Sempurna

Kesempurnaan sejati bukan tanpa cela, tapi lahir dari ketulusan dalam proses yang panjang. Dalam cinta, pengorbanan, dan keikhlasan—di sanalah makna sempurna menemukan bentuknya.

Oleh Muhammad Subhan

BANYAK yang ingin menjadi sempurna. Paras yang sempurna. Kehidupan yang sempurna. Pekerjaan yang sempurna. Cinta yang sempurna. Segalanya tampak ingin dibentuk utuh—tanpa cela.

Tapi, apa itu sempurna?

Sempurna bukan tanpa kekurangan. Sempurna bukan tanpa salah. Sempurna justru adalah ruang tempat luka, tangis, dan cela diolah jadi cahaya.

Sempurna adalah jalan panjang. Bukan titik akhir.

Kesempurnaan bukanlah hasil. Ia adalah proses. Ia adalah luka yang diterima dengan tenang. Ia adalah tangis yang tidak disangkal. Ia adalah cacat yang disadari sebagai bagian dari keutuhan.

Hanya Tuhan yang Mahasempurna.

Segala yang lain—kita, dunia, cinta, dan hidup—hanyalah serpihan. Namun, dari serpihan itulah cahaya muncul.

Kesempurnaan manusia adalah dalam ketidaksempurnaannya. Dalam jatuh dan bangunnya. Dalam salah dan maafnya. Dalam upaya dan doa yang tak pernah selesai.

Lihatlah seorang ibu. Tidur tak cukup. Tubuh yang lelah. Tapi cinta mengalir seperti sungai yang tak pernah surut.

Ia menyuapi anaknya ketika belum sempat makan. Bahkan di saat ia sedang makan tiba-tiba si anak buang kotoran. Belum selesai makanan masuk ke mulutnya, piring ia tinggalkan. Dibersihkannya kotoran si anak, setelah itu ia lanjut makan. Tak ada rasa jijik sehabis melihat kotoran.

Sungguh, kasih ibu sangat sempurna, meski di mata anak kadang tak tampak kesempurnaan itu. Ia mendiamkan tangis dengan peluk. Ia mengorbankan waktu, tenaga, bahkan dirinya—tanpa pamrih.

Apakah ia sempurna? Mungkin bagimu tidak. Kamu selalu menuntut lebih, padahal untuk dirinya sendiri ibu tak punya. Pakaian yang itu-itu saja. Perhiasan sudah habis dijual untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Tapi dalam kasih sayangnya, ada bentuk sempurna yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata atau logika. Hanya hati yang bisa meraba dan merasakannya.

Sementara itu, lihatlah seorang ayah. Berangkat pagi. Pulang malam. Kadang diam. Kadang keras. Tapi cinta yang ditanamnya dalam.

Ia mungkin tak sering berkata “aku sayang kamu.” Tapi sepasang sepatu sekolah yang baru adalah caranya berkata, “Aku ingin kamu jadi orang berguna.”

Ia mungkin tak sering memeluk. Tapi peluh di dahinya adalah tanda pelukan tak bersuara.

Kesempurnaan seorang ayah bukan pada kelembutan kata. Tapi pada kekuatan kehadirannya.

Atau seorang atasan. Yang tidak menginjak, tapi mengangkat. Yang tidak mencela, tapi mendengar. Yang tidak hanya memberi perintah, tapi memberi teladan. Yang tidak memaksakan kesempurnaan, tapi memahami proses. Ia tahu bahwa bawahannya manusia. Tanpa bawahan ia tak dapat mengerjakan pekerjaan sendirian.

Dan manusia belajar dengan jatuh. Kesempurnaan seorang pemimpin bukan pada kekuasaannya. Tapi pada ketulusannya memanusiakan orang lain.

Sempurna bukan tentang hasil. Sempurna adalah tentang terus mencoba.

Tentang mencintai meski tahu akan disakiti. Tentang memberi meski tak dibalas. Tentang bertahan meski tak dipahami.

Sempurna adalah ketika kita ikhlas. Tanpa pamrih. Tanpa ingin dipuji. Tanpa ingin dipuja.

Sempurna adalah dalam diam yang memaafkan. Dalam hati yang bersabar. Dalam tangan yang tetap memberi meski kosong. Dalam jiwa yang mencintai walau pernah dikhianati.

Kesempurnaan bukan di langit. Bukan di atas panggung. Tapi di balik dapur yang pengap. Di belakang meja kerja yang sepi. Di sela-sela doa seorang ibu. Di ujung air mata seorang ayah. Di balik punggung seorang guru. Di antara langkah seorang perawat.

Sempurna adalah ketika kasih tak menuntut. Ketika cinta tak meminta dibalas. Ketika pengorbanan tak meminta dilihat.

Sempurna bukan soal memiliki. Tapi tentang melepaskan. Bukan tentang meminta, tapi memberi. Bukan soal kuat. Tapi tentang setia meski lemah.

Ia bukan tentang menjadi yang terbaik. Tapi tentang terus menjadi lebih baik. Setiap hari. Sedikit demi sedikit. Meski jalan yang ditempuh sulit.

Ada yang ingin rumah sempurna. Lupa bahwa rumah yang sempurna bukan soal bentuk. Tapi tentang hati yang banyak bersyukur. Tangan yang saling menggenggam. Suara yang saling menenangkan.

Ada yang ingin pasangan sempurna. Lupa bahwa pasangan adalah manusia. Penuh luka. Penuh cerita. Kesempurnaan cinta adalah dalam saling menerima. Dalam saling mengobati. Dalam saling bertumbuh bersama.

Hidup bukan tentang menjadi seperti orang lain. Tapi tentang menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Yang jatuh dan bangkit. Yang lelah dan tetap berjalan. Yang menangis dan tetap berharap.

Sempurna, bukan tentang selesai. Tapi tentang setia pada proses.

Jika kesempurnaan dicari di luar sana, ia tak akan pernah ditemukan. Karena sempurna bukan terletak di mata orang lain. Melainkan di ruang paling sunyi dalam hati.

Saat luka diterima tanpa penolakan. Saat tangis dianggap bagian dari kekuatan. Saat cinta diberikan tanpa harap kembali—itulah bentuk keindahan paling murni.

Dan, pada akhirnya, kesempurnaan hadir bukan karena pengakuan. Tapi karena pilihan untuk menjadi cahaya, meski dalam keadaan gelap.

Itulah kesempurnaan sejati. Bukan yang dibanggakan, tapi yang dijalani dalam diam. Dengan hati yang ikhlas. Dengan cinta yang tak bersyarat.

Sempurna itu… diri yang terus berproses. Jiwa yang berlapang dada. Rasa yang terus tumbuh dari luka.

Dan, sesungguhnya, manusia yang sempurna adalah manusia yang utuh dalam ketidaksempurnaannya. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.

Lukisan sebagai ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan