SMA Negeri 1 Payakumbuh Bangun Jiwa Enterpreneur Lewat Kuliner Nusantara
Siapa sangka di balik hiruk-pikuk SMAN 1 Payakumbuh, tersembunyi aroma dimsum, batagor, kopi kawa, hingga onde-onde? Bukan bazar, tapi praktik kewirausahaan yang nyaris serasa pasar modern mini. Di balik kemasan kecil itu, tersimpan racikan rasa, riset, strategi, dan mimpi besar.

PAYAKUMBUH, Majalahelipsis.id—Rabu pagi, halaman SMA Negeri 1 Payakumbuh tak hanya dipenuhi canda tawa siswa. Ada yang lebih dari sekadar suasana sekolah: aroma semerbak dimsum mengepul berdampingan dengan wangi kopi kawa yang khas. Di balik stan-stan sederhana yang ditata dengan penuh semangat, tangan-tangan muda menyodorkan kreasi kuliner bercita rasa—dan bercita mimpi.
Dari sushi yang menggoda hingga sempol ayam yang gurih, dari onde-onde legit hingga lapek pisang yang dikukus penuh cinta—semua adalah hasil racikan siswa kelas XI dalam kegiatan praktik Kewirausahaan (PKWu), yang berlangsung selama dua hari, 7–8 Mei 2025.
Kegiatan ini bukan sekadar memenuhi nilai praktik, tapi menjelma menjadi panggung kecil bagi para calon entrepreneur muda Smansa untuk menunjukkan nyali dan naluri bisnis mereka.

“Penampilan mereka kali ini spesial,” ujar Kepala SMA Negeri 1 Payakumbuh, Drs. H. Erwin Satriadi, M.Pd. dengan sorot mata berbinar. “Bukan hanya soal rasa dan kemasan—mereka sudah punya talenta kuliner. Tinggal kita poles, agar mereka bisa menjadi pelopor UKM di daerahnya masing-masing.” Ia bahkan menyuarakan impian yang lebih jauh: Smansa bisa punya branding kuliner sendiri. Sebuah identitas yang tidak hanya dibangun dari dapur, tetapi juga dari dedikasi dan proses panjang.
Dari Ide, Riset, hingga Penjurian
Kegiatan ini tidak berdiri sendiri. Di balik suksesnya, ada nama-nama seperti Ibu Era Fitriyati, Bundo Ahdahayati, Ibu Wina Deswinda, dan Bapak Ilahi Roby—guru PKWU yang tak sekadar membimbing, tapi menghidupkan semangat.

Mulai dari pembentukan ide, perencanaan, penghitungan model bisnis (BMC), analisis SWOT, hingga promosi dan pemasaran, semuanya dilalui oleh para siswa dengan sungguh-sungguh. Bahkan, prosesnya akan ditutup dengan ujian tulis dan laporan akhir.
Apa yang mereka jual, bukan hanya produk. Tapi nilai. Daya cipta. Keberanian. “Kami ingin membangkitkan jiwa kewirausahaan dan kreativitas yang tak terbatas,” kata Era. “Anak-anak harus tahu bagaimana memberi value pada produk mereka agar menarik di mata konsumen.”
Lebih dari itu, kegiatan ini juga memberi pelajaran penting soal komunikasi, kerja tim, dan ketahanan menghadapi pasar. Beberapa siswa bahkan menerima pesanan dari masyarakat sekitar sekolah. Flyer promosi digital tersebar via media sosial, sementara para guru dan pegawai antusias mencicipi sekaligus memberi review—yang menjadi bagian dari penilaian.
Yang istimewa, hasil kegiatan ini tak berhenti sampai di situ. Para guru PKWu berencana menggunakan bahan sisa hari ini untuk produksi lanjutan saat class meeting nanti. Kepala sekolah sudah memberi lampu hijau. Semangat mereka terus menyala.
Mimpi itu Butuh Wadah
Namun, seperti ditegaskan Era, mimpi besar ini tak bisa bergantung pada momentum sesaat. Dibutuhkan wadah. Sebuah komunitas internal sekolah, semacam ekstrakurikuler wirausaha, dan rutinitas yang bisa menjadi motor inovasi kuliner dan bisnis para siswa. Tanpa itu, branding hanya akan tinggal rencana.
Apresiasi setinggi-tingginya pun ditujukan kepada para guru dan pegawai yang begitu antusias. Bahkan ada yang datang langsung ke “dapurnya” untuk membeli produk, menanyakan proses, memberi semangat. Ini bukan hanya kegiatan praktik biasa—ini adalah ruang tumbuh yang diseriusi oleh seluruh ekosistem sekolah.
Dan karena itu pula, lahir wacana “Hari PKWU”—satu hari dalam seminggu yang didedikasikan untuk wirausaha siswa. Gagasan yang mungkin terdengar sederhana, tapi bisa menjadi embrio perubahan besar. Smansa bukan hanya mencetak lulusan akademis, tapi juga calon pengusaha tangguh.
Dari Sekolah, Untuk Dunia
Di tengah tantangan zaman yang terus berubah, sekolah seharusnya bukan lagi sekadar tempat belajar, tapi laboratorium kehidupan. Di SMAN 1 Payakumbuh, itu sudah dimulai. Dari pindik yang kenyal sampai cireng isi yang laris-manis, dari dapur ke stan, dari ide ke realisasi—segala proses ini melatih keberanian, kepekaan pasar, dan daya cipta generasi muda kita.
Dan, siapa sangka, mungkin suatu hari, nama sebuah usaha kuliner yang terkenal di Kota Payakumbuh—atau bahkan di Indonesia—berakar dari sini. Dari stan kecil buatan siswa kelas XI. Dari guru-guru yang rela turun tangan. Dari komunitas sekolah yang percaya bahwa mimpi bisa dimulai dengan sepotong onde-onde dan segelas kopi kawa.
Penulis: Abi Pasya
Editor: Muhammad Subhan