“Sikolah” Panggilan Membangun Karakter

“Sikolah“, dalam arti mendalam, adalah upaya kolektif untuk membangun peradaban.

Oleh Muhammad Ishak

DALAM tradisi Minangkabau, “sikolah” atau sekolah memiliki makna yang lebih mendalam daripada sekadar tempat fisik untuk belajar. Kata ini bukan hanya menunjuk pada bangunan dengan ruang-ruang kelas, tetapi juga mengandung filosofi hidup. Sekolah atau ” Sikolah” adalah panggilan—sebuah ajakan untuk mendidik, membimbing, dan membangun generasi muda menjadi pribadi yang cerdas, beretika, serta berempati.

Pada masa awal kemerdekaan, sekolah bukan sekadar tempat menimba ilmu pengetahuan. Di sana, anak-anak bangsa diajak untuk memahami makna kerja sama, membangun persaudaraan, dan saling membantu dalam kebaikan. Sekolah kala itu menjadi pusat pembentukan karakter—bukan sekadar ajang mengasah kemampuan akademik.

Namun, di era modern ini, apakah “sikolah” masih memanggil generasi muda untuk kebaikan? Ataukah telah bergeser menjadi tempat yang hanya mengajarkan kompetisi tanpa batas? Apakah suasana belajar yang akrab, hangat, dan penuh empati telah tergantikan oleh tekanan mengejar nilai akademik?

Seiring dengan kemajuan teknologi, proses belajar mengajar semakin sering dilakukan melalui platform digital. Namun, dapatkah Zoom Meeting menggantikan makna “sikolah” dalam tradisi Minang? Jawabannya, mungkin tidak sepenuhnya. “Sikolah” adalah tempat membangun nilai-nilai kehidupan yang hanya bisa ditanamkan melalui interaksi langsung, melalui tatap muka, melalui dialog hati ke hati.

Pendapat Ahli Tentang Peran Sekolah Hari Ini

Prof. Arief Rachman, seorang pakar pendidikan Indonesia, pernah menegaskan bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai tempat transfer pengetahuan. Sekolah harus menjadi wadah pembentukan karakter. Pendidikan berbasis nilai (values-based education) adalah kunci untuk menciptakan generasi muda yang tidak hanya pintar secara intelektual, tetapi juga unggul secara moral dan sosial.

Dalam konteks Minangkabau, “sikolah” harus kembali kepada hakikatnya: tempat mengajak anak-anak untuk mengembangkan diri secara utuh. Empati, gotong royong, kejujuran, dan kearifan lokal harus diajarkan seiring dengan pengetahuan akademik.

Sikolah“, dalam arti mendalam, adalah upaya kolektif untuk membangun peradaban. Sekolah tidak hanya tentang siapa yang paling pintar, siapa yang paling cepat menghafal, atau siapa yang paling unggul. Sekolah adalah perjalanan bersama, sebuah ruang untuk saling mengingatkan, membimbing, dan membantu.

Mari kita jadikan “sikolah” kembali menjadi tempat yang memanggil , mengajak generasi muda untuk kebaikan—tempat membangun jiwa-jiwa yang berakhlak, berempati, dan bermoral mulia. Sebab, hanya dengan itu kita bisa memastikan masa depan bangsa tetap tegak dan bermartabat. []

Muhammad Ishak, aktif di kegiatan silat, baca puisi, dan teater sejak belia sampai remaja, aktif dalam pementasan teater dan baca puisi sejak tahun 1989 sampai dengan 1995, tampil di Taman Ismail Marzuki Jakarta, dalam kelompok Teater Dayung Dayung pimpinan A. Alinde (alm.) tahun 1992 dan juga tampil di Taman Ismail Marzuki Jakarta (TIM) dengan Bumi Teater pimpinan Wisran Hadi (alm.) tahun 1994 ,dan aktif pementasan teater di Taman Budaya Sumbar dan kota lainnya, ikut dalam Forum Pejuang Seniman Sumatera Barat (FPS-SB), serta terlibat sebagai pembicara dalam Kelompok Kreator Era AI, bekerja di dunia perbankan selama lebih kurang 28 tahun sejak tahun 1996 sebagian dihabiskan menjadi Direktur Utama selama 20 tahun di beberapa Bank Perekonomian Rakyat (BPR) di Sumbar dan mendirikan BPR milik Pemda Padang Pariaman pada tahun 2007. Sekarang sebagai Komisaris di samping Advokat dan aktif dalam kegiatan Kebudayaan dan Kesenian di Sumatera Barat.

Penulis: Muhammad Ishak

Editor: Muhammad Subhan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan