Suara Hati Seniman Sumbar: “Bilolah Ka Salasainyo Gedung Kebudayaan Ko?”

Sebuah spanduk sebagai bentuk ekspresi keresahan seniman Sumatera Barat atas pembangunan yang tak kunjung selesai muncul di sebuah gedung terbengkalai di Taman Budaya.

Oleh Rizal Tanjung

KALIMAT “Bilolah ka salasainyo gedung kebudayaan ko?” yang tertulis pada selembar spanduk dalam ukuran besar di depan area pembangunan Gedung Kebudayaan Sumatera Barat, bukan sekadar pertanyaan basa-basi. Ia adalah jeritan batin, bentuk frustrasi kolektif, sekaligus cerminan luka panjang para pelaku seni dan budaya yang merasa diabaikan oleh sistem yang seharusnya melindungi dan memajukan mereka.

Sudah bertahun-tahun proyek pembangunan gedung yang digagas sebagai simbol kemajuan kebudayaan Minangkabau ini mangkrak tanpa kejelasan. Sempat menjadi harapan besar bagi banyak seniman, kini gedung tersebut justru berubah menjadi monumen kekecewaan. Setiap tiang beton dan kerangka baja yang berdiri setengah jadi seakan menjadi saksi bisu atas harapan yang tertunda dan janji-janji pembangunan yang belum ditepati.

“Setiap kali ingin mengadakan pertunjukan besar, kami kesulitan mencari tempat yang layak. Gedung ini dulu dijanjikan sebagai solusi, tapi kenyataannya hingga kini belum selesai juga,” keluh seorang seniman teater yang rutin beraktivitas di Taman Budaya Padang. Di warung-warung kopi dan lapau seni, keresahan ini menjadi topik obrolan sehari-hari.

Gedung Kebudayaan Sumbar seharusnya berfungsi sebagai ruang inklusif—tempat bagi pertunjukan randai, pementasan tari-tarian tradisional dan kontemporer, konser musik etnik, diskusi budaya, hingga pameran seni rupa. Tapi selama ruang representatif seperti itu tak tersedia, banyak agenda seni terpaksa digelar di ruang-ruang alternatif yang tidak selalu mendukung kualitas artistik. Hal ini tentu berdampak serius pada proses regenerasi dan pengembangan ekosistem seni budaya lokal.

Lebih dari sekadar keterlambatan pembangunan fisik, persoalan ini menyentuh aspek fundamental: komitmen pemerintah daerah terhadap sektor kebudayaan. Sejumlah seniman dan budayawan menyuarakan kritik terhadap apa yang mereka anggap sebagai lemahnya keberpihakan kebijakan terhadap dunia kesenian. Mereka menilai, walau anggaran kebudayaan selalu dialokasikan tiap tahun, realisasi penggunaan anggaran—khususnya untuk penyelesaian gedung kebudayaan—selalu menjadi misteri.

“ Dan sungguh aneh. setiap kali ditanya soal kelanjutan pembangunan gedung ini, jawabannya selalu mengambang. Jangan sampai budaya hanya jadi pelengkap dalam pidato-pidato seremoni, tapi kosong dalam pelaksanaannya,” ungkap salah satu budayawan senior yang sejak era 70-an telah aktif memperjuangkan ruang seni di Sumbar.

Sebagian pengamat menilai, lambatnya realisasi proyek ini juga merupakan refleksi dari ketidakhadiran visi jangka panjang dalam pembangunan kebudayaan. Kebijakan seringkali hanya fokus pada event-event besar atau festival tahunan yang bersifat seremonial, sementara infrastruktur yang berkelanjutan seperti gedung seni malah terbengkalai.

Padahal, dalam konteks Sumatera Barat yang kaya dengan narasi kultural dan warisan intelektual, keberadaan gedung kebudayaan yang representatif bisa menjadi pusat gravitasi baru. Ia bisa menjadi ruang pertemuan antargenerasi, wadah pelestarian nilai-nilai lokal, dan laboratorium bagi eksplorasi identitas budaya Minang di tengah arus globalisasi.

Keterlambatan ini tidak hanya berdampak pada seniman profesional, tapi juga pada generasi muda yang sedang membangun ketertarikan pada seni dan budaya. Tanpa ruang dan fasilitas memadai, mereka terancam kehilangan tempat belajar, mengekspresikan diri, dan merasa memiliki kebudayaan mereka sendiri.

Dalam situasi yang kian mengkhawatirkan ini, komunitas seni Sumbar tidak tinggal diam. Seruan untuk menyelesaikan pembangunan Gedung Kebudayaan kian lantang digaungkan, baik melalui media sosial, petisi publik, hingga diskusi-diskusi terbuka. Kalimat “bilolah ka salasainyo gedung kebudayaan ko?” kini telah menjadi slogan perlawanan yang menyatukan lintas disiplin seni dalam satu tujuan bersama: menuntut keadilan ruang dan pengakuan atas peran budaya dalam pembangunan daerah.

Para seniman tidak menuntut kemewahan. Mereka hanya ingin haknya diakui dan dihargai. Mereka ingin ruang yang layak untuk bekerja, berkarya, dan berbagi. Dalam dunia yang makin tergerus oleh komersialisasi dan pragmatisme, eksistensi gedung kebudayaan adalah bentuk keberanian untuk menempatkan nilai-nilai budaya sebagai fondasi pembangunan yang berkelanjutan.

Kini, saatnya pemerintah daerah menanggapi seruan ini dengan tindakan nyata. Proyek ini tidak bisa lagi diseret-seret oleh dinamika politik, pergantian pejabat, atau dalih administratif. Setiap hari yang berlalu tanpa progres, adalah waktu yang hilang dari sejarah kebudayaan kita.

Karena itu, pertanyaan “bilolah ka salasainyo gedung kebudayaan ko?” tidak boleh dianggap angin lalu. Ia adalah panggilan nurani, alarm budaya yang berbunyi nyaring—menunggu untuk didengar dan dijawab dengan keseriusan yang sepadan. []

Rizal Tanjung, seniman/budayawan Sumatera Barat.

Penulis: Rizal Tanjung

Editor: Muhammad Subhan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan