Suara Perempuan Melawan Tradisi Kawin Tangkap di Tanah Marapu

Kawin tangkap adalah tradisi menangkap dan melarikan perempuan untuk dikawini.

Oleh Aminarti

PEREMPUAN yang Menangis kepada Bulan Hitam merupakan novel karya Dian Purnomo yang dinaskahteaterkan oleh Jesy Segitiga. Jesy Segitiga merupakan nama panggung dari Muchammad Zaini. Pria kelahiran dan berdomisili di Kudus ini menamatkan pendidikan terakhirnya di Pascasarjana PBSI UPGRIS tahun 2017. Ia hobi berteater, menulis novel, cerpen, dan puisi. Jesy Segitiga mulai menggeluti teater sejak bergabung bersama Teater Gema. Ia berpengalaman menjadi aktor, astrada, hingga sutradara. Selain itu, ia juga sudah menulis puluhan naskah drama. Karya drama terbaru di 2023, yakni Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam, Selamet Stunting, Ketika Siti Bersedih, lalu Zacky Memilih untuk Menangis karena Harus Kalah dengan Aa Ii Uuh, Sendang Pranak (dongeng), dan Aku sebagai Ibu Bapak, Orang Tua.

Naskah drama Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam menggambarkan perjuangan seorang perempuan, Magi, yang diculik dan dipaksa untuk menikah dengan Leba Ali, seorang pria dari tanah Marapu. Naskah drama ini mengeksplorasi tema keadilan gender, adat, dan kekuasaan patriarki. Magi berjuang melawan tradisi kawin tangkap yang merugikan perempuan, mempertanyakan hak-haknya, dan akhirnya melawan penindasan yang dialaminya. Melalui interaksi dengan keluarganya dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gema Perempuan, Magi berusaha mencari keadilan dan mengakhiri siklus kekerasan terhadap perempuan. Naskah drama ini menggambarkan ketidakadilan gender, menciptakan narasi yang kuat tentang perlawanan terhadap penindasan dan pentingnya hak asasi manusia dalam konteks budaya yang mengekang perempuan.

Kawin Tangkap di Tanah Marapu, Sumba

Menurut Cahyani dan Azaria (2024) kawin tangkap adalah tradisi menangkap dan melarikan perempuan untuk dikawini. Anak perempuan tersebut tidak mengetahui rencana ini sedangkan keluarga dari pihak perempuan dapat mengetahui atau tidak mengetahuinya. Setelah penangkapan, keluarga terkait bertemu dan mengesahkan perkawinan secara adat dengan belis. Belis adalah tanda penghargaan terhadap perempuan dan pengikat keluarga maupun suku yang terlibat dalam perkawinan sebab itu wajib dibayarkan dan tanpanya perkawinan tidak sah (Cahyani dan Azaria, 2024).

Kawin tangkap yang terjadi dalam naskah drama ini mencerminkan realitas sosial yang menunjukkan bahwa tradisi kawin tangkap ini masih dipraktikkan di tanah Marapu, Sumba, ini sebenarnya merugikan hak-hak perempuan. Dalam naskah drama ini, Magi sebagai tokoh utama, diculik dan dipaksa menikah dengan Leba Ali, menyingkapkan betapa adat sering kali digunakan untuk membenarkan kekerasan terhadap perempuan. Magi berjuang melawan penindasan dan mempertanyakan adat yang mengabaikan haknya. Dalam dialognya, ia mengekspresikan kemarahan terhadap ketidakadilan:

MAGI
(Lemas) Di mana aku ini? Gelap sekali tempat ini? Di mana aku? Mengapa harus aku yang diculik? Heh …. Adat apakah ini? Sehingga tidak memperdulikan hak-hak perempuan. He, siapa yang melakukan ini?

Dialog Magi mencerminkan ketidakadilan dan penindasan yang dialami perempuan dalam tradisi kawin tangkap di Sumba. Dengan pertanyaan retorisnya, “Mengapa harus aku yang diculik?”, Magi mengekspresikan keputusasaan dan kemarahan terhadap adat yang mengabaikan hak-haknya sebagai individu. Ia merasa terjebak dalam situasi yang gelap dan tidak berdaya, menyoroti bagaimana tradisi ini merendahkan martabat perempuan, menjadikan mereka sebagai objek yang bisa diperlakukan semena-mena oleh laki-laki.

Keterlibatan Masyarakat dalam Memecahkan Masalah Ketidakadilan Gender

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang lekat dengan civil society memiliki karakteristik yang berbeda dengan organisasi-organisasi lainnya. Beberapa karakteristik civil society yakni berasas kesukarelaan, keswasembadaan, keswadayaan, kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya (Burhanuddin dan Ahmadi, 2024). Gema Perempuan merupakan LSM yang membantu penyelesaian kasus Magi dalam naskah drama ini. LSM Gema Perempuan ini muncul sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan gender. Dalam naskah ini, mereka berjuang untuk hak-hak perempuan dan menentang praktik kawin tangkap yang dianggap merusak martabat wanita. Dialog dari anggota LSM tersebut, yaitu:

TIBA-TIBA MUNCULLAH LSM GEMA PEREMPUAN. LSM YANG MEMBELA HAK-HAK WANITA DI SELURUH INDONESIA TERKHUSUS DI INDONESIA TIMUR.

ORANG 1 GP

Semua orang mempunyai hak yang sama. Tidak pula dengan perempuan di tanah Marapu. Tidak ada kejahatan atas nama adat yang menghancurkan masa depan. Apalagi Magi, sebuah penculikan dan perkosaan dengan dalih penegakan adat.

Dialog LSM Gema Perempuan di atas menekankan pentingnya hak asasi manusia, terutama bagi perempuan di tanah Marapu. Ia menekankan bahwa tidak ada kejahatan yang dapat dibenarkan dengan dalih adat, terutama dalam kasus Magi, yang mengalami penculikan dan pemerkosaan. Dialog ini mencerminkan perjuangan untuk menghapuskan norma-norma budaya yang merugikan perempuan dan menuntut keadilan serta pengakuan hak-hak mereka dalam masyarakat yang patriarkal.

Naskah drama Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam ini merupakan refleksi kuat terhadap permasalahan sosial yang masih relevan hingga kini, khususnya terkait ketidakadilan gender dan praktik adat yang merugikan perempuan. Melalui kisah Magi, kita diajak untuk merenung tentang dampak buruk dari tradisi kawin tangkap yang masih terjadi di beberapa wilayah, seperti Sumba. Drama ini tidak hanya menyoroti penderitaan individu, tetapi juga mengkritik sistem patriarki yang membenarkan praktik tersebut. Adanya LSM Gema Perempuan sebagai representasi dari gerakan perempuan, memberikan harapan akan adanya perubahan dan perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender. Secara keseluruhan, naskah drama ini berhasil menyuarakan pentingnya melawan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan memperjuangkan hak-hak asasi manusia, terlepas dari latar belakang budaya dan adat istiadat. []

Referensi:

Burhanuddin, A. & Ahmadi, A. (2024). Gerakan Perempuan LSM dalam Sastra Indonesia: Evidensi pada Novel Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam Karya Dian Purnomo. Ghancaran: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 6(1), 193-210.

Cahyani, A. A. F. & Azaria, N. E. E. (2024). Tradisi Kawin Tangkap Suku Sumba Dalam Perspektif Pluralisme Hukum. Jurnal Panah Keadilan, 3(1), 48-58.

Aminarti, lahir di Batang Biyu, Pasaman Barat pada tanggal 14 Mei 2004 dan tinggal di Batang Biyu. Menyelesaikan Pendidikan Dasar di SDN 06 Pasaman pada tahun 2016, menyelesaikan pendidikan di MTsN 4 Pasaman Barat tahun 2019, dan menyelesaikan pendidikan di SMA N 1 Pasaman tahun 2022. Sekarang, tengah menempuh studi Strata 1 Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Departemen Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Negeri Padang.

Penulis: Aminarti

Editor: Maghdalena

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan