Oleh Khairani Piliang

DIA berjalan melintasi pematang sawah. Sandal jepit beda sebelah terseok-seok mengikuti langkah kaki pemiliknya yang terburu-buru. Hari sudah hampir petang, dan dia harus mengantarkan buku ini sebelum sesuatu menyerangnya dengan petasan mercon yang keluar dari suara cempreng pemiliknya. Sedikit lagi hampir sampai. Namun nahas, kakinya menginjak segumpal lumpur yang licin. Dia pun terpeleset lalu jatuh ke sawah.

Dia berusaha mengangkat buku setinggi mungkin agar tak jatuh, tapi tetap saja cipratan air lumpur mengenainya. Meski sudah bangkit perlahan, namun baju dan tubuhnya menjadi hitam semua. Buku yang kini ada di genggaman juga tak luput. Dia mulai terisak, bingung harus bagaimana menghadapi petasan si pemilik buku yang pasti sebentar lagi akan berubah menjadi bom siap meledak. Harun pasti tak akan membiarkannya lolos begitu saja tanpa menghajarnya terlebih dahulu dengan kata-kata.

*

GADIS lugu dengan rambut sebahu yang kerap dikuncir satu itu begitu gembira. Wajahnya semringah setelah melihat namanya terpampang di urutan teratas, bersama deretan teman-teman yang dinyatakan lulus. Dia terlonjak girang, tapi sedetik kemudian terpaku dengan mulut terkunci. Beberapa teman sudah berencana untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, sedangkan dia, apa yang akan diperbuat setelah ini? Apa harus membantu Ambu menjual kue-kue, seperti yang dilakoninya selama ini. Atau ikut bersama Abak ke sawah? Beribu pikiran berkecamuk dalam benaknya. Namun, belum ada yang mencapai titik di mana dia bisa menemukan jawaban.

“Selamat ya, akhirnya namaku di bawah namamu,” ucap Harun tulus sembari menjabat tangan Runi.

Selama ini, prestasi mereka selalu berimbang, bergantian menduduki urutan teratas. Belum ada yang bisa menggeser, bahkan sampai garis finish. Dan, pada akhirnya, Runilah yang memenangkan persaingan sehat di antara mereka.

“Iya Har, terima kasih,” sahut Runi menyambut uluran tangan Harun tanpa gairah sedikit pun.

“Aku duluan,” lanjutnya lalu melangkah pulang dengan gontai, menyisakan tanda tanya di wajah Harun. Ingin rasanya dia tetap berada di sekolah itu dan tidak mendapati namanya tercantum di sana. Tapi itu tak mungkin, karena semua harus berjalan semestinya. Apalagi dia juga tak ingin mengecewakan kedua orang tuanya.

Sejak kelulusan, Runi sekarang lebih banyak melamun, keceriaannya seakan lenyap seketika. Sesekali dia membantu Ambunya menjajakan kue ke sekolah-sekolah di desa itu, menitipkan di warung-warung langganan, kadang membawa ke balai desa kalau kue masih belum habis. Sebagian tetangga merasa miris mengingat prestasi sekolah Runi yang terbilang luar biasa dan selalu jadi murid terbaik di sekolahnya selama ini.

*

SETAHUN berlalu.

Suatu pagi usai menitipkan kue-kue, Runi akan ke pasar untuk berbelanja keperluan dagang Ambu besok. Namun, tiba-tiba saja, Abak dan Ambu memanggilnya.

“Runi, duduk sini. Ambu dan Abak mau ngomong.”

“Ada apa, Ambu?” Keningnya mengernyit bingung.

“Jadi begini, Ambu dan Abak sudah memikirkan. Kebetulan juga ada tawaran. Kemarin Anah datang dari kota, dia minta izin kepada Ambu dan Abak untuk mengajakmu ikut ke kota. Ambu bersama Abak rela, itu pun kalau kamu mau. Bagaimana?”

“Iya, Ambu, Runi mau,” katanya tanpa pikir panjang.

Sesungging senyum mulai memulas di bibir. Terbayang akan hilangnya kejenuhan yang selama ini masih melekat di hari-harinya.

“Lalu, Runi harus bagaimana di sana nanti?” Pertanyaan polos terlontar di mulutnya.

“Mungkin nanti mamangnya Anah yang akan mencarikan pekerjaan untukmu. Kamu ikhlas kan nak bekerja di kota?” Ambu memberi penjelasan, sementara Abak hanya mengangguk-angguk saja tanda setuju.

“Iya, Ambu. Runi setuju.”

Mimpi-mimpi pun mulai beterbangan seperti kupu-kupu yang sibuk memilih bunga. Sebersit pelangi mengukir di pancaran bola matanya. Senyum itu juga semakin mengembang serupa kuncup mawar yang merekah. Hari-hari akan penuh warna dalam bayangannya.

Selang tak lama, Runi pun berangkat ke kota bersama Anah juga mamangnya. Ambu dan Abak hanya bisa melepas gadis bontotnya dengan mata menganaksungai. Sebenarnya sulit bagi mereka melepas Runi ke kota, dan hanya menitipkan pada kerabat jauh saja. Apalagi tinggal Runi sendiri yang berada di rumah bersama mereka. Sejak kakaknya Ratna menikah dan diboyong suaminya ke kota lain, mereka merasa hanya Runi satu-satunya tempat bersandar.

Ratna bukan tak ingin membawa adiknya ikut tinggal bersama, tapi Ambu dan Abak yang tak mengizinkan. Semua disebabkan oleh karena kondisi kakak Runi yang hanya menjadi istri ketiga dari suaminya. Kadang kehidupan rumah tangganya juga kerap mengalami konflik yang tak berkesudahan. Ditambah lagi cekcok sama anak dari istri tertua yang sibuk memperebutkan harta. Runi sampai-sampai pernah berpikir tak akan menikah karena tak tahan melihat penderitaan kakaknya. Tapi Ambu selalu menasihati, mengatakan kalau nasib orang itu tidak sama. Rezeki kakaknya belum tentu sama dengan Runi kelak, begitu juga kehidupan mereka. Dan Runi selalu mendengarkan perkataan Ambu.

Hari ini tepat setahun sudah Runi berada di ibu kota. Tak banyak yang berubah dari gadis desa polos itu. Rambut hitam legam masih setia dengan kuncir satunya, cara berpakaian, senyum di bibir tipis, dan tak lupa lesung pipi yang menempel di pipi kiri seakan ingin menunjukkan diri ketika dia sedang tersenyum. Runi yang sehari-hari bekerja sebagai penjaga toko salah satu pasar swalayan di ibu kota, sudah merasa cukup puas dengan kehidupan saat ini, walau terkadang terbersit di pikiran untuk bisa meningkatkan taraf hidup lebih baik lagi kelak. Tapi saat ini dia tidak bisa berbuat banyak selain mensyukuri apa yang sudah ada, sebab pendidikan formal tak mendukung persyaratan untuk bisa bekerja di tempat yang lebih layak lagi.

*

SUATU sore di hari Minggu, sepasang suami istri muda tampak memasuki toko tempat Runi bekerja. Seperti biasa, justru pada saat hari libur begini Runi malah masuk kerja, sebab toko sedang ramai pengunjung. Ada yang aneh dari pasangan tersebut, mereka kelihatan sedang bertengkar. Tergambar dari mimik wajah sang istri yang murung dan suami yang terlihat tegang.

“Tolong beri apa yang istri saya butuhkan!” Suaranya terdengar dingin dengan raut wajah tak bersahabat. Sebenarnya wajahnya cukup menarik, dengan rahang sekokoh karang, sorot mata tajam yang dipertegas dengan alis tebal. Runi sempat berpikir kalau lelaki seperti ini adalah tipe lelaki idamannya. Tapi cepat ia tepis pikiran itu, dan kembali ke realita.

“Silakan dipilih, Bu,” lanjut Runi mempersilakan kepada wanita itu.

“Sudah kubilang aku enggak mau, kenapa kau tetap saja memaksa?” Wanita itu terlihat meradang kepada suaminya. “Kau tahu kan apa yang aku mau?” Matanya mulai berkaca-kaca.

Sang suami seperti habis kesabaran menghadapi sang istri. Tanpa pikir panjang dia langsung menyeret lengan istrinya ke luar dari toko itu. Terdengar oleh Runi umpatan dan kata-kata kasar yang terlontar dari mulut lelaki itu, sampai mereka hilang dengan mobil yang membawa mereka datang tadi. Runi hanya bisa melongo menyaksikan kejadian barusan, dan tak bisa berbuat apa-apa.

Tiga hari kemudian, tanpa diduga, lelaki kemarin datang kembali ke toko tempat Runi bekerja. Tapi kali ini dia datang sendiri, tidak dengan istrinya. Runi menyambut dengan senyum lebar calon customernya itu. Dia sedikit takut untuk berbasa-basi, sebab masih trauma dengan kejadian yang dia saksikan kemarin.

“Apa Anda punya waktu untuk berbincang sebentar?” Lelaki itu menyapa.

“Saya masih bekerja, Pak, dilarang untuk berbicara kepada customer kecuali urusan jual beli, mohon maaf.” Runi menyatukan dua tangan di dada tanda permohonan maaf.

“Jam berapa Anda selesai?”

“Masih sekitar satu jam lagi,” Runi masih bingung, apa mau costumernya ini.

“Oke, saya tunggu di mobil ya,” katanya sambil berlalu keluar dari toko.

Selesai jam kerja, Runi pun menyusul lelaki itu ke mobil. Dia membukakan pintu mobil lalu menyuruh Runi masuk ke dalamnya. Tak lama mereka sudah meluncur di jalan raya.

“Oh ya, sebelumnya kenalkan, saya Revan sahabat bosmu Frans. Kamu Runi, kan?” Runi hanya bisa mengangguk. Di kepalanya masih bertengger ribuan tanda tanya tentang lelaki ini.

“Tidak perlu panjang lebar lagi, saya ingin tanya, apa kamu bersedia melahirkan anak untuk saya dan istri? Saya akan membayar seberapa pun kamu minta. Kamu tak perlu menjawab sekarang, saya beri waktu seminggu untuk pertanyaan ini. Kabari jika kamu siap ya.”

Runi tercekat, mulut dan matanya membulat tak bisa berkata-kata. Tawaran ini sangat mengejutkan dan membuatnya hampir pingsan.

“Sa… sa… saya…?”

“Sudah saya katakan, kamu cukup pikirkan, saya akan tunggu jawaban Anda.”

*

PERNIKAHAN digelar dengan sederhana di sebuah masjid besar. Tak banyak yang hadir, tapi keluarga inti Runi lengkap di sana. Ambu, Abak dan juga kakaknya, Ratna. Runi sangat cantik dan anggun dengan kebaya berwarna putih. Di sampingnya tampak lelaki tampan yang akan mendampinginya beberapa waktu ke depan selama kontrak pernikahan berlangsung, lebih tepatnya sampai Runi bisa memberikan seorang bayi mungil untuknya dan sang istri. Runi akhirnya menyetujui pernikahan ini, dengan berbagai pertimbangan dan alasan.

*

SETAHUN kemudian.

Runi mondar-mandir di ruang persalinan. Sesekali wajahnya terlihat meringis kesakitan. Beberapa anggota keluarga sedang menunggu di luar dengan hati digelayuti rasa cemas, terutama Fay, istri Revan. Dia yang selama ini begitu setia medampingi dan menjaga Runi dengan penuh kesabaran. Rahimnya yang tak bisa memberikan anak untuk suami dan keluarga, paska diangkat sejak lima tahun hitungan pernikahan mereka akibat kecelakaan, merasa bahagia ketika keinginannya terlaksana satu demi satu.

“Tinggal menunggu Revan yang sedang dalam perjalanan dari Lombok,” gumamnya. Tak henti dia melihat jam di pergelangan tangannya.

“Sudah tiga jam lebih kamu flight, Beb. Tapi kok belum ngabarin?” Wajahnya terlihat sedikit cemas.

“Sabar, Sayang. Sebentar lagi Revan juga hadir di sini, dan akan menyaksikan kehadiran putranya.” Mamanya tampak menenangkan Fay yang gelisah sejak tadi.

Dua jam kemudian, seorang dokter keluar dari ruang persalinan mengabarkan dua berita bertentangan. Bayi laki-laki mereka lahir selamat dan sehat, tapi ibunya mengalami perdarahan akibat kontraksi rahim yang kurang baik, sehingga dia kehilangan banyak darah. Dan dokter meminta anggota keluarga untuk bisa mendonorkan darah segera. Ambu hampir saja pigsan mendengar berita tersebut. Ratna sedari tadi tampak lebih tenang, dengan sigap menawarkan diri. Dokter segera membawanya masuk ruang persalinan. Detik demi detik sangat menegangkan bagi mereka. Wajah bahagia karena kedatangan anggota keluarga baru tersebut, masih diselimuti kecemasan, apalagi Revan yang tak kunjung ada kabar, dengan ponsel masih belum aktif.

*

HARI ini adalah hari ketiga paska berkabung keluarga Seruni dan Revan.

Tampak Fay menggendong seorang bayi laki-laki dengan mata sembab dan basah, di balik kacamata hitamnya. Dia berlutut di antara dua pusara yang bertuliskan masing-masing nama Seruni dan Revan. Seruni tak bisa tertolong nyawanya akibat perdarahan paska persalinan, dan Revan yang mengalami kecelakaan pesawat dari Lombok menuju Jakarta. Ternyata takdir berkata lain, segala apa yang telah direncanakan, adalah Tuhan juga penentu segalanya.

Seruni, kisah ini tak akan habis, meski telah diselesaikan oleh takdir. (*)

Khairani Piliang, penulis berdarah Minang, lahir di Medan, besar di Rantau Prapat, dan kini menetap di Jakarta. Ia aktif di dunia literasi dengan menulis berbagai karya, termasuk buku antologi bersama, baik cerpen maupun puisi. Kumpulan cerpen solo pertamanya, Suatu Pagi di Dermaga (2017), mendapat perhatian pembaca. Beberapa karyanya, baik cerpen maupun puisi, juga telah dipublikasikan di berbagai koran dan media online.

Penulis: Khairani Piliang

Editor: Muhammad Subhan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan