentuk mata batin. Membuka cakrawala.

Dari surat-surat itulah, saya mulai belajar menyusun cerita lebih serius. Menulis puisi. Mencoba esai. Menjadi diri saya yang hari ini: penulis! Hidup dari tulis-menulis.

Surat mengajari saya kelembutan. Mengajari saya berpikir pelan-pelan. Agar tiap kata sampai ke hati pembaca—tapi sungguh, saya tidak tahu, apakah tulisan-tulisan saya itu benar-benar sampai ke hati pembaca, atau saya saja barangkali terlalu kepedean.

Surat adalah guru pertama saya. Itu bekal saya menulis hingga kini.

Lambat laun, saya mulai mengirim tulisan ke media massa. Majalah. Surat kabar. Dan, media-media itu, tak sedikit yang menolak. Tapi saya menikmati setiap penolakan itu. Saya coba berlapang dada untuk jatuh cinta dalam penolakan. Meski sakit. Kecewa. Sebab saya tahu, di balik satu penolakan, ada pelajaran yang menunggu.

Dari surat kecil yang saya tulis dulu, lahirlah cerita-cerita besar. Lahir novel. Cerpen. Puisi. Esai.

Dari surat, saya menemukan irama. Irama yang kini jadi napas tulisan-tulisan saya. Ada keheningan yang panjang di sana, sebelum kata dituliskan. Dan ada getaran yang lembut, sebelum ia dikirimkan.

Surat tidak bisa ditulis tergesa-gesa. Ia butuh waktu. Butuh suasana hati yang bening. Butuh jeda. Dan dari jeda-jeda itulah, saya belajar menimbang rasa. Menimbang diksi. Menimbang mana yang perlu dikatakan, dan mana yang lebih baik dipendam.

Itulah proses yang perlahan tapi dalam. Proses yang menyiapkan saya menjadi penulis. Seorang pengarang, bukan sekadar pengetik. Surat melatih saya untuk sabar. Untuk berpikir. Untuk menunggu.

Dalam surat, saya belajar tentang ritme kehidupan. Tentang makna dari ketidaksegeraan. Bahwa tak semua hal bisa didapat hari ini. Bahwa ada kebahagiaan yang tumbuh dari penantian.

Dan dari sana pula, saya belajar bersyukur.

Zaman bersurat-suratan memang lambat. Tapi nikmat. Setiap langkahnya punya rasa. Dari mencari alamat, menulis nama, menempel prangko, hingga menunggu balasan yang tak tentu kapan datangnya.

Anak-anak zaman sekarang, mungkin tak akan mengenalnya. Tak akan paham bagaimana debar saat membuka surat. Tak akan tahu indahnya huruf-huruf tulisan tangan yang tak sempurna, tapi jujur dari hati.

Kini, kita hidup dalam dunia yang serbacepat. Serbainstan. Tapi ada sesuatu yang hilang. Ada rasa yang tertinggal di belakang. Sesuatu yang tak bisa digantikan oleh emoji, atau notifikasi.

Surat mengajarkan saya untuk hadir secara utuh dalam tulisan. Bukan sekadar menyampaikan pesan, tapi menyampaikan jiwa.

Dan mungkin, dalam setiap surat yang pernah saya kirimkan, ada sepotong diri saya yang tetap tinggal di sana. Yang diam-diam, tumbuh menjadi cerita. Menjadi karier. Menjadi jalan hidup saya sebagai penulis.

Saya rindu zaman itu. Zaman yang lambat, tapi melatih kesabaran. Zaman yang sederhana, tapi mengajarkan rasa syukur yang dalam.

Zaman surat. Zaman yang telah membentuk saya. Meski terbentuk, jalan hidup tak jarang terbentur.

Tapi saya percaya, seperti kata Tan Malaka, setelah “terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk.” Apa pun bentuk yang dihadirkan kehidupan, sejatinya adalah ruang untuk menciptakan kebahagiaan.

Dan, sungguh, saya benar-benar bahagia. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.

Lukisan ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan