Sisi Antagonis Petualangan Intelektual di Era AI dalam Dunia Akademik dan Opsi ‘Sapere Aude’
Jalan tengah menghadapi era AI adalah menghidupkan semangat sapere aude agar tetap berpikir kritis dan otonom.

Oleh Wilfridus Fon
ARGUMENTASI dalam tulisan ini lebih merupakan refleksi lanjutan penulis pasca membaca esai Ayu K. Ardi berjudul “AI, Orisinalitas, dan Alasan Naskah Ditolak di Majalahelipsis.Id” (Majalahelipsis.Id, 4 Maret 2025).
Dalam esai tersebut, Ayu K. Ardi secara lugas mengungkapkan keluhan seorang penulis pasca tulisannya ditolak oleh redaksi Majalahelipsis.id. karena terindikasi menggunakan bantuan AI pada beberapa bagian tulisan. Respons terhadap hal tersebut, si penulis membantahnya dan membaptis redaktur sebagai seorang AI mania, yang terlalu obsesif menakar keaslian tulisan melalui detektor otomatis, lalu mengungkapkan kekecewaannya di media sosial.
Sebagai majalah yang kompeten, redaksi Majalahelipsis.id. sangat cermat dalam mempublikasikan naskah-naskah yang ada di meja redaksi melalui seleksi yang ketat. Karenanya, ada naskah yang diterima dan ditolak. Tentu, naskah-naskah yang diterima telah lolos seleksi. Sedangkan, naskah-naskah yang ditolak tidak memenuhi kode etik penulisan, misalnya tidak orisinal, tidak rapi, terindikasi pemuatan ganda, ada unsur plagiat, dan terdeteksi menggunakan AI lebih dari 50 persen.
Sikap redaksi Majalahelipsis.id. patut diacungkan jempol. Orisinalitas tulisan seyogyanya ditahtahkan pada tempat terhormat. Berkonfrontasi pada latar belakang di atas, tulisan ini lebih dilihat sebagai suatu afirmasi atas sikap redaksi Majalahelipsis.id. Hemat penulis, esai Ayu K. Ardi tersebut menarik untuk direfleksikan lebih jauh. Karenanya dalam tulisan ini, penulis tidak hanya merefeleksikannya secara parsial dalam konteks tulis-menulis, tapi dalam dunia akademik secara umum.
Sisi Antagonis Petualangan Intelektual di Era AI dalam Dunia Akademik
Hemat saya, sikap Ayu K. Ardi adalah kritik terhadap fenomena petualangan intelektual di era AI yang ditandai dengan teknologisasi pengetahuan. Teknologisasi pengetahuan merujuk pada kondisi ketergantungan manusia terhadap teknologi (AI). Manusia seolah-olah tidak mampu mendapatkan pengetahuan secara otonom tanpa AI. Fenomena teknologisasi pengetahuan ini turut memberi perbedaan mendasar dalam petualangan intelektual di era sebelum AI dan di era AI.
Dulu, para pemikir sebelum AI cenderung menghabiskan waktu untuk belajar, berpikir, berefleksi, dan menulis. Mereka rela meninggalkan keramaian kota menuju tempat sunyi dan sepi agar daya konsentrasi tetap terjaga. Karenanya, buah pemikiran mereka cemerlang, kritis, dan komprehensif, menyentuh banyak bidang kehidupan misalnya politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Secara ringkas, ilmu pengetahuan tidak serta-merta didapat melalui jalan instan, tapi lewat sikap hidup disiplin, berani melawan rasa malas, tahan uji, tekun, dan tenang.
Sedangkan di era AI, petualangan intelektual masa sebelum AI telah bermigrasi ke dalam platform digital. Manusia tidak perlu mencari tempat sunyi dan sepi. Manusia cukup berselancar dalam platform AI. Ketika bertanya tentang sesuatu pada AI, ia akan menyediakan seribu satu jawaban dalam tempo yang sesingkat-singkatnya tanpa membutuhkan waktu yang berbelit-belit. Manusia tidak lagi perlu belajar keras, membaca, berpikir, dan berefleksi secara kritis. Semuanya serba cepat dan instan.
Aktus tersebut akan berbahaya bila diterapkan dalam dunia akademik. Dalam meningkatkan kemampuan intelektual, seseorang tidak perlu mengunjungi perpustakaan, menjelajahi halaman-halaman buku dengan membaca, mendalami materi, berefleksi, dan berpikir kritis. Kerja-kerja intelektual seperti tugas sekolah, penulisan artikel ilmiah, skripsi, tesis, desertasi, dan genre literer lainnya dapat diselesaikan dengan AI. Pada akhirnya, AI hanya menciptakan orang-orang malas belajar, gagap dan berpikir dangkal, dan miskin refleksi dan kreativitas.
Dengan melihat sisi antagonis dari petualangan intelektual di era AI dalam dunia akademik, kita mesti mencari jalan tengah, yaitu mamadukan nilai-nilai positif dari petualangan intelektual pada masa sebelum AI dan nilai positif dari petualangan intelektual pada masa AI sambil menegasi nilai-nilai destruktif dari kedua masa tersebut.
Sapere Aude: Opsi dan Jalan Tengah
Jalan tengah yang cocok dalam menyingkapi sisi antagonis dari teknologisasi pengetahuan di era AI ialah menghidupkan spirit sapere aude. Sapere aude (berani menggunakan akal budi sendiri) adalah moto abad pencerahan. Seruan ini merupakan kritik terhadap ketidakdewasaan manusia yang diakibatkannya sendiri. Ketidakdewasaan dimaksud merujuk pada ketidakmampuan berpikir secara otonom. Seseorang lebih bergantung atau membutuhkan bimbingan otoritas asing. Penyebab ketidakdewasaan berpikir bukan karena tidak memiliki pengetahuan dan kekurangan pemahaman, tapi kerena kemalasan dan kekecutan.
Misalnya, jika seseorang membutuhkan sesuatu, dia tidak perlu berpikir, membaca, dan mencari informasi sendiri. Dia cukup bertanya kepada para ahli atau pihak yang kompeten di luar dirinya, meskipun dia sadar bahwa dirinya juga memiliki pengetahuan yang sama dengan pihak asing tersebut (Fidelis R. Waton, Filsafat sebagai Cara Hidup, 2019:25-26). Sikap ini sengaja dilakukan agar tidak memecah otak untuk berpikir.
Sikap ketidakdewasaan berpikir di era AI terkhusus dalam dunia akademik mesti diperangi. Lalu, apakah kita harus bersikukuh menolak AI? jawabannya “tidak”. AI tidak perlu ditentang kehadirannya karena ia dapat menolong manusia dalam mencari informasi dan referensi pengetahuan. Yang perlu dilawan ialah sikap manusia yang bergantung pada AI melalui prinsip sapere aude. Nilai-nilai positif pada era sebelum AI seperti keuletan dalam belajar, membaca, berefleksi, disiplin, dan sikap kritis dipupuki sedemikian rupa. AI mesti hanya dijadikan sebagai alat penunjang dalam menemukan referensi tambahan dari bahan pelajaran yang digeluti. Dengan demikian, kita terhindar dari manusia malas dan gagap berpikir, tapi akan lebih cakap, produktif, dan kreatif dalam berpikir. []
Wilfridus Fon, Mahasiswa IFTK Ledalero, Maumere, NTT.
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Canva.
Penulis: Wilfridus Fon
Editor: Anita Aisyah