Oleh Ilhamdi Sulaiman
DARI rumahnya di Jalan Kartini, Depok Lama, Sandy bersiap mengunjungi bibinya tercinta di Bogor. Hari itu langit mendung sejak pagi, tapi tekad Sandy tak surut. Ia tahu betul, Bogor kerap diguyur hujan, itulah sebabnya ia sudah membawa jas hujan dari rumah.
Benar saja, begitu tiba di Stasiun Bogor, hujan turun deras. Dengan jas hujan yang melekat di tubuh, Sandy melangkah perlahan menuju rumah Tante Aneke. Rumah itu tak jauh dari Hotel Salak, tepat di samping Kantor Walikota, tempat yang selalu memberi Sandy rasa hangat setiap kali berkunjung.
Kunjungan kali ini berbeda. Sandy datang bukan hanya untuk bersilaturahmi, melainkan untuk berpamitan. Dua hari lagi, ia akan terbang ke Belanda, memulai lembaran baru dalam hidupnya—kuliah S-2 di bidang Ilmu Sejarah. Di balik langkahnya yang basah oleh hujan, ada perasaan haru yang sulit disembunyikan.
Tante Aneke, satu-satunya penghuni rumah warisan zaman kolonial itu. Tubuhnya kurus, rambutnya perak kusut, namun sorot matanya tajam seperti mengiris waktu. Ia mempersilakan Sandy, ponakannya, masuk ke ruang tamu, dan di sanalah mata Sandy terpaku pada sebuah sepeda ontel hitam kusam dengan stang melengkung dan roda besar.
“Sepeda Fongers,” gumam Sandy, mendekat dan menyentuh sadel kulit yang berdebu.
“Tante, kakek Sandy hebat ya… bisa punya sepeda zaman Belanda,” pancing Sandy pelan, mencoba membuka percakapan dengan bibinya soal sepeda ontel tua yang terparkir di sudut ruang.
Tante Aneke terdiam. Pandangannya jatuh pada lantai, napasnya terasa berat. Pertanyaan itu seperti membuka pintu kenangan yang selama ini sengaja ia kunci. Ia hanya bergumam lirih.
“Kakekmu tercatat dalam dua sejarah,” katanya akhirnya. “Satu di arsip Kolonial Belanda, satu lagi dalam catatan bangsa kita sendiri.”
“O, ya?” sahut Sandy penasaran. Ia melirik kotak cokelat tua di samping sepeda. Tangannya bergerak ingin membukanya.
“Jangan, Sandy!” sergah Tante Aneke cepat, merebut kotak itu dari tangannya. “Biarlah isinya tetap di sana… bersama luka masa lalu bangsa.”
Sandy mengerutkan kening. Bibinya menatap kotak itu lama, lalu berkata pelan, “Nama lengkap kakekmu: Willem Atmo Karta Sasmitra. Nama ‘Karta’ itu bukan dari leluhur kita… itu pemberian Belanda. Ia menikahi seorang noni Belanda, Ingrid van Vollen. Putri amtenar yang dulu ditempatkan di Batavia.”
Sandy termenung. Nama itu terdengar terlalu resmi, terlalu ‘asing’. “Sebegitu pentingkah kakek bagi kaum penjajah waktu itu?” pikirnya.
Melihat wajah keponakannya yang penuh tanya, Tante Aneke akhirnya melunak.
“Kalau kamu benar-benar ingin tahu… baiklah. Tapi jangan ceritakan ini pada siapa pun dulu. Orang bisa… salah paham.”
Ia menyerahkan kotak itu kembali. Dengan hati-hati, Sandy membuka tutupnya. Di dalamnya: tumpukan surat berbahasa Belanda, sebuah map bersegel lambang kerajaan, dan sebuah buku catatan kecil berkulit tipis.
Satu surat ia angkat. Di sudut atas, lambang Koninkrijk der Nederlanden masih tampak kokoh meski usang.
“Dari tahun 1928,” ujar Tante Aneke sambil tersenyum pahit.
Sandy membeku. Di benaknya terngiang nama sang kakek. Ia pernah membacanya di buku sejarah—disebut sebagai salah satu pejuang bawah tanah yang mensuplai informasi untuk laskar di Priangan. Tapi… mengapa sepeda hadiah dari Belanda itu bisa begitu terawat dan disimpan di rumah seorang pejuang?
Kereta terakhir dari Bogor pukul 11 malam membawa Sandy pulang. Di dalam KRL, pikirannya terus berkelindan: sepeda tua itu, kotak cokelat, surat-surat Belanda.
Malam itu, Sandy tak bisa tidur. Di kepalanya, rumah tua berarsitektur kolonial dan nama “Willem Atmo Karta Sasmitra” terus memantul-mantul. Sepeda tua itu, seolah menyimpan bukan hanya kenangan—tetapi juga kebenaran yang belum sempat diungkap.
Pagi, ibu Sandy mengetuk pintu kamarnya untuk menyuruh anaknya sarapan dan membereskan administrasi keberangkatan ke kampus UI. Juga ada surat pengantar dari Kedutaan Belanda di Jakarta.
Ibunya menepuk bahu Sandy dengan bangga. “Akhirnya, ya. Kamu berangkat juga. Almarhum Bapak pasti bangga.”
Tapi di benak Sandy, bukan hanya keberangkatan yang berputar. Ia mengingat sepeda itu bukan sekadar warisan. Ia menyimpan sesuatu yang belum selesai.
Saat ojek online membawanya menembus kemacetan Jakarta menuju kawasan Menteng, Sandy memandangi gedung-gedung yang seolah menyimpan sejarah di balik kaca-kaca modernnya. Ia tahu, ia tidak sedang meninggalkan Indonesia dengan ringan. Ada sesuatu yang akan ia bawa. Sesuatu yang barangkali lebih berat dari tesis atau buku-buku kuliah.
Di ruang tunggu Kedutaan, ia disambut petugas berkemeja putih dan berlogat fasih.
“Selamat pagi, Tuan Sandy. Silakan ke Ruang 3 untuk finalisasi dokumen. Paspor dan visa Anda sudah siap. Kami juga ingin memberitahukan bahwa Direktur Arsip Sejarah dari Universitas Leiden ingin bertemu Anda setelah kedatangan nanti.” Petugas itu tersenyum, lebih lanjut mengatakan, “Mungkin Anda bisa tanyakan langsung di Leiden nanti.”
Sandy keluar dari ruangan dengan kepala penuh pertanyaan. Ia menatap paspor barunya, lalu memejamkan mata sejenak. Kota itu, ia tahu. Itu Leiden. Tempat ia akan belajar. Tempat kakeknya mungkin pernah menjadi orang lain.
Musim gugur, Sandy tiba di Leiden dengan angin dan daun-daun kuning kecokelatan yang berjatuhan pelan di sepanjang kanal. Sandy menjejakkan kakinya di kota yang selama ini hanya ia lihat dari brosur kampus dan peta dunia. Tapi kali ini, ia datang bukan hanya sebagai mahasiswa pascasarjana. Keingintahuannya tentang kakeknya lebih dari pada gelar yang akan ia terima nanti.
Hari-hari pertama di Leiden ia habiskan di perpustakaan universitas. Di sela membaca jurnal dan menghadiri orientasi mahasiswa asing, ia mulai mencari. Ia ketik nama “Willem Atmo Karta” di mesin pencarian arsip digital Universitas Leiden. Tak ada hasil pasti, tapi sebuah artikel tahun 1947 dalam bahasa Belanda menarik perhatiannya. Judulnya: “Pertukaran Informasi dengan Kelompok Perlawanan Pribumi”
Sandy membuka dokumen itu. Di paragraf ketiga, matanya terpaku: “…Salah satu informan kunci adalah seorang peranakan Jawa-Belanda dengan nama sandi ‘W.A.K.S’, yang selama masa pendudukan dikenal berpindah-pindah antara Batavia dan daerah Priangan. Ia dilaporkan memiliki akses pada jalur komunikasi gerilya.”
Dua hari kemudian, ia menerima undangan dari Departemen Studi Sejarah Kolonial. Seorang profesor bernama Dr. Anna Versloot mengundangnya ke ruang arsip lama kampus untuk datang ke rumahnya.
Di ruang berbau kertas tua dan kayu lapuk, Dr. Anna menyambutnya dengan hangat.
Ia menyodorkan satu berkas ke Sandy.
“Ini tulisan seorang agen bayangan Belanda yang dulu disusupkan ke Jawa. Tapi kemudian, dia membelot dan menjadi mata-mata ganda.”
Sandy menelan ludah. “Kakek saya?”
“Bisa jadi. Tapi yang menarik, dia menghilang dari catatan sejak 1949. Tidak ada lagi laporan tentangnya. Seolah dia menghapus jejaknya sendiri.”
“Nanti malam datanglah ke alamat ini.” Dr. Anna menyodorkan sebuah alamat yang akan dituju Sandy.
Malam itu, Sandy berdiri di depan sebuah rumah tua di Delft Straat—bangunan bata merah dengan jendela kaca besar. Sekilas tampak biasa, tapi ada sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk pintu kayu tua yang mulai dilumuri lumut. Tiga ketukan.
Pintu terbuka perlahan. Seorang lelaki tua muncul. Umurnya sekitar delapan puluh tahun, dengan mata biru keruh dan suara bergetar.
“Kamu ponakannya Aneke?” tanyanya, menyebut nama tante Sandy yang tinggal di Bogor. Suaranya seperti mencuat dari masa lalu.
“Saya dan Aneke berteman sejak kecil hingga remaja,” ucapnya lirih. “Kami sama-sama jemaat Gereformeerde Kerk di Depok. Pada suatu masa, kakekmu melalui ayahku mendapatkan hadiah sebuah sepeda dari Kerajaan Belanda. Hadiah itu diberikan kerajaan atas jasanya pada kerajaan kami. Namun setelah sepeda berada di rumahnya, tiba-tiba malam hari kakekmu menghilang tak tentu rimbanya.” Cerita lelaki tua, tetangga tante Aneke di Batavia.
Sandy hanya menyimak saja cerita lelaki tua itu dengan pikirannya hanya menduga-duga. “Besok kamu ke sini lagi dan kita akan pergi ke suatu tempat,” pintanya lagi.
“Kemana kita besok, Tuan?” tanya Sandy.
“Datang saja besok, nanti kan kuceritakan semuanya.”
Keesokan harinya, pagi itu dingin menusuk. Kabut tipis masih menyelimuti jalanan sempit di Delft Straat. Sandy datang tepat waktu. Lelaki tua itu sudah menunggu di depan rumah. Mereka berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju sebuah lahan terbuka di tepi hutan kecil. Di sana berdiri sebuah makam tua, dikelilingi pagar besi berkarat. Nisan-nisan berbahasa Belanda berdiri senyap, beberapa hampir tumbang dimakan waktu.
Lelaki tua itu berhenti di depan sebuah nisan yang lebih tidak terawat daripada yang lain.
Di atas batu:
Willem Atmo Karta Sasmitra
1901–1947
Een vriend…
(*)
Gambar ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.
Ilhamdi Sulaiman, prosais, penyair, aktor, menetap di Jakarta.
Penulis: Ilhamdi Sulaiman
Editor: Muhammad Subhan