Oleh Heza Hara

“Adakah kita bersatu setelah dua belas jam ini?” Pertanyaan yang tidak bisa aku jawab hingga lampu ruang operasi meredup dan mati.
Ini kisahku, kisah sedih dan pilu. Tentang seorang gadis malang yang baru aku kenal empat bulan yang lalu.
*
Rutinitas yang padat, mengajar di salah satu pondok pesantren, membuat rasa bosan sering menghampiri. Hari-hari silih berganti dengan deretan aktivitas monoton yang itu-itu lagi setiap hari. Inilah kadang yang membuat pikiran terasa jenuh. Ditambah lagi, jadwal kuliah yang padat dengan tugas-tugas. Aku benar-benar berada pada situasi sulit karena harus membagi waktu mengurus pondok dan tugas sebagai mahasiswa. Namun, meski sangat keteteran, aku harus bisa menyelesaikan semua ini dengan baik. Demi kedua orang tuaku yang sudah lelah membanting tulang membiayai kuliahku.

Entah sudah berapa kali jemariku bolak-balik di tombol “keluar” kemudian “masuk” lagi ke menu Instagram, kembali lagi ke WhatsApp. Kala jenuh menyerang, kadang berselancar di dunia maya pun bisa menjadi obat. Hingga aku berhenti di salah satu postingan. Sebagai seorang lelaki, aku tidak bisa mengabaikan keindahan di depan mataku. Keindahan yang membuat lisanku melafazkan “masyaallah”. Begitu indah Sang Pencipta menciptakannya. Rasa penasaran membuat jariku gercep menekan “profil” tanpa kuperintahkan. He-he-he, jemari dan pikiranku sangat akur, ya.

Kutelusuri satu per satu postingan, tetapi makin aku mencari tahu, aku mulai merasakan kehampaan pada dirinya. “Ada apa? Begitu keraskah tekanan yang ia hadapi dalam hidupnya?” gumamku dalam hati.

Jika mati adalah jalanku untuk berbakti, aku akan pilih jalan itu.

Sejenak aku merasa jantungku berdetak sangat kencang saat membaca tulisan itu di salah satu caption-nya. “Mengapa dia ingin mati?” Tanyaku kembali, meskipun aku tahu tiada yang akan menjawab pertanyaanku ini.

Sekarang rasa penasaran ini sudah berubah menjadi rasa simpati yang sangat mendalam. Aku beranikan diri untuk mengirimkan pesan kepadanya. Setidaknya aku bisa menjadi temannya untuk berkeluh-kesah.

Assalamualaikum. DM-ku di Instagramnya.

Namun, tiada respons. Hingga aku tahu dia sedang tidak aktif. Aku menghela napas panjang. Hidupku saja kini terasa sunyi, bagaimana mungkin aku punya pikiran untuk memberi arti pada orang lain. Ku tutup Instagram. Aku ingin kembali ke dunia nyata. Ada orang-orang di sekelilingku yang butuh aku perhatikan. Ransel kusandang di bahu kiri, sambil membawa beberapa diktat yang harus aku pelajari. Ini adalah hal nyata yang harus segera kuselesaikan.
*
Walaikumsalam.

Aku membuka pesan di Instagram. Tubuh yang tadinya sedang berbaring lesu di tempat tidur lusuh, tiba-tiba kududukkan dengan semangat. Abdul yang sedang muroja’ah hafalannya sempat melotot ke arahku. Dengan semangat menyala, aku langsung merespons balasannya.

Hana Syahira, itu namanya. Nama yang membuatku tidak berhenti senyum-senyum sendiri. Itulah awal perkenalanku dengan Hana.

Hari-hariku mulai terasa berbeda, warna-warna kelam berubah cerah. Seperti langit biru yang dihiasi gumpalan awan putih bersih. Bahkan meskipun hujan datang, lengkung pelangi akan hadir menghiasi. Hari-hariku terasa sangat indah. Begitu berwarna.

Keakraban aku dan Hana kian hari kian bertambah. Meskipun aku dan Hana tinggal di kota yang berbeda, tetapi terasa dekat. Setiap saat kami selalu bertelepon. Saling bercerita tentang apa saja, hingga aku mengetahui kehidupan Hana yang begitu pahit.

“Kamu tidak akan bisa jadi seperti aku. Aku ini lahir tidak diharapkan. Bagi Ibu, kehadiranku hanya petaka. Dan apa yang ada pada diriku, itu adalah untuk saudaraku. Begitu kata Ibu padaku. Bahkan hidupku bukan untuk kebahagianku, tapi untuk orang lain.”

Hana tersenyum mengakhiri obrolan. Dia menutup telepon. Sambil berucap salam, ada isakan tertahan yang sempat aku dengar. Hingga kujawab salam sambil menutup telepon tanpa sempat menanyakan maksud perkataannya. Renungan panjang untukku. Aku tidak tahu maksud Hana. Dan malam itu aku diserang insomnia.
*
Berhari-hari aku hilang kontak dengan Hana. Nomornya tidak bisa dihubungi. Aku begitu kacau. Ingin rasanya menyusulnya, tetapi bagaimana caraku. Bahkan aku tidak punya alamat lengkapnya. Hingga suatu malam, muncul notifikasi masuk di WhatsApp.

Assalamualaikum. Aku Aisyah, temannya Hana. Doakan Hana, besok dia akan dioperasi.
Masuk sebuah chat yang membuat jantungku ingin melompat ke luar.

Operasi?
Hana sakit?
Sakit apa?

Begitu banyak pertanyaan, tetapi jemariku tidak bisa lagi mengetik chat. Aku langsung menghubungi Aisyah. Ada rasa canggung dalam diriku karena tidak mengenalnya. Tetapi rasa penasaranku mengalahkan semua itu.

Malam itu aku mengobrol panjang lebar. Dari Aisyah aku tahu betapa mulianya hati Hana. Dia mendonorkan ginjalnya untuk adiknya yang menderita gagal ginjal kronis stadium akhir. Fungsi ginjal yang sudah sangat menurun dan racun yang menumpuk di dalam tubuh adik Hana, membuat Hana harus merelakan ginjalnya. Hana berharap, setelah dia memberikan organnya, Ibu akan bisa menyayanginya dan pastinya Adik akan sembuh.

Tiba-tiba air mataku mengalir. Jika kata orang lelaki tidak boleh menangis, kali ini aku tidak bisa menahannya. Sekarang aku paham yang disampaikan Hana beberapa hari yang lalu. Rasa sayang Hana kepada keluarganya sangat dalam, meski ia sering diabaikan. Bahkan Hana tidak tinggal bersama keluarganya karena Ibu tidak menyukainya. Diam-diam Hana memiliki bisnis sendiri, uangnya ia tabung untuk keluarganya.

“Ia adalah wanita tegar. Terasing dari keluarga tidak membuatnya surut. Ia juga berhasil menyelesaikan S-2 dengan biaya sendiri. Rumah dan mobil juga ia beli dari jerih payah sendiri. Hingga suatu hari ibunya datang menangis di hadapannya, meminta ia untuk mendonorkan ginjal.” Aisyah terisak, tidak bisa meneruskan ceritanya. Hingga telepon pun mati.

Malam kali ini terasa panjang. Aku tidak bisa tidur. Menutup mata membuatku takut, takut tertidur dan terlewat kabar tentang Hana.

“Ya Allah, andaikan aku bisa menemaninya. Aku ingin bersamanya,” gumamku dalam hati.
*
Kontak Hana tetap tidak bisa kuhubungi. Untung saja aku sudah save kontak Aisyah. Melalui Aisyah, aku tahu perkembangan Hana. Hari ini aku benar-benar kacau, aktivitas mengajarku tidak fokus. Di pikiran hanya ada Hana. Aku merasa sangat tidak berguna. Proses operasi berjalan selama dua belas jam. Di enam jam pertama, aku terkejut bercampur lega. Sebenarnya, aku juga tidak mau menjadi orang tegaan dengan mensyukuri keadaan adik Hana. Kondisinya memburuk sehingga dibatalkan proses transplantasi ginjal karena hanya akan sia-sia saja. Tentu hal ini akan menguntungkan untuk Hana yang tidak jadi mendonorkan ginjal.

Namun, selang enam jam kemudian aku mendapatkan kabar, Hana dalam keadaan kritis. Dia mengalami pendarahan hebat pada saat melakukan donor ginjal. Ternyata, operasi donor ginjal tetap dilakukan sebelum mengetahui keadaan Rafi, adik Hana, memburuk. Alhasil, Rafi tidak tertolong, Hana pun kritis.
Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Tanpa pikir panjang aku langsung berangkat ke kota Hana dengan bantuan Aisyah.

Perjalanan yang panjang menuju kota Hana membuatku makin tidak menentu. Panik, kacau, tidak sabaran bercampur menjadi satu. Hingga travel yang membawaku berhenti di sebuah rumah sakit besar. Namun, lututku bergetar, kakiku terasa lunglai saat aku mendapatkan Hana sudah terbaring kaku. Ya Tuhan, aku baru saja mengenalnya. Bahkan aku belum pernah melihatnya secara langsung. Mengapa Engkau membiarkan kami bertemu dengan cara seperti ini? Tubuhku tersungkur di samping pembaringan Hana. Kakiku tidak lagi bisa menahan tubuhku, rasanya begitu lemah. Wanita hebat, mandiri, berhati mulia yang selalu memotivasi padahal hidupnya pun sedang sulit. Bahkan di saat ia sedang rapuh, ia masih menyemangati aku.

“Hana Syahira.”

Terngiang di telingaku saat dia pertama kali memperkenalkan diri. Aku tunggu kau dalam dua belas jam tanpa henti, Hana. Namun, setelah dua belas jam berlalu, aku tidak bisa mendapatkan kamu yang dulu.[]

(Duri, April 2024)

Aku dedikasikan cerita ini untuk sahabatku.

Heza Hara. Lahir di Duri, Riau pada 31 Oktober. Penulis yang juga seorang guru ini telah menerbitkan tiga buku solo, yaitu: Antologi Puisi “Karena Kucinta Kau” (2021), sebuah novel “Bulan di Hati Luna” (2021) dan kumpulan cerpen “Ombak Penyesalan di Lautan Hati” (2022). Pernah mendapatkan Anugerah Sastra sebagai penulis favorit di komunitas Riau Sastra (2023), karya-karyanya beberapa kali dimuat di media online, juga beberapa kali mendapatkan juara dalam ajang cipta dan baca puisi. Mengajar di SMPS IT Darunnajah Duri. Aktif di komunitas WAG KMD elipsis, Komunitas Riau Sastra, Kepul, HUMA, Ruang Kata.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Heza Hara

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan