Oleh Euis Roseliana
Nada terus melangkahkan kakinya di tepian pantai kala itu, tanpa tujuan. Entah ia mau ke mana, ia hanya tak ingin di sana. Suara deburan ombak menjadi satu-satunya suara yang membawa ketenangan bagi Nada, seakan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Pukul setengah dua dini hari, hanya ada cahaya bulan yang mengintip malu-malu dari balik awan. Langkahnya terhenti ketika mendengar suara napas yang tersengal mengejarnya.
“Maaf.” Suara yang sangat Nada kenal tak jadi alasan untuk Nada menjawabnya. Nada diam. Keputusan Malik untuk mengejar Nada kala itu mengurungkan niat Nada untuk terus melangkah, entah ke mana, mungkin bisa sampai laut selatan. Tak apa, Nada hanya tidak ingin di sana. Nada masih terdiam menunggu kalimat selanjutnya, tapi tidak ada kalimat lanjutan yang keluar dari mulut Malik. Tidak ada alasan dari kata maaf itu. Hanya hening hingga Nada memutuskan untuk duduk, menyerah. Disusul oleh Malik yang kemudian merangkulnya.
“Maaf, ya, Nad. Tidak seharusnya aku bawa dia ke sini, malam ini.” Sebenarnya dari awal Nada sudah tahu alasan dari kata maaf itu. Ia hanya ingin mendengarnya langsung dari mulut Malik dan memastikan bahwa kejadian malam itu adalah sebuah kesalahan. Malam itu, malam pergantian tahun. Sesuai agenda mereka, seharusnya merayakan malam pergantian tahun dengan bersenang-senang. Tapi tidak bagi Nada.
“Aku kira sudah tidak sakit, aku kira sudah tidak ada yang tersisa, aku kira sudah hilang,” jawab Nada.
“Kamu mengalami hal yang buruk, ini bukan pertama kalinya kamu seperti ini, Nad, lagi dan lagi. Kejadian yang sama terus berulang tapi kamu masih bisa bersedih? Sudahlah Nada, lupakan saja dia.”
“Karena aku cinta dia, Mal. Bukankah sembilan belas tahun memang yang terburuk?”
“Tidak, ini hanya egomu saja, Nad.” Nada terdiam lagi. Hanya deburan ombak yang terdengar seakan masih berusaha untuk menenangkan. Entah apa yang patah, tapi Nada merasakan sakit ketika mendengar kalimat terakhir Malik saat itu. Nada benci menyadari bahwa kalimat Malik itu benar. Perasaannya bukan lagi cinta, tapi ego sudah menguasai dirinya. Ego untuk terus menganggap sesuatu yang ia rasakan itu cinta, ego untuk terus menanggap semuanya baik-baik saja.
“Kalau aku dipenjara, kau akan menjengukku, kan? Kalau aku berubah jadi naga, kau akan tetap berteman denganku, kan, Nad?” Entah pertanyaan Malik itu serius atau hanya sekadar berusaha untuk menenangkan Nada. Nada memang tak menjawab pertanyaan Malik, tapi ia yakin Malik tahu jawabannya.
“Kalau aku bunuh seseorang, kamu masih mau kenal aku?” Pertanyaan Malik kali ini sepertinya menarik untuk Nada jawab.
“Aku juga ingin membunuh seseorang,” jawab Nada, bahkan tanpa pikir panjang.
“Sepertinya kita ingin membunuh orang yang sama, Nad.” Mata mereka saling beradu ketika Malik mengatakan hal itu.
“Lalu, bunuhlah dia,” jawab Nada, Malik tersenyum.
Seraya menatap mata Malik, Nada menangkap kehangatan dan sebuah harapan. Ucapan Malik begitu meyakinkan Nada kala itu, hampir saja Nada berkata bahwa Nada mencintainya saat itu juga. Ini aneh, bagaimana seseorang bisa jatuh cinta secepat itu kepada seseorang yang akan membunuh orang lain? Bahkan, di hari saat ia patah untuk kesekian kalinya. Mungkin Nada sudah gila.
*
Dengan pasrah Nada hanya memandang layar handphone-nya yang sejak pukul 22.08 tadi terus berbunyi. Seperti rengekan bayi yang tak kunjung ditenangkan oleh ibunya atau rengekan bayi karena merasa lapar.
Delapan belas pesan belum terbaca dan empat panggilan tak terjawab. Nada sudah tahu betul hal ini pasti akan terjadi. Sementara handphone-nya terus berbunyi, ingatan Nada terus memutar kejadian-kejadian yang terjadi akhir-akhir ini. Empat bulan setelah ia jatuh cinta dengan Malik, semuanya begitu cepat, begitu indah, dan begitu mudah.
Hingga pukul 22.59, hampir tengah malam. Nada memang berniat untuk tidak tidur cepat malam itu setelah lima hari kemarin pekerjaan mengharuskan ia tidur cepat dan datang tepat pukul 9 pagi di kantornya. Jumlah pesan belum terbaca dan panggilan tak terjawab terus bertambah. Kini sudah 32 pesan belum terbaca dan 18 panggilan tak terjawab.
Berisik, gumam Nada dalam hatinya, namun sambil tetap tak menghiraukannya. Ingatannya tak lagi memutar kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini terjadi, tapi ia mulai khawatir. Akankah semuanya baik-baik saja jika ia terus membiarkan orang yang jauh di sana mencoba untuk menghubunginya kembali? Atau perlukah ia untuk mengakhirinya? Ah, semuanya memang sudah berakhir? Pikirnya.
Hubungan Nada dengan Yanu memang sudah berakhir, entah sejak kapan. Mungkin sejak Nada dibiarkan begitu saja oleh Yanu. Mungkin sejak malam tahun baru ketika Yanu tiba-tiba muncul kembali di hadapan Nada, tetapi seperti tidak terjadi apa-apa. Atau mungkin hubungannya dengan Yanu benar-benar berakhir ketika Nada memutuskan jatuh cinta kepada Malik.
Tepat pukul 23.00, Nada tak lagi membiarkan handphone-nya berdering. Mungkin setelah ini semuanya akan terasa lebih mudah lagi, pikirnya. Sambungan telepon pun dimulai. Beberapa detik terdiam, hingga akhirnya terdengar suara dari seberang sana.
“Kau benar-benar ingin membunuhku, ya, Nad? Kau tahu betul Malik itu sahabatku, Nad.” Nada menelan ludah ketika tersadar bahwa Malik benar dengan ucapannya. Malik benar-benar membunuh Yanu dengan pergerakan dan keputusannya.
“Jawab aku, Nada. Bicaralah, kau terus tak menjawabku dari tadi. Jelaskan yang sebenarnya, Nad.” Hening, hanya ada suara dentingan jam dinding seakan menemani Yanu menunggu jawaban dari Nada.
“Yanu, sebenarnya banyak sekali hal yang ingin saya katakan, tapi saya memilih untuk membiarkan kamu tetap hidup. Jadi, kalau sekarang kamu merasa sudah mati, bukan saya yang membunuh kamu, Yanu. Kamu sendirilah yang membiarkan semuanya pergi dan perlahan membunuh dirimu sendiri.” Dengan sengaja Nada mengubah kata ganti untuk dirinya menjadi saya untuk mempertegas emosinya.
“Perasaanku kepadamu masih sama, Nada. Aku masih mencintaimu,” jawab Yanu tidak menghiraukan kalimat Nada sebelumnya.
“Bohong! Bahkan jika itu benar, aku sudah tidak peduli. Sekarang, semuanya hanya omong kosong. Cintamu yang payah itu satu-satunya kebohongan yang kupercaya dulu,” ucap Nada penuh dengan kebencian, bohong sekali jika malam itu Nada tidak merasa emosional.
“Aku tak benar-benar meninggalkanmu, Nada. Tidak ada ucapanku untuk meninggalkanmu, kan?”
“Aku sungguh tidak peduli, Yanu. Memang tak ada kalimat ‘kamu ingin meninggalkanku’, tapi sikapmu sudah cukup untuk membuatku pergi. Bahkan, tidak ada satu kalimat pun yang keluar dari mulutmu ketika kau menggantungkanku. Aku akan menunggu kamu, bahkan aku akan menunggumu selamanya jika kau minta aku untuk tetap bersamamu. Tapi apa? Berbulan-bulan tanpa kejelasan, bahkan ini bukan yang pertama kalinya.”
“Aku pikir kita sudah sama-sama cukup dewasa untuk mengerti kalau ini hanya masalah waktu saja. Kita sudah lama bersama, Nad.”
Hubungan Nada dengan Yanu memang berjalan lama semenjak mereka berusia sembilan belas tahun. Hampir lima tahun jika beberapa kali mereka tidak berpisah karena hal yang sama. Awalnya memang mudah, tapi semakin tua usia hubungan mereka, entahlah mungkin mereka berbeda.
“Iya, memang aku yang tidak mengerti, Nu. Sampai sekarang aku masih tidak habis pikir. Mungkin aku yang terlalu muda untuk mencintaimu yang kau anggap sudah dewasa itu, atau mungkin kau yang sangat payah sehingga untuk mengungkapkan apa yang kau rasakan saja tidak bisa, pengecut. Kau hanya bisa pergi, pergi, dan meninggalkanku begitu saja.” Yanu terdiam, entah merasa sadar atau sedang memutar otak menyusun strategi untuk menyerang kembali perkataan Nada.
“Kau tahu, setiap kau berkata bahwa semuanya baik-baik saja, aku berharap aku mati saja daripada harus berdamai dengan perasaanku yang sebenarnya tidak baik-baik saja. Coba kau hitung berapa kali aku mati.” Nada melanjutkan kalimatnya ketika Yanu tak lagi menjawabnya.
“Aku memang payah, tapi aku paham betul Malik seperti apa, Nad,” ucap Yanu.
“Hah, bahkan setelah semua panjang kali lebar penjelasanku tentangmu, kau tak sadar dan malah membahas orang lain. Justru itu, Nu, Malik tidak payah sepertimu. Mungkin dia tak sempurna tapi dia sangat jujur dengan perasaannya.”
Hening.
“Kamu, bahkan aku tak bisa mengatur dengan siapa aku bisa jatuh cinta lagi, Nu. Aku dan Malik saling jatuh cinta.”
Nada tersadar harus segera mengakhiri semuanya setelah beberapa detik tidak ada lagi jawaban dari Yanu. Nada mengakhiri panggilan tersebut. Empat puluh delapan menit. Selesai, Nada rasa cukup untuk semuanya.
Tengah malam, handphone Nada berdering kembali. Nada tersenyum. Kali ini tak sampai satu detik pun Nada langsung menerima panggilan tersebut. Panggilan dari orang yang akhir-akhir ini memvalidasi semua perasaanya. Orang yang membuatnya suka memakai baju warna merah muda. Orang yang membuatnya menjadi rajin memakai blush on-nya ketika ia akan pergi, dan orang yang membuatnya mengecat rambutnya menjadi warna red cherry itu.
“Belum tidur?” tanya Malik
“Belum,” jawab Nada
“Nada, semuanya baik-baik saja, kan?”
“Iya, Malik. Seharusnya aku yang bertanya, kau pasti sudah beri tahu Yanu, kan, soal kita? Apakah kalian baik-baik saja? Malik, coba jawab aku, ini keputusan yang benar, kan?” tanya Nada menggebu.
“Kita baik-baik saja, Nada. Seharusnya.”
Sebenarnya, awal perkenalan Nada dengan Malik adalah karena Yanu. Malik sering kali menunjukkan rasa simpatinya kepada Nada ketika hubungannya dengan Yanu sedang tidak baik-baik saja. Entah Nada yang bodoh atau memang tidak peka, tapi Nada selalu membiarkan hal-hal seperti itu terjadi. Mungkin untuk beberapa orang cara tersebut salah, namun mungkin juga begitulah cara dunia membantu seseorang menemukan cintanya.
“Nada?”
“Ya?”
“Mengapa? Mengapa kau mempercayaiku? Bagaimana?” Malik bertanya.
“Bagaimana? Malik, bukankah kau sendiri yang terus berusaha membuatku percaya? Ya, Malik, kau berhasil membuatku percaya.”
“Sebenarnya, dahulu, aku sempat berpikir kalaupun kau seorang pembohong, bahkan seorang pembunuh berantai pun aku tidak peduli, Mali. Toh, hatiku sudah mati kala itu. Tapi kau satu-satunya yang berjanji dan menepati. Sekarang, aku tak bisa tak peduli kepadamu, Malik,” lanjut Nada.
“Jadi, awalnya kau tidak percaya denganku, ya? Haha….” Tawa kecil Malik menyuarakan sedikit rasa kecewanya.
“Itu tidak penting sekarang Malik. Kau tahu, aku sangat benci sesuatu yang tidak terduga terjadi begitu saja, tapi sekarang kau temanku menjadi milikku adalah sesuatu tak terduga, termanis yang terjadi dalam hidupku, Malik.”
“Malik, mungkin aku tak menjawab pertanyaanmu di pantai kala itu. Tentu Malik, walaupun kau menjadi naga, aku akan tetap menjadi kekasihmu.”
Malik tak menanggapi kalimat-kalimat Nada, tapi Nada tahu betul Malik tersenyum di sana.
“Selamat tidur, Nada, aku mencintaimu.”[]
Euis Roseliana. Akuntan yang suka menulis cerpen.
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Euis Roseliana
Editor: Neneng JK
-
-
love
-
-
Sangat menyentuh Hati
proud of u buu love u🥹💗