Oleh Ai Umay Nurjanah
15 Februari 2024
Malam semakin larut, aku menatap nanar pada jam dinding yang tergantung di atas lukisan bergambar burung merpati, lukisan kesukaanmu yang diberikan oleh seorang teman dekat sebagai kado pernikahan kita dulu. Hmmm… sudah hampir pukul sebelas malam rupanya, namun mataku tak jua hendak terpejam. Ada rasa perih di ujung hati yang membuat mataku ikut merasakan luka. Hingga malam ini aku terjaga. Ah, betapa susahnya jadi lelaki tak berguna. Kenyataan ternyata lebih keras dan pahit dari bayangan ketika kita merajut cinta di awal pernikahan dulu.
Masih tergambar jelas dalam setiap relung ingatanku selama dua tahun terakhir ini, bagaimana roman mukamu saat menyambutku setiap hari pulang dari kerja.
“Bagaimana, Mas, kau dapat uang berapa hari ini?”
Ah… Seruni, istriku. Tidakkah kamu tahu, pertanyaan yang kau lontarkan setiap hari itu selalu menusuk tajam ke ulu hati. Belum sempat aku melepaskan sepasang sepatu hitam yang melekat di kedua kaki, kau sudah mencecarku dengan pertanyaan menyakitkan itu, diiringi dengan muka masammu. Ke manakah wajah ayumu yang dulu kusuka itu, Seruni?
Aku tahu, Seruni. Tak bisa kutepati janjiku ‘tuk membahagiakanmu. Seperti yang telah kuikrarkan dalam ikatan suci di depan Illahi. Tapi tidakkah kau mengerti, Seruni, betapa perih hati ini saat aku tak bisa memenuhi inginmu. Aku yang hanya seorang pegawai swasta di sebuah perusahaan kecil, tak mampu memberikanmu kebahagiaan materi yang melimpah. Kau juga tahu, bukan? Apalah yang bisa kulakukan dengan gajiku yang tidak seberapa ini.
Aku malu, Seruni. Malu. Aku malu atas ketidakberdayaanku sebagai seorang lelaki. Setiap kali kau menyuruhku melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah, aku selalu menjalaninya dengan ikhlas. Aku tahu, Seruni, kau pasti merasa lelah setelah seharian duduk memandangi layar komputer dan melayani semua nasabah yang datang di salah satu bank ternama. Namun, entah kenapa. Meski aku sudah mencoba melakukan hal terbaik untukmu, di matamu tetap saja semua pekerjaanku salah.
“Mas ini bagaimana, sih? Bisa kerja, tidak?! Lihat gelas ini, Mas, masih ada sisa sabunnya! Huh, kerja begitu saja tidak becus!!” katamu dengan suara yang hampir memekakkan telinga. Aku hanya terdiam membisu. Tak mampu menjawab. Karena kutahu, Seruni, jika kujawab, marahmu akan semakin membuncah.
“Tuh, kan? Mas memang tak punya nyali. Kau tak bisa membela diri. Bagaimana kau bisa dihormati dan dapat promosi?” katamu waktu itu dengan mulut bersungut-sungut.
Menurutmu apalagi yang bisa kulakukan, Seruni, selain bersabar? Bersabar menghadapi semua ucapan yang keluar dari bibirmu yang manis itu. Meski dari hari ke hari luka hatiku kian lebar menganga, diguyur oleh untaian kata-katamu yang teramat pedih dan menyakitkan.
Malam semakin larut. Hawa dingin menelisik lembut lewat sela-sela ventilasi kamar. Aku masih tetap terjaga. Kudengar jam besar yang tergantung di ruang depan sudah berdentang dua belas kali. Membuatku terkesima betapa waktu telah cepat berlalu. Sama halnya dengan waktu yang telah merangkulku dalam pernikahan selama lima tahun denganmu. Ah, Seruni, apakah waktu tidak cukup untuk menyadarkan kita bahwa sebenarnya kita sama-sama pernah mereguk bahagia?
Pernah suatu hari demam tinggi melumat sekujur tubuhku tanpa ampun. Aku merasakan sakit yang luar biasa, Seruni, di sekujur tubuhku. Tapi kau sepertinya tak peduli. Kau justru memintaku untuk mengerjakan ini-itu. Tahukah kau, Seruni, harga diriku sebagai laki-laki sungguh terluka. Aku tahu, gaji yang kau dapatkan setiap bulan lebih besar dariku. Tapi harus seperti inikah kini sikapmu padaku? Aku telah lama mencoba bersabar dan menahan diri. Tapi sampai kapan? Di relung hatiku, kau tahu, bukan? Sesungguhnya aku sangat mencintaimu. Terlebih lagi pada Naura, putri kecil semata wayang kita. Jangan kau ragukan rasa sayangku padanya. Hanya saja, hatiku merasa perih kala mengetahui kau tak lagi bahagia hidup bersamaku. Kini, izinkan aku pergi dari kehidupanmu dan kau pun kuizinkan bebas memilih kehidupanmu, agar kau dapat menuju pada arti kebahagiaan yang kau inginkan.
Salam sayangku untukmu,
Mas Pram
*
15 Februari 2025
Hari ini, sudah hampir ratusan kali Seruni membaca surat yang telah dibuat Mas Pram. Tepat sudah satu tahun sejak Mas Pram meninggalkan surat itu di atas meja riasny. Dan memutuskan untuk berpisah. Kini, air matanya tak berhenti berlinang ketika membaca kembali surat itu. Tangannya bergetar. Betapa ia sangat merindukan sosok tampan nan tegap namun sederhana itu. Butuh waktu lama bagi Seruni untuk memaknai arti kebahagiaan. Ia pikir, ia akan bahagia jika punya materi melimpah. Terlebih saat ia menginjakkan kaki di kota besar seperti Jakarta. Apalagi setelah ia diterima bekerja di sebuah bank ternama dan melihat gaya hidup mewah rekan-rekannya, Seruni tak mampu membendung keinginannya untuk bisa merasakan kehidupan seperti mereka. Keinginan tersebut akhirnya mengantarkan Seruni hingga berpisah dengan Mas Pram.
Setelah berpisah dengan Mas Pram, Seruni tak menunggu waktu lama untuk kembali menikah ketika datang lamaran dari seorang pengusaha batu bara yang tampan dan kaya. Mas Galih namanya. Meski perkenalan mereka masih relatif singkat, Seruni merasa senang karena ia dilimpahi berbagai hadiah mahal dan tinggal di perumahan elite. Tapi kini ia sadar, hatinya telah benar-benar menjadi kosong dan hampa. Ternyata bukan hanya sekadar materi yang bisa membuatnya dapat mereguk bahagia. Namun, yang paling penting dari itu semua adalah rasa cinta dan sayang dari orang terkasih.
“Nyonya… Nyonya. Sarapan pagi sudah Bibi siapkan. Cepatlah turun sebelum Tuan datang.” Suara berat Bi Minah menyadarkan Seruni dari lamunan. Surat dari Mas Pram masih ia genggam erat di tangan. Warnanya sudah mulai menguning dan tampak lusuh. Beberapa bagian menjadi basah karena air mata. Dengan perlahan, ia usap matanya yang sembab. Ya, Bi Minah betul. Ia harus segera beranjak dari tempat tidur sebelum Mas Galih datang. Merias diri secantik mungkin agar dapat menyenangkan hatinya. Meskipun ia tahu itu takkan mengubah apa-apa. Toh ia yakin, Mas Galih datang ke rumah hanya sekadar mampir sebentar. Setelah itu, ia berangkat lagi pergi ke kantor dan menghabiskan waktunya di luar rumah. Seruni pun tak tahu apakah suaminya telah menikah lagi atau tidak. Karena setiap kali ia bertanya, bukan jawaban yang ia dapatkan. Namun cacian dan hinaan yang mengiris kalbu.
“Kau tak perlu tahu ke mana aku pergi. Dan tak perlu ikut campur urusanku. Sudah untung kau kunikahi padahal kau hanya seorang janda. Nikmati saja apa yang kuberi. Paham kau?” Kata-kata itu selalu terngiang menyakitkan di telinga Seruni. Ya, setelah menikah dengan Mas Galih, ia memang dilimpahi kesenangan materi yang lebih. Tapi untuk apa, jika Mas Galih lebih senang berada di luar daripada di rumah.
“Ah, Mas Pram, mungkinkah ini hukuman dari Tuhan karena aku sering menyakitimu dulu?” batin Seruni, membuatnya menjadi bertambah lara.
Seruni hanya menatap kosong piring yang berisikan nasi goreng kesukaannya. Sungguh ia tidak berselera makan. Lama ia menunggu kehadiran Mas Galih di meja makan itu, namun yang ditunggu tak kunjung datang. Ya, seperti hari-hari sebelumnya. Mungkin Mas Galih sedang berada di luar kota. Toh, meskipun Seruni mencoba menelepon atau menanyakannya lewat pesan WhatsApp, tak pernah ada balasan. Setelah tiga bulan menikah, ia sungguh merasa tidak pernah dicintai lagi. Mendadak ia teringat lagi pada Mas Pram dan Naura, putri kecilnya.
*
Rumah itu terlihat asri dengan berbagai macam bunga di halaman. Pot-pot besar berisi tumbuhan hijau berjejer rapi di depan teras. Menambah keindahan dan kesejukan rumah tersebut. Sebuah mobil terparkir di pintu garasi. Sepeda kecil berwarna pink ikut terparkir di sana. Ah, itu pasti sepeda Naura, batin Seruni. Sudah hampir satu jam Seruni duduk di belakang kemudi mobilnya, menatap nanar rumah asri tersebut. Ia sangat merindukan Naura, ia pun merindukan sosok Mas Pram. Namun ia ragu, apakah kehadirannya akan diterima setelah semua yang terjadi? Kejadian Naura yang merengek ingin tinggal bersama Mas Pram karena merasa tidak betah tinggal bersamanya di perumahan elite tanpa teman, membuat hubungannya dengan Mas Pram kurang harmonis. Meski ia tahu, hati Mas Pram seluas samudra, selalu memaafkan apa pun yang pernah ia katakan dan lakukan. Namun, karena itulah ia merasa malu dan mengutuk dirinya. Kenapa baru sekarang ia menyadari hal itu, setelah ia jadi istri dari laki-laki lain.
“Bunda….” Suara mungil dan ketukan ringan di kaca mobil menyadarkan Seruni dari lamunannya. Kemunculan sosok gadis kecil yang cantik dan lucu dengan pakaian berwarna biru polkadot membuat sudut bibirnya melukis senyum. Dengan hati riang Seruni membuka pintu. Namun ia kaget, di sebelah Naura berdiri dengan tegap sosok Mas Pram. Seperti biasa, laki-laki itu melempar senyumnya yang hangat. Seruni menelan ludah. Dengan kaget dan bercampur malu, ia membalas senyuman itu.
“Sudah lama di sini?”
“Oh, ya… eh tidak. Aku baru saja sampai,” jawab Seruni tergagap. Di tengah kegugupannya, ia meraih tangan Naura dan memangkunya. Hal tersebut membuat Seruni merasa sedikit tenang. Kemudian Naura mencium pipinya dengan lembut. Ia merasa kaget, Seruni pun balik menciumi putri semata wayangnya. Ia tidak bisa menahan bulir-bulir air mata yang telah menggenang di sudut matanya. Melihat hal itu, Mas Pram terdiam. Dengan perlahan ia membimbing Seruni bersama putrinya untuk segera masuk ke dalam rumah.
“Mau minum apa?”
“Oh, tidak usah repot, Mas. Terima kasih,” jawab Seruni terkesan kaku. Kegugupannya terlihat jelas oleh Mas Pram. Akhirnya, Mas Pram masuk ke ruangan lain untuk mengambil minuman. Seruni menarik napas berat. Matanya melihat sekeliling ruang tamu, beberapa foto Mas Pram dan Naura menghiasi dinding. Sebuah lukisan besar bergambar pemandangan desa yang indah ikut menemani foto-foto tersebut. Dengan perlahan ia membetulkan posisi duduknya. Naura masih menggelayut di lengan kanannya. Seruni tersenyum lembut dan mengusap rambut panjang putrinya. Hal itu membuatnya merasa nyaman dan tenang.
“Bunda, ke mana saja. Kenapa baru datang lihat Naura. Naura kangen sama Bunda.” Naura berkata setengah berbisik di telinga Seruni. Seruni kaget, ia tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu.
“Maafkan Bunda, Sayang. Bunda sangat sibuk.” Seruni menjawab hati-hati. Pertanyaan putrinya telah menimbulkan rasa sakit yang menusuk di dada. Ya, ke mana saja aku selama ini? batin Seruni. Ia ingat-ingat kembali apa yang telah ia lakukan setahun terakhir. Yang ia ingat, ia hanya sibuk dengan kehidupan barunya bersama Mas Galih. Dilimpahi berbagai kenyamanan dan kemewahan. Di rumah segala kebutuhan sudah disediakan oleh Bi Minah, asisten rumah tangganya. Ia tak perlu repot-repot mencuci piring dan membereskan rumah. Hidup sebagai nyonya besar.
Ia memang tak pernah menjenguk Naura, setelah Naura nangis-nangis minta tinggal bersama Mas Pram. Hal tersebut membuat Seruni marah. Ia merasa Naura lebih menyayangi Mas Pram dibanding dirinya. Padahal, Seruni tahu Naura tidak betah bukan karena tidak menyayanginya. Naura merasa kesepian di rumah besar yang Seruni tinggali bersama Mas Galih. Meskipun hak asuh berada di tangan Seruni, ketika Naura sakit sambil mengigau nama Mas Pram akhirnya Seruni merelakan putrinya pergi. Perasaan Seruni yang hancur, telah membuat ia enggan menengok keadaan Naura kembali. Hal inilah yang kini ia sesali. Ia telah berlaku egois terhadap putri kecilnya.
“Sekali lagi maafkan Bunda, ya, Sayang,” bisik Seruni dengan nada lirih sambil memeluk Naura dengan erat dan menciumi pipinya. “Tidak apa-apa, Bunda. Naura sayang Bunda.” Mendengar hal itu ada rasa hangat yang menjalar di sekujur tubuhnya, ia tak bisa membendung rasa senang dan bahagia yang hinggap di hati. Namun, tiba-tiba matanya beradu pada tumpukan undangan pernikahan berwarna krem dengan tulisan warna emas di tengahnya yang sedari tadi tanpa ia sadari menumpuk di atas meja. Karena penasaran, ia raih surat undangan tersebut dan membaca tulisan di dalamnya. Tiba-tiba tangan Seruni bergetar. Tubuhnya lemas dan lunglai. Dadanya serasa remuk dihantam godam. Mendadak ia merasakan pusing yang teramat sangat, berputar-putar, dan akhirnya menjadi gelap.
Maha Suci Allah Swt.
yang telah menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan
Ya Allah, perkenankanlah kami menikahkan putra-putri kami:
Pramudya Ernest, S.T
&
Aulia Sarah, S.Pd.
[]
Ai Umay Nurjanah. Lahir di Garut, Jawa Barat. Saat ini mengajar di SMAN 1 Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Cabang Dinas Pendidikan Wilayah V Jawa Barat. Sebagai penikmat tulisan, ia sangat menyukai membaca puisi dan cerpen. Cerpennya yang berjudul “Siluet Perempuan Perkasa” pernah dimuat menjadi salah satu kumpulan cerpen yang diterbitkan oleh Depdiknas. Karya-karya puisinya terkumpul dalam antologi puisi yang berjudul Pelangi Literasi Puisi, karya bersama Komunitas Penggerak Literasi dan pada tahun 2024, kumpulan puisi solonya berjudul Simfoni Hati.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Ai Umay Nurjanah
Editor: Anita Aisyah
Kereen bngeet cerpen2 Bu AinUmay ini.. luaar biasaa, trus berkarya y Bu ..