Oleh Muhammad Jamil S. Ag Labai Sampono
DALAM Tambo Adat Minangkabau yang ditulis oleh Ibrahim Dt. Singgano, diceritakan awal berdirinya penghulu di Minangkabau. Setelah selesai pembangunan Balairung di Nagari Pariangan Padang Panjang, tidak lama kemudian diadakan musyawarah yang dipimpin oleh tiga tokoh besar pendiri adat Minangkabau, yaitu Srimaharajo Dirajo, Dt. Suri Dirajo, dan Cati Bilang Pandai. Dari hasil keputusan itu, disepakati untuk memilih seseorang yang akan diangkat menjadi pimpinan atau ketua bagi mereka. Orang yang terpilih nantinya akan menjadi penghulu bagi kaum mereka.
Usulan ini datang dari Sri Maharajo Dirajo, dengan tujuan bahwa orang yang terpilih tidak hanya menjadi ketua atau penghulu, tetapi juga kusuik nan akan manyalasaikan, dan karuah nan akan manjaniahkan—yaitu orang yang akan menyelesaikan persoalan dan menjaga ketertiban di kemudian hari. Orang inilah yang akan mengepalai kaum di bawah pimpinan Ninik Sri Maharajo Dirajo beserta orang-orang besar lainnya. Dari usulan inilah, tema rapat berkembang hingga menjadi cikal bakal lahirnya penghulu sebagai pemimpin orang banyak saat itu. Setelah rapat berlangsung, disepakati untuk mengangkat dua orang pimpinan, satu di Pariangan dan satu di Padang Panjang. Namun, rapat belum berakhir karena masih perlu ditentukan siapa yang akan diangkat dan gelar apa yang akan diberikan kepada mereka.
Dt. Singgano menjelaskan bahwa keputusan ini kemudian dibawa kembali kepada Sri Maharajo Dirajo. Dt. Suri Dirajo memberikan jawaban kepada utusan tersebut: “Berbahagialah kalian, telah mempunyai ketua yang akan menjadi penghulu.”
Namun, pertanyaan selanjutnya muncul: Apa gelar yang akan diberikan kepada kedua ketua tersebut? Dan apa pangkatnya?
Pemuka rapat kembali bermusyawarah dengan agenda memberikan gelar yang sesuai kepada dua pemimpin tersebut. Setelah sekian lama, mereka belum menemukan kata sepakat mengenai gelar yang cocok. Akhirnya, keputusan kembali dimintakan kepada Sri Maharajo Dirajo. Kemudian, Dt. Suri Dirajo selaku juru bicara menyampaikan jawaban:
“Adapun orang yang akan menjadi penghulu (ketua) itu, tentulah berasal dari kalangan kita yang terbaik dan yang terpandai, baik tingkah lakunya, sebab ia akan menjadi pergi tempat bertanya dan pulang untuk memberi berita. Orang itulah yang akan memeliharakan baik buruknya, tempat mengadu segala persoalan buruk dan baik, orang inilah yang akan menimbang mudarat dan manfaat serta menghukum barang sesuatunya.
Untuk itu, sepanjang pendapat hamba, patutlah kita muliakan orang itu semulia mungkin di antara kita ini, dituakan dengan mufakat, dan tuanya itu kita samakan dengan ninik mamak kita. Orang yang sama tuanya dengan ninik dari mamak kita ialah Datuk namanya.
Sebab itu, orang itu kita panggil Datuk, meskipun umurnya masih muda daripada kita, pangkatnya telah kita samakan dengan ninik kita daripada mamak kita, yakni dengan Datuk kita yang empat kali lebih tinggi dan lebih tuanya daripada kita. Kita wajib menghormati dia bersama-sama. Apa titahnya kita junjung, dan apa perintahnya kita turut menurut, supaya kita sentosa dari mara bahaya selama hidup. Jika kita tidak berinduk dan tiada turut menurut, niscaya tiadalah kita akan selamat selama-lamanya di dunia ini.”
Semua yang diucapkan oleh Dt. Suri Dirajo diterima dengan senang hati oleh para peserta rapat, tanpa ada yang membantah. Sejak saat itu, ketua atau penghulu disebut sebagai Datuk dan juga Ninik Mamak. Panggilan ini tetap bertahan hingga sekarang, karena pangkat dan derajat orang yang dijadikan penghulu telah disamakan dengan ninik mamak dari pihak mamak.
Tidak lama kemudian, diadakan pesta perhelatan di Nagari Pariangan Padang Panjang untuk melewakan penghulu pertama, yakni Datuk Bandaharo Kayo di Pariangan dan Datuk Maharajo Basa di Padang Panjang. Mereka adalah dua penghulu pertama sebelum munculnya Datuk Katumangguangan, Datuk Parpatiah Nan Sabatang, serta Datuk Sri Maharajo Nan Banego-Nego.
Adapun mengenai Datuk Suri Dirajo, bukan berarti ia tidak diangkat sebagai penghulu, sebab gelarnya yang sebenarnya adalah Suri di Rajo, yang berarti ‘orang dekat raja’. Karena ia termasuk orang yang dituakan, maka ia dipanggil Datuk. Ia adalah seorang yang pandai, berilmu luas, dan bijaksana, sehingga menjadi tempat bertanya bagi masyarakat di Pariangan Padang Panjang saat itu. Bahkan, ia menjadi guru bagi Ninik Sri Maharajo Dirajo yang menjabat sebagai raja di Pariangan Padang Panjang kala itu.
Sejarah Awal Penghulu menurut Payung Terkembang
Sejarah lebih rinci tentang berdirinya penghulu dapat dilihat dalam buku Payung Terkembang karya A. Samad Idris. Berikut beberapa poin penting dari buku tersebut:
Srimaharajo Dirajo – Ketua atau dirajakan di Gunung Merapi (Pariangan) yang dinamakan Pasumayan Koto Batu.
Putri Indah Julito – Permaisuri.
Cati Bilang Pandai – Pemikir dan penasihat raja.
Sri Dirajo – Orang kedua sesudah raja, selaku orang tua dan dewan pertimbangan. Kemudian bergelar Datuk Suri Dirajo (Penghulu I) dan juga disebut Datuk Dingalau.
Putri Andan Jalita – Permaisuri.
Datuk Bandaro Kayo – Tampuk Alam, Penghulu II.
Datuk Bandaro Basa – Tangkai Alam, Penghulu III.
Sutan Maharajo Basa – Kemudian bergelar Datuk Katumangguangan, penggagas Dinasti Koto Piliang atau sistem pemerintahan Koto Piliang.
Sutan Balun – Kemudian bergelar Datuk Parpatiah Nan Sabatang, penggagas Dinasti Bodi Caniago.
Sikakok Dunia – Bergelar Datuk Nan Banego-Nego, saudara seibu sebapak dengan Datuk Parpatiah Nan Sabatang.
Datuk Tan Tejo Gurhano – Orang besar kerajaan Koto Batu, selaku ahli seni membangun atau arsitek.
Sejak saat itu, gelar penghulu diturunkan secara turun-temurun hingga saat ini. Wallahu’alam bishawab. []
Referensi:
Tambo Adat Minangkabau, Ibrahim Dt. Sanggano, 2005.
Mustika Adat Minangkabau, I. Dt. Sanggono Dirajo, Pustaka Indonesia, 1988.
Tambo Alam Minangkabau, H. Dt. Tuah, Pustaka Indonesia, cet III, 1976.
1000 Pepatah Petitih, Pantun, Gurindam, H. Idrus Hakim Dt. Rj. Penghulu, Ramajaya Karya, Bandung, 1984.
Pegangan Penghulu di Minangkabau, Idrus Hakimi Dt. Rj. Penghulu, LKAAM Sumbar, 1974.
Curaian Adat Minangkabau, Dt. Sanggono Dirajo, Pustaka Indonesia, Bukittinggi, 1987.
Dasar Falsafah Adat Minangkabau, Prof. Dr. M. Nasrun, Bulan Bintang, Jakarta, 1957.
Payung Terkembang, Montinggo Busye, Pustaka Kartini, 1985.
Penulis: Muhammad Jamil S. Ag Labai Sampono
Editor: Muhammad Subhan
-
Ping-balik: Hati-Hati Mengambil Batas Tanah Orang - Majalahelipsis.id