“Sunyi”, Film Trauma Konflik Aceh Karya Maksalmina Segera Tayang
Film Sunyi karya Maksalmina mengangkat trauma masyarakat Aceh akibat konflik masa lalu melalui elemen suara.
PADANG PANJANG, Majalahelipsis.id — Mahasiswa Pascasarjana (S-2) Program Penciptaan Televisi dan Film Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, Maksalmina, sukses menyelesaikan proses syuting film fiksi berjudul “Sunyi”.
Film ini terinspirasi dari fenomena trauma psikologis yang masih membekas di masyarakat Aceh akibat konflik masa lalu antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan tentara Indonesia. Saat ini, film tersebut tengah memasuki tahap editing.
Sutradara Sunyi, Maksalmina, menjelaskan bahwa film ini menjadikan elemen tata suara sebagai aspek utama untuk merekonstruksi pengalaman traumatis para penyintas konflik melalui desain efek suara.

“Film ini ingin menggambarkan bagaimana suara-suara kekerasan, seperti tembakan atau ledakan, menjadi elemen menyeluruh dalam pengalaman traumatis. Suara sering kali berfungsi sebagai pengingat yang tak terhindarkan dari peristiwa yang mengguncang mental, menciptakan ketakutan mendalam, dan trauma psikologis berkepanjangan,” paparnya, yang juga aktif di Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang.
Ia menambahkan, fenomena ini menunjukkan bagaimana suara tidak hanya sekadar elemen fisik yang mengiringi peristiwa kekerasan, tetapi juga dapat menjadi pemicu trauma berkepanjangan.
“Suara memiliki kekuatan besar dalam membentuk kembali kenangan traumatis, bahkan memengaruhi kehidupan sehari-hari penyintas, meski peristiwa kekerasan itu telah lama berlalu. Berdasarkan pengalaman pribadi saya menyaksikan dampak kekerasan di Aceh, saya merasa terdorong untuk mengeksplorasi hubungan antara suara dan trauma psikologis,” ujarnya.
Sulaiman Juned, pemeran tokoh Ibrahim dalam film Sunyi, mengungkapkan bahwa suara-suara yang dihadirkan akan memberikan pengalaman mendalam bagi penonton.

“Penonton akan diajak merasakan bagaimana karakter-karakter dalam film ini terperangkap dalam ketegangan akibat kekerasan. Trauma psikologis seringkali sulit diungkapkan lewat kata-kata atau visual semata, maka melalui suara, trauma itu bisa dirasakan lebih nyata,” tutur penyair sekaligus sutradara teater tersebut.
Lebih lanjut, Sulaiman Juned menambahkan bahwa film ini sarat dengan tanda-tanda semiotika yang terfokus pada suara.
“Suara bukan hanya rangkaian bunyi, tetapi menjadi tanda yang menyampaikan makna penting. Ini menjadi bagian krusial dalam pengembangan film,” jelasnya, yang juga dosen Jurusan Seni Teater ISI Padang Panjang.
Maksalmina menambahkan, skenario film Sunyi mengeksplorasi konsep diegetic sound dan non-diegetic sound untuk menegaskan suasana tegang dan ancaman.
“Suara langkah kaki tentara, tembakan senjata, ketukan pintu di malam hari, hingga teriakan panik, menjadi elemen penting membangun atmosfer film. Saat ini film Sunyi sedang dalam tahap finishing editing agar fenomena suara-suara yang pernah mengguncang Aceh bisa dihidupkan kembali dalam karya ini,” pungkas Maksalmina.
Penulis: Ichsan Saputra
Editor: Muhammad Subhan










