Simbol-Simbol di Balik Meja: Mengapresiasi Ulang Pertunjukan Tari “Rantau Berbisik” Karya Ery Mefri

Ery Mefri sang koreografer menyatakan, bahwa “diam itu musik, dan musik itulah roh dari tari,” yang memang nyata terlihat hadir dalam hampir semua tari garapannya.

Oleh Fauzul el Nurca

TEPUK tangan tetap gempita saat pertunjukan berakhir. Meskipun hanya tayangan ulang, setelah lebih lima belas tahun sejak pertama dipentaskan, koreografi Rantau Berbisik karya Ery Mefri masih saja mampu memukau perhatian lebih dua puluh pasang mata peserta workshop “Penulisan Seni Pertunjukan” yang digagas Nan Jombang Dance Company di Singgalang Room Hotel Daima Padang, Rabu (19/2/2025).

Kenapa bisa, padahal hampir satu jam panggung nyaris sunyi, penari bergerak dengan tempo sedemikian lambat, di bawah cahaya lampu berwarna merah dan biru, serta sebuah meja persegi, tiga buah kursi, dan sebuah gerobok menyerupai gerobak dorong yang mendominasi panggung selama pertunjukan.

Baca juga: Menonton Ulang Kegelisahan Ery Mefri dalam “Rantau Berbisik”

Apalagi untuk pertunjukan tari dengan sinopsis yang menceritakan satu kisah perantauan; tentang seseorang yang merantau saat usia belia dan menjadi tukang cuci piring di satu warung nasi. Merantau ternyata bukan hal mudah, relatif sulit. Tapi sebaliknya di kampung, para perantau ini bagaimanapun keadaan aslinya selalu dianggap kaya, bapitih, dan dianggap orang yang berhasil, apalagi saat mereka “terpaksa” mesti mudik.

*

PERTUNJUKAN bermula ketika dari di kejauhan, sesorot lampu bundar, kecil namun tajam, menyeruak kegelapan. Pelan, gerobak bergerak didorong tiga orang perempuan mengarah ke tengah panggung. Sebentar bergeser hingga berhenti di sisi kiri bagian belakang panggung. Sementara di depannya, sisi yang sama, seorang laki-laki di bawah sorot cahaya, diam, betul-betul senyap, mematung sembari duduk mendekap lutut di atas meja.

Baca juga: KABA Festival X 2025, Merayakan Empat Dekade Perjalanan Seni Maestro Ery Mefri

Lalu, ketukan demi ketukan, pukulan di meja, kursi, bahkan tepukan tangan ke tangan, tubuh, dan galembong, mengiringi gerak-gerak taktis atau ritmis para penari. Ilau dan keheningan, kadang berganti entakan-entakan stakato, seakan menggambarkan kegairahan sosial, kesibukan di ruangan rumah makan dengan jejeran meja-meja (yang diimajinasikan sembilan titik cahaya empat persegi yang berjejer menyatu dengan meja nyata berukuran sekitar satu meter persegi); kesibukan dan pertarungan hidup yang terus berlangsung, hiruk pikuk dalam kesunyian.

Sekali waktu tiga penari tampil menghibur pengunjung, menarikan tari piring. Sekali waktu pergerakan para penari berlangsung ritmis, rampak, dalam gerak randai, bahkan dengan tepuk galembong nan membahana. Terus mengalir, kadang cepat, kadang lambat, hingga gerakan yang bahkan dalam tempo sangat lambat, sangat-sangat lambat. Seakan menerjemahkan gejolak “kehidupan nyata” dari kondisi kesehatian dan kesibukan ekonomi berbanding terbalik dengan “ruang sunyi dan penderitaan batin” para anak rantau di perantauan.

Ya, simbol-simbol kehidupanlah yang bersinyinyir hadir bergantian sepanjang pertunjukan. Mulai dari meja yang menjadi panggung kecil pergolakan batin, lewat gerak dan ketukan, hingga meja dalam makna real yang mesti dibersihkan si anak rantau (dalam hal ini seseorang—sebagaimana pengakuan sang koreografer—yang bekerja di sebuah warung makan; warung yang tereskalasi dari gerobok dorong untuk menandai bentuk warung makan lapak terbuka di pinggir atau di satu pojokan jalan).

Baca juga: “Sang Hawa”, Karya Maestro Tari Ery Mefri Pentas di Gedung Kebudayaan Sumbar

Tak cuma meja, bahkan kursi, gerobak, sorot lampu, piring-piring, kostum, hingga gerak dalam koreografi Rantau Berbisik yang kita temukan di panggung, menjadi simbol-simbol yang tidak sederhana.

Simbol rumah makan dihadirkan dengan sangat cermat. Mulai dari keberadaan satu meja plus tiga kursi, yang sewaktu-waktu berganti fungsi menjadi alat musik, dan ketukan-ketukannya yang membahanakan suara batin. Atau kursi yang saat dipindah-posisikan menjadi sinyal kenyamanan para pelanggan (rakyat badarai, bukan kenyamanan politis “para borjuis” di rumah makan sekelas resto, semoga) yang menyatu dengan keharusan “melayani” para karyawan rumah makan tersebut.

Keberadaan warung makan kian menguat lewat pencahayaan khas berupa spot empat persegi panjang di sembilan titik dalam dua alur, menjadi gambaran meja yang menyatu dengan meja yang telah ada. Belum lagi gerobak (semula) yang beralih fungsi menjadi dapur, atau etalase dan rak palatak samba, hingga tempat cuci piring. Apalagi penggunaan piring yang senyata piring tatiangan (hingga belasan piring berisi sajian samba kering dan bakuah) di tangan tukang tatiang, yang sewaktu-waktu berderak-dering bakateteran di bak pencucian, namun seketika menjadi properti kala penari piring hadir menghibur pengunjung.

Tak berhenti di situ saja. Bahkan pilihan warna merah dari kostum yang membalut tubuh para penari, atau dominasi cahaya berwarna merah dan biru, sesaat benderang atau temaram, hingga kesunyian maupun hiruk pikuk tepukan para penari, pun menyitir simbol-simbol yang—mungkin hanya bisa dirasakan saat memahami latar emosional dan kondisi lazim di perantauan—semestinya mudah dibaca dan dipahami.

Baca juga: Anthroposentrisme: Manusia dalam Pemajuan Kebudayaan Lingkungan

Dan, mungkin dengan pemahaman itu juga, barulah kita dapat memaknai keheningan dan kesunyian, maupun gerak dan tempo yang kadang melambat, ketukan-ketukan pada meja dan kursi, tepuk tangan ke tangan, tubuh, dan sirawa galembong, dalam ritme yang cepat, lambat, atau kadang berdentam hingga tanpa bunyi; seluruhnya menjadi sandaran musikal dari tari Rantau Berbisik-nya Nan Jombang Dance Company. Maka layak dan tak sekadar berfilosofi ketika Ery Mefri sang koreografernya menyatakan, bahwa “diam itu musik, dan musik itulah roh dari tari”, yang memang nyata terlihat hadir dalam hampir semua tari garapannya.

*

DI BAGIAN akhir, panggung lagi-lagi menawarkan kesunyian. Kepergian tiga penari wanita (Ririn, Gebi, dan Intan) sembari mendorong “pulang” gerobak balik ke kegelapan, penari pria (Rio, gambaran diri si perantau) menyeruak pelan ke bawah meja. Di sebelahnya, di kursi yang tersisa, penari perempuan (Angga, gambaran perempuan yang memungkinkan dalam multi makna; apa adanya seorang perempuan, dan juga sosok seorang ibu yang merindukan dan baru saja “bertemu dengan sang anak” di perantauan) tengah duduk, diam, dan tertunduk.

Pelan, penari pria pergi sembari memanggul meja. Terus bergerak, pelan, menjauh. Sementara tubuh perempuan di kursi kian melayu, tangannya yang menjuntai kian terkulai, hingga sorot lampu tunggal ke tubuhnya pelan didiming dan berangsur pudur (walau terasa prosesnya berlangsung terlalu cepat, yang mungkin akan berbeda dan memberi efek kejut bagi penonton apabila lampu yang menyorot posisi Angga di kursi dibiarkan hidup lebih lama, lebih lama dan makin terang sejelas kian lunglainya tubuh si perempuan. Lalu, lampu pudur tiba-tiba, gelap sepenuhnya).

Fauzul el Nurca, penyair, menetap di Kota Padang, Sumatera Barat.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Fauzul el Nurca

Editor: Muhammad Subhan

Komentar

2 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan