Silek, Jalan Pulang Menuju Jati Diri Minangkabau
Silek bukan sekadar bela diri, tapi jalan pulang menuju jati diri Minangkabau.

Oleh Bagindo M. Ishak Fahmi
GAGASAN Wakil Gubernur Sumatera Barat, Vasko Ruseimy, tentang menjadikan bela diri silat (silek) sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib di seluruh sekolah menengah atas di Sumatera Barat bukan hanya sebuah kebijakan populis, tetapi merupakan visi strategis yang menyentuh akar identitas kebudayaan Minangkabau. Di tengah arus deras globalisasi dan dekadensi nilai-nilai lokal, keinginan ini seumpama ajakan untuk “pulang kampuang”, kembali ke akar yang memelihara tubuh dan jiwa orang Minang: adat, budaya, dan silek.
Walau sebagian sekolah telah memulai inisiatif ini, kenyataannya belum merata. Momentum ini menjadi titik tolak penting untuk melibatkan semua pemangku kepentingan—Dinas Pendidikan, Dinas Kebudayaan, Dispora, hingga para guru silek di sasaran-sasaran silek yang masih setia menjaga “bara warisan” leluhur di sudut-sudut nagari.
Silek Lebih dari Bela Diri: Ini Falsafah
Bagi urang awak, silek bukan semata teknik serang dan bela, tetapi sebuah cara pandang, metode berpikir, bahkan falsafah hidup. Basilek lidah, basilek pikiran, garak-garik, katak jangko, pandang kutiko—semuanya menggambarkan bagaimana silek menumbuhkan kecerdasan strategis, ketangkasan diplomatik, dan ketajaman insting sosial.
Dalam konteks pendidikan, silek membentuk manusia yang tangguh secara fisik, cerdas dalam membaca situasi, dan santun dalam bersikap. Ia melatih disiplin, kesabaran, serta rasa hormat kepada guru (guru silek) dan sesama.
Ahli budaya Minangkabau, Prof. Mestika Zed, pernah mengatakan bahwa “Silek bukan sekadar jurus, tapi ruang dialektika antara tubuh dan nilai, antara tanah dan marwah.” Ini adalah upaya untuk membentuk manusia Minangkabau yang utuh—tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga matang dalam nilai, tangguh dalam karakter, dan tajam dalam berpikir.
Sementara itu, dari perspektif sosiologi kebudayaan, kita melihat silek sebagai sistem makna yang hidup dalam masyarakat Minangkabau. Ia bukan hanya produk kebudayaan, tetapi proses pewarisan nilai kolektif yang secara aktif mentransmisikan etika, relasi sosial, dan solidaritas komunitas. Dalam istilah sosiolog Pierre Bourdieu, silek membentuk habitus—kerangka berpikir dan bertindak—yang menjadi bagian dari identitas orang Minang.
Landasan Hukum: Pemajuan Kebudayaan sebagai Tanggung Jawab Negara
Gagasan Wagub Sumbar ini sangat relevan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, khususnya:
Pasal 5 huruf a dan d, yang menyebutkan bahwa tujuan pemajuan kebudayaan adalah untuk melestarikan warisan budaya bangsa dan memperkukuh jati diri bangsa.
Pasal 7, yang menetapkan bela diri tradisional sebagai salah satu objek pemajuan kebudayaan nasional.
Pasal 8, yang menugaskan pemerintah daerah untuk menyusun strategi pemajuan kebudayaan berbasis potensi lokal.
Tantangan dan Tanggung Jawab Stakeholder
Namun, pertanyaannya: sampai di mana langkah konkret sudah diambil oleh Dinas Pendidikan, Dinas Kebudayaan, dan Dispora? Apakah sudah dilakukan pendataan sasaran silek yang aktif di sekitar sekolah-sekolah? Apakah sudah tersedia kurikulum integratif yang menjadikan silek tidak hanya sebagai olahraga, tapi juga wahana pembelajaran adat dan karakter?
Ke depan, harus ada:
- Pemetaan menyeluruh sasaran silek aktif di seluruh Sumatera Barat sebagai mitra resmi sekolah.
- Pelatihan guru silek agar mampu mentransformasi nilai silek ke dalam konteks pendidikan abad 21.
- Integrasi kurikulum lokal yang mengaitkan silek dengan pelajaran PPKn, Bahasa Indonesia (pantun, pepatah), bahkan Sejarah dan Sosiologi.
- Festival silek antar sekolah sebagai ajang pembuktian, bukan hanya adu jurus, tapi juga adu nalar dan kearifan lokal.
Menanamkan Warisan, Membangun Masa Depan
Seperti kata budayawan Wisran Hadi (alm.), “Urang Minang hanya bisa disebut Minang sejati jika dia mampu berdiri dengan tiga tiang: adat, kata, dan silek“.
“Maka ketika silek dikembalikan ke sekolah, sesungguhnya kita sedang menanam warisan di taman masa depan.
Ini bukan semata olahraga, ini adalah strategi peradaban. Karena bangsa yang kehilangan silatnya, perlahan akan kehilangan silat lidahnya, lalu kehilangan silat pikirnya, dan akhirnya kehilangan jati dirinya. []
Bagindo M. Ishak Fahmi, seniman/budayawan Sumatera Barat.
Lukisan sebagai ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.
Penulis: Bagindo M. Ishak Fahmi
Editor: Muhammad Subhan