Shantined Rayakan Dua Dekade Berkarya dengan Dua Buku Baru
Dengan dua buku ini, Shantined kembali menegaskan posisinya sebagai salah satu penulis yang konsisten mengolah kata dan gagasan.

JAKARTA, majalahelipsis.id—Dunia sastra Indonesia kembali diramaikan dengan peluncuran dua buku terbaru karya Shantined, seorang penulis yang telah berkecimpung selama dua dekade dalam dunia kepenulisan.
Dalam acara yang berlangsung di Aula Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Senin sore, digelar soft launching terbatas namun penuh makna untuk dua buku terbarunya: Kita yang Tersisa dari Luka Cuaca (kumpulan puisi) dan Saga, Serigala, dan Sebilah Mandau (kumpulan cerpen).
Acara ini dihadiri sejumlah sastrawan, akademisi, dan penggiat sastra, serta diselenggarakan usai sesi diskusi bersama Dr. Isadora Fiochou. Riri Satria, pakar teknologi digital sekaligus Ketua Komunitas Jagat Sastra Media (JSM), menyoroti pentingnya karya-karya Shantined dalam menghidupkan kembali gairah sastra Indonesia.

“Shantined adalah salah satu penulis yang memiliki daya eksplorasi luar biasa dalam menciptakan kisah dan puisi yang menggugah. Dua buku ini adalah refleksi dari perjalanan panjangnya dalam dunia sastra, yang patut diapresiasi,” ujar Riri Satria.
Karya-karya dalam dua buku ini merupakan kumpulan puisi dan cerpen terpilih yang telah ditulis Shantined sejak tahun 2004 hingga 2024. Shantined dikenal sebagai penulis yang produktif di era 2004—2014 dengan berbagai karyanya yang menghiasi media massa dan jurnal sastra. Meskipun kini tidak seaktif dahulu, ia tetap menulis dan terus berkontribusi dalam dunia sastra Indonesia.
Shantined lahir di Yogyakarta dan besar di Balikpapan, di mana ia aktif dalam Dewan Kesenian Balikpapan (DKB) serta membidangi Komite Sastra. Ia merupakan murid dari sastrawan Kalimantan Timur, Korrie Layun Rampan. Kini, ia berdomisili di Depok dan terus melanjutkan kiprahnya dalam dunia literasi.
Saga, Serigala, dan Sebilah Mandau menampilkan kumpulan cerpen dengan kisah yang kuat dan penuh eksplorasi psikologis. Salah satu cerpen dalam buku ini, Saga, telah banyak diperbincangkan sejak pertama kali diterbitkan di Jurnal Perempuan (2008) dan masuk dalam beberapa antologi bergengsi seperti Un Soir du Paris (Gramedia, 2010) dan I am Woman (Lontar, 2011). Cerpen ini bahkan telah dikaji secara akademik oleh Tita Nurajeng Myasari dari Universitas Diponegoro menggunakan pendekatan psikoanalisis Sigmund Freud dan dipublikasikan dalam Jurnal Kebahasaan dan Kesusastraan Gramatika pada 2018.
Sementara itu, Kita yang Tersisa dari Luka Cuaca menjadi penanda kembalinya Shantined dalam dunia puisi. Puisi-puisinya banyak mengeksplorasi tema kerinduan, perjalanan hidup, dan refleksi sosial-politik. Shantined menggambarkan pencarian akan keintiman dan kedekatan dalam kehidupan modern yang serba cepat serta refleksi mendalam terhadap berbagai pengalaman hidupnya.

“Dalam puisi-puisi ini, saya mencoba menampilkan perjalanan batin, dinamika kehidupan, serta sudut pandang yang lebih dalam terhadap kehidupan,” ungkap Shantined.
Semula, kedua buku ini direncanakan terbit pada Desember 2024, namun karena beberapa kendala teknis, seperti pengurusan ISBN, peluncurannya tertunda hingga Januari 2025. Kendati demikian, antusiasme terhadap kedua buku ini tetap tinggi, terutama dari kalangan sastrawan dan pembaca setia Shantined.

Dalam kesempatan tersebut, Shantined juga menyampaikan terima kasih kepada para editor dan rekan-rekan yang telah mendukung penerbitan buku ini, termasuk Sofyan RH Zaid, Nunung Noor El Niel, dan Rissa Churria yang turut mengevaluasi isi buku. Nama-nama besar seperti Damhuri Muhammad, Ahmadun Yosi Herfanda, serta Maman S. Mahayana juga memberikan dukungan terhadap terbitnya karya-karya ini.
Melalui peluncuran ini, Shantined berharap bahwa karyanya dapat menjadi inspirasi bagi banyak orang. “Saya ingin tulisan saya dapat menjadi alternatif sudut pandang, memberikan refleksi, atau bahkan menjadi inspirasi bagi para pembaca,” ungkapnya.
Riri Satria menambahkan bahwa Shantined adalah bukti bahwa perjalanan sastra adalah proses panjang yang penuh dinamika.
“Karya-karyanya adalah dokumentasi perjalanan hidup yang kaya akan makna dan dapat menjadi pelajaran bagi kita semua,” ujarnya menutup acara.
Dengan dua buku ini, Shantined kembali menegaskan posisinya sebagai salah satu penulis yang konsisten mengolah kata dan gagasan. Harapannya, kehadiran Kita yang Tersisa dari Luka Cuaca dan Saga, Serigala, dan Sebilah Mandau dapat semakin memperkaya khazanah sastra Indonesia.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Neneng J.K.
-
Ping-balik: Nostalgia, Kritik, dan Luka: Menelisik Puisi-Puisi Shantined dalam Buku 'Kita yang Tersisa dari Luka Cuaca' - Majalahelipsis.id