Setelah Buku, TBM Hendak Ke Mana?
Pengelola taman bacaan harus membaca dan menulis lebih dulu agar bisa jadi teladan. Buku yang banyak hanya berarti jika dihidupkan dengan membaca dan menulis bersama masyarakat.
Oleh Muhammad Subhan
BUKU adalah napas yang menjaga taman bacaan tetap hidup. Tanpa buku, taman bacaan mati suri. Tanpa buku, taman bacaan hanya papan nama di dinding.
Tapi buku bukan segalanya. Buku hanya kunci. Buku hanya pintu. Yang melewatinya, siapa? Yang menuntun melewatinya, siapa pula?
Pegiat taman bacaan tidak sekadar penerima buku. Tidak hanya penjemput donasi. Pegiat taman bacaan harus lebih dulu jadi pembaca. Dan lebih jauh, penulis.
Buku-buku datang beribu-ribu. Disusun di rak kayu, di lemari kaca, di sudut-sudut yang kadang lembap. Buku-buku berdebu, kalau jarang dibuka. Buku-buku membisu, kalau hanya jadi pajangan saja.
Orang-orang dermawan mendonasikan buku. Intansi-instansi pemerintah mengirim bantuan buku. Lembaga filantropi membagikan buku ke kampung-kampung. Orang-orang kota, mahasiswa, pekerja, menggalang buku bekas maupun baru.
Lalu, setelah buku terkumpul dan membanjir, apa lagi?
Taman bacaan menjadi semacam museum kecil. Terkadang dikunjungi, terkadang tidak. Kadang ramai, kadang sepi. Kadang hanya ramai di awal saja.
Masyarakat datang mencari bacaan. Mereka bertanya pada pengelola, “Buku apa yang bagus?” Kalau pengelolanya tak membaca, tak kenal isi buku, apa yang bisa dijawab?
Pengelola taman bacaan harus lebih dulu melahap buku-buku itu. Ia harus punya peta di kepalanya. Ia tahu mana buku pertanian yang cocok untuk petani bawang di desanya. Mana buku budidaya ikan yang pas untuk para nelayan.
Ia membaca, lalu memilih. Ia membaca, lalu bercerita. Ia membaca, lalu menulis. Menulis catatan kecil. Menulis rangkuman. Menulis resensi. Menulis panduan.
Taman bacaan tak ubahnya sekolah. Dan pengelolanya semacam guru. Guru tidak hanya menata ruang kelas. Guru mendalami bahan ajar. Guru membuat catatan. Guru menjawab pertanyaan muridnya.
Begitu pula sejatinya sebuah taman bacaan. Pengelola adalah teladan. Ia menyalakan lentera. Ia menyalakan lilin kecil di pikiran banyak orang.
Coba bayangkan seorang pengelola taman bacaan yang tidak membaca. Ia hanya membuka pintu. Menerima tamu. Menawarkan kopi. Lalu menutup pintu.
Apa bedanya dengan ruang kosong? Apa bedanya dengan gudang buku?
Taman bacaan harus hidup. Dan hidupnya dimulai dari pengelolanya. Bukan dari tumpukan buku semata.
Membaca adalah awal. Menulis adalah tindak lanjut. Kalau pengelola membaca buku pertanian, ia menulis modul sederhana. Ia menuliskan cara membuat pupuk organik. Ia menuliskan ringkasan cara menanam cabai rawit. Ia menuliskan cara menjual hasil panen ke kota.
Masyarakat butuh bacaan yang dekat dengan masalah mereka. Kadang buku-buku sumbangan terlalu teoretis. Bahasanya kaku. Contoh-contoh yang dipaparkan terlalu jauh.
Di sinilah peran pengelola taman bacaan. Ia menulis ulang dengan bahasa masyarakatnya. Ia menulis dengan perumpamaan lokal. Ia bercerita dengan masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.
Di kampung nelayan, pegiat taman bacaan menulis cara merawat pukat/jaring, misalnya. Cara membuat pakan alternatif. Cara memasarkan ikan segar secara online.
Di desa wisata, pengelola menulis buku saku tentang homestay. Menulis cara menjamu tamu. Menulis kisah sukses warga yang punya pondok wisata.
Di desa pertanian, pengurus taman bacaan menulis tentang kiat budidaya jamur tiram. Cara mengolah pupuk organik. Membuat catatan panduan membangun jenama dan jualan memanfaatkan media sosial.
Semua bermula dari membaca. Semua berbuah pada menulis. Buku bukan hanya dibaca untuk diri sendiri. Buku dibaca untuk dibagikan kembali.
Jangan sampai pegiat taman bacaan lebih sibuk berfoto dengan buku baru. Mengunggah ke media sosial. Memamerkan donasi. Tapi tak satu pun buku ia baca. Tak satu pun catatan ia tulis.
Anak-anak melihat itu. Orang tua melihat itu. Mereka meniru. Kalau pengelolanya malas membaca, mengapa warga harus rajin membaca? Pengelola taman bacaan yang membaca tercermin dari gagasan-gagasan yang ia tuliskan, meski ia hanya menulis di media sosial, misalnya.
Membangun taman bacaan bukan hanya menumpuk buku. Bukan hanya mengejar donasi. Bukan hanya mencari rak-rak kayu. Yang lebih penting adalah roh. Roh itu adalah pengelola yang haus membaca. Yang gemar menulis. Yang membagikan pengetahuan dengan cara sederhana. Yang mengajak warga bukan dengan kata, tetapi dengan perbuatan nyata.
Di banyak tempat, saya melihat taman bacaan yang hidup, karena pengelolanya menulis buku cerita anak. Menulis buku sejarah desanya. Menulis kumpulan puisi. Menulis memoar petani atau pegiat desa wisata. Menulis catatan harian anak-anak yang belajar di sana.
Taman bacaan jadi ruang berkarya. Anak-anak belajar menulis. Ibu-ibu menulis resep masakan. Pemuda menulis bidang-bidang yang mereka tekuni.
Semua itu tidak lahir begitu saja. Semua karena ada teladan. Pengelola taman bacaan harus lebih dulu melakukannya. Dia adalah teladan itu sendiri.
Kadang kita terlalu sibuk memburu donasi. Lupa merawat yang sudah ada. Buku tak akan berjalan sendiri. Buku butuh tangan. Buku butuh suara. Buku butuh pena.
Buku-buku itu ingin dibaca. Buku-buku itu ingin dilahirkan kembali dalam bentuk tulisan-tulisan baru. Tulisan yang lahir dari pengalaman lokal. Tulisan yang lahir dari pikiran jernih.
Kelak, dari tulisan itu, taman bacaan punya warisan. Bukan hanya rak yang penuh. Tetapi pikiran yang mekar.
Taman bacaan yang hidup adalah taman bacaan yang menulis. Taman bacaan yang menulis adalah taman bacaan yang membaca.
Jadi, setelah banyak buku, mau apa lagi? Jawabannya sederhana. Baca. Tulis. Dan ajaklah orang lain melakukan hal yang sama.
Begitulah taman bacaan terus bernapas. Bukan karena buku-buku berdebu di rak kayu. Tetapi karena pikiran-pikiran baru lahir setiap waktu.
Kelak, di masa depan, generasi yang tumbuh di taman bacaan akan berkata, “Kami tak hanya membaca buku di rak tua. Kami menulis cerita kami sendiri.”
Dan, cerita itu, tak akan pernah habis karena terus ditulis. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah











