Oleh Amelia Anggi Parwati
NYHAVN senja itu basah oleh rintik. Lampu-lampu kuning menggantung di sepanjang dermaga, gemetar dalam pantulan air kanal. Suara biola samar terdengar dari ujung jalan, dimainkan seorang lelaki tua dengan jari-jari kaku. Di sana, di antara kursi rotan dan aroma kopi yang menggoda, Elias duduk menanti.
Tujuh tahun. Tujuh musim salju telah datang dan pergi sejak Astrid meninggalkannya di Copenhagen dengan hanya sepucuk surat, basah air mata dan aroma lavender.
“Aku harus kembali ke Skagen. Ibu sakit, dan hatiku, terlalu penuh luka untuk mencintaimu sepenuhnya.”
Elias membaca surat itu seperti membaca puisi yang tak rampung—tiap bait menggantung, menggantungkan harapan yang ia tahu tak akan disambut. Namun, hari itu surat lain datang. Satu kalimat pendek, diketik rapi:
“Kau masih menungguku?”
–A
Dan kini, di antara dingin udara dan aroma kayu basah, Astrid muncul. Mantel wol warna kelabu membalut tubuhnya. Matanya—masih sama. Danau yang beku, tenang di permukaan, menyimpan badai di kedalamannya.
“Elias,” suaranya lirih, nyaris pecah. “Kau masih di sini.”
Elias berdiri. Hening menyelimuti mereka seperti kabut. Ia menatap Astrid seperti menatap lukisan yang sempat ia sangka hilang dari museum hidupnya.
“Aku tidak tahu cara berhenti,” jawab Elias. “Menunggumu sudah jadi kebiasaanku seperti menulis setiap pagi. Seperti kopi hitamku yang pahit.”
Astrid duduk. Tangannya gemetar saat menyentuh cangkir keramik yang masih hangat di meja. “Aku takut kau membenciku.”
“Aku membencimu setiap malam,” Elias menarik napas dalam. “Tapi setiap pagi, aku tetap menulis namamu.”
Astrid tertawa kecil. Tawa itu dulu sering menemaninya menulis. Kadang sebagai jeda, kadang sebagai inspirasi.
“Kau masih menulis?” tanya Astrid, menatapnya lembut.
“Puisi. Tapi sejak kau pergi, puisinya jadi lebih dingin dari salju.”
“Aku membaca beberapa,” Astrid tersenyum getir. “Tentang burung camar yang kehilangan arah pulang. Tentang laut yang menelan surat-surat cinta.”
“Itu tentangmu,” Elias menatap dalam. “Tentang kita. Tentang cinta yang tak tahu arah, tapi juga tak tahu cara tenggelam.”
Astrid menunduk. Angin memetik helaian rambutnya. Di sekeliling mereka, kota berjalan lambat, seperti memberi ruang bagi kenangan.
“Kau tahu kenapa aku kembali?” Tanyanya.
Elias diam. Jantungnya berdetak seperti genderang perang di dalam dada.
“Karena untuk pertama kalinya aku ingin menyelesaikan puisi kita. Bukan dengan air mata. Tapi dengan keberanian.”
“Berani untuk apa?”
“Untuk tinggal. Untuk mencintaimu, meski aku tahu aku rusak.”
Elias memegang tangannya.
“Kita semua rusak, Astrid. Tapi kau, rusakmu indah. Seperti kaca patri gereja tua—retak, tapi memantulkan cahaya yang tak bisa dihasilkan kaca biasa.”
Mata Astrid berkaca. Ia menggenggam tangan Elias lebih erat.
“Maukah kau menulis puisi baru, mulai malam ini?” Bisiknya.
Elias tersenyum. “Denganmu, setiap malam adalah bait pertama.”
Dan di bawah langit kelabu Copenhagen, dua jiwa yang pernah patah akhirnya menemukan rumah, bukan di tempat tapi dalam satu sama lain. Di antara kanal dan kopi pahit, cinta lama yang tertunda akhirnya bernapas kembali.[]
Amelia Anggi Parwati. Berusia 21 tahun, berasal dari Situbondo. Sejak usia remaja, ia telah jatuh cinta pada dunia aksara. Menulis bukan hanya hobi, melainkan cara untuk berdialog dengan dunia, menyalurkan luka, harap, dan imajinasi dalam bentuk paling jujur: kata-kata. Pernah menerbitkan buku solo berjudul Manuskrip Berdarah (IWP Publishing). Aktif di dunia digital, ia juga merupakan seorang ambassador di platform kreatif Bstation, serta cukup aktif menyuarakan karya dan pemikirannya di media sosial.
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi AI.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Amelia Anggi Parwati
Editor: Anita Aisyah











