Oleh Bagindo M. Ishak Fahmi

PADA Sabtu malam yang gerimis tak jadi turun, 12 Juli 2025, di sebuah rumah dinas di jantung Kota Padang, sekelompok seniman, budayawan, dan pegawai Dinas Kebudayaan Sumatera Barat berkumpul di ruang tamu. Jam tangan menunjukkan pukul 21.00 WIB, mundur satu jam dari rencana semula. Alasannya sepele tapi akrab: urusan mendadak Wakil Gubernur Sumatera Barat, Vasko Rusaimy, di Istana Gubernur.

Di luar pagar, Taman Budaya Sumatera Barat tetap berdiri — setengah hidup, setengah mangkrak. Di dalam, sekitar 20 orang ada yang menyeruput kopi, mengisap rokok, dan meracik tanya: kapan panggung pertunjukan benar-benar kembali ada di rumah kebudayaan ini? Kapan seniman berhenti menumpang ruang? Dan yang paling getir: sampai kapan Gedung Kebudayaan Sumbar dibiarkan menua tanpa pernah benar-benar jadi?

Dalam ruang tamu itu, pertanyaan-pertanyaan itu tak semua terjawab. Namun malam itu setidaknya mengirimkan sinyal: upaya menghidupkan Taman Budaya Sumatera Barat, meski bertahap, sedang disusun jalannya. Aktivasi, demikian kata kunci yang digaungkan Wagub. Kata itu diulang, seperti mantra penangkal apatisme, agar Taman Budaya tak hanya sekadar taman tanpa kebudayaan.

Dari Kunjungan Mendadak ke Janji Panggung

Pertemuan malam itu bukan kebetulan. Tiga bulan sebelumnya, pada April 2025, Wakil Gubernur melakukan kunjungan mendadak ke Taman Budaya. Di sana ia melihat langsung betapa memprihatinkan Gedung Kebudayaan yang mangkrak. Tiang-tiang beton berdiri dingin. Rumput liar menari di sela-sela keretakan lantai. Tidak ada pentas. Tidak ada cahaya. Yang hidup hanyalah cerita masa lalu, ketika Taman Budaya pernah menjadi pusat denyut kreativitas seniman Minangkabau.

Dalam pertemuan Sabtu malam, Wagub membawa kabar: “Kita upayakan dulu pentas terbuka yang representatif. Anggaran akan kita dorong masuk dalam APBD-P 2025.” Jumlahnya disebut: sekitar satu miliar rupiah, dengan alokasi sekitar 600 juta untuk membangun panggung permanen, sound system, dan lighting. Sisanya akan mendukung kegiatan di Museum Adityawarman — museum yang juga jadi saksi betapa sejarah kadang terlipat oleh kesibukan pembangunan fisik semata.

Wagub menyampaikan bahwa kelanjutan pembangunan Gedung Kebudayaan baru bisa diupayakan sekitar 2027. Itu pun dengan catatan, karena kondisi keuangan daerah dan efisiensi transfer dari pusat masih menjadi ganjalan. “Saya tidak mau janji muluk-muluk. Yang jelas, kita terus berupaya,” kata Vasko.

Bagi sebagian seniman, jawaban itu bukanlah kepastian. Namun di tengah minimnya kabar baik, panggung representatif setidaknya adalah napas darurat. “Sitawa sidingin” — obat penyejuk sebelum menanti penyembuhan total.

Mencari Panggung, Merumuskan Harap

Diskusi malam itu mengalir. Tak hanya soal berapa luas panggung, tapi juga di mana ia akan diletakkan agar sinergis dengan ruang publik Taman Budaya. Apakah akan tetap di area luar zona gedung mangkrak? Apakah cukup terbuka agar bisa menampung penonton lintas komunitas?

Seniman merumuskan kebutuhan dasar: panggung harus kokoh, lebar cukup untuk pementasan tari, teater, musik,kesenian lainnya. Sound system dan lighting tak sekadar sewa — harus bisa dirawat, disimpan, dan digunakan berulang. Di sinilah pemerintah sering lupa: membeli peralatan memang bisa dengan uang APBD, tapi merawatnya butuh tangan yang paham dan peduli.

Suasana pertemuan hangat, nyaris cair. Beberapa seniman mengusulkan agar bagian lantai satu Gedung Kebudayaan yang mangkrak bisa dimanfaatkan. “Minimal bisa jadi ruang latihan, workshop, diskusi. Kita bersihkan, pasang lampu, berikan penerangan yang layak. Kalau nunggu gedung sempurna, bisa-bisa sampai anak cucu kita tak kebagian ruang berproses,” celetuk seorang seniman senior.

Usul lain muncul: lingkungan Taman Budaya perlu ditata, rumput liar disiangi, sudut-sudut gelap diterangi, WC diperbaiki agar pengunjung dan seniman punya martabat. Hal sederhana — tetapi itulah wajah paling nyata bagaimana pemerintah memuliakan kebudayaan: bukan lewat jargon, tetapi lewat fasilitas dasar yang manusiawi.

Taman Budaya Sumatera Barat ibarat tubuh yang dipenuhi luka-luka lama. Gedung kebudayaan pertama kali dibangun di era Orde Baru. Reformasi datang, kebijakan berganti, proyek megaproyek budaya kerap berakhir mangkrak. Di satu sisi, ada birokrasi yang lamban; di sisi lain, seniman yang tetap gigih dengan atau tanpa panggung.

Dalam catatan penulis kasus Taman Budaya Sumatera Barat hanyalah satu contoh bagaimana infrastruktur budaya sering diperlakukan sebagai pelengkap — bukan kebutuhan pokok. Pemerintah daerah kerap mengutamakan proyek monumental, tapi lupa merawatnya setelah diresmikan.

Prof. Damhuri Muhammad, sosiolog kebudayaan asal Minangkabau, pernah menulis:

“Kebudayaan bukan hanya soal panggung atau gedung megah. Ia adalah ekosistem. Ia butuh ruang hidup yang layak, aktor yang sejahtera, dan kepercayaan publik. Kalau panggung hanya jadi ornamen, maka kita akan punya gedung kosong dengan jiwa yang mati.”

Pendapat Damhuri itu relevan membingkai diskusi Sabtu malam. Sebab, di luar janji panggung, tantangan terbesar terletak pada konsistensi pelaksanaan. Seniman Sumatera Barat, yang saban hari menanggung biaya latihan sendiri, memproduksi pertunjukan dengan tiket tak seberapa, sudah terlalu sering dipermainkan janji pembangunan.

Panggung Harus Hidup, Bukan Sekadar Proyek

Pertanyaan terbesar setelah pertemuan malam itu adalah: akankah panggung ini benar-benar dibangun? Dan kalau dibangun, akankah ia terawat? Berapa tahun bertahan sebelum atap bocor, peralatan hilang, atau lampu rusak tanpa anggaran perawatan?

Inilah jebakan klasik pembangunan kebudayaan di banyak daerah. Proposal mudah dibuat, kontraktor cepat datang, panggung megah berdiri — lalu mati suri karena perawatan luput direncanakan. Dalam banyak kasus, pemborosan anggaran justru terjadi di tahap pasca-peresmian. Karena itulah seniman berulang kali meminta: libatkan mereka sejak perencanaan, bukan hanya diundang sebagai tamu undangan pembukaan.

Taman Budaya Sumatera Barat punya sejarah panjang sebagai rumah seniman Minang lintas generasi. Di sinilah kelompok teater, sanggar tari, musisi, perupa, dan penulis membangun reputasi hingga ke panggung nasional. Ironis bila rumah sendiri justru terabaikan. Lebih ironis lagi bila rumah itu disulap hanya demi kepentingan politis sesaat.

Sitawa Sidingin Obat Sementara yang Butuh Penjaga

Di antara temaram pertemuan, kata “sitawa sidingin” melayang di udara. Dalam adat Minangkabau, sitawa sidingin berarti obat penyejuk, penawar duka, penghibur lara. Aktivasi Taman Budaya — dalam bentuk panggung terbuka — memang belum mengobati luka utama: gedung mangkrak yang entah kapan selesai. Namun setidaknya ini tanda bahwa pemerintah daerah masih mau mendengar.

Yang patut dicatat, sitawa sidingin hanya akan berkhasiat bila dirawat bersama. Seniman dan budayawan tak bisa hanya jadi penonton. Pemerintah daerah, Dinas Kebudayaan, dan UPT Taman Budaya harus mau membuka telinga, memberi ruang diskusi yang hidup, dan memastikan setiap rupiah anggaran berdampak langsung pada ekosistem seni.

Percakapan di rumah Wagub malam itu menandai langkah kecil. Mungkin akan ada rencana tindak lanjut, gambar desain panggung, pembahasan teknis lelang. Namun di antara wacana dan kenyataan, sering terbentang jarak yang tak pendek. Sejarah Taman Budaya telah mengajarkan bahwa janji bisa membumbung tinggi, lalu terempas di halaman parkir birokrasi.

Menutup Malam, Membuka Jalan

Menjelang pukul 23.00, obrolan di rumah Wakil Gubernur bubar. Para seniman kembali ke rumah, ke studio, ke ruang latihan sempit. Di kepala mereka, satu mimpi sederhana dipeluk erat: suatu hari Taman Budaya Sumatera Barat bukan sekadar nama, tapi ruang hidup. Tempat anak-anak muda menari di panggung yang layak, penonton bertepuk tangan di kursi yang nyaman, dan gagasan bertumbuh tanpa takut tergusur.

Jika mimpi itu terwujud, mungkin barulah sitawa sidingin benar-benar menjadi obat. Bukan hanya penenang sementara, tetapi penanda bahwa kebudayaan di tanah ini tak pernah benar-benar mati. Ia hanya menunggu ruang — dan orang-orang yang berani menjaga nyalanya. []

Bagindo M. Ishak Fahmi, seniman/budayawan Sumatera Barat.

Penulis: Bagindo M. Ishak Fahmi

Editor: Muhammad Subhan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan