Seandainya Chairil Anwar Berumur Panjang

Chairil banyak bergaul dengan masyarakat kalangan bawah, abang-abang becak, para pelacur, dan kuli-kuli pelabuhan.

Oleh Yoffie Cahya

SUDAH begitu banyak pembicaraan atau tulisan mengenai Chairil Anwar (selanjutnya ditulis CA), tersebar di media cetak maupun daring. Setiap tahunnya, hari kelahiran atau hari kematian CA selalu diperingati oleh berbagai pihak dan komunitas-komunitas sastra di seluruh tanah air. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat jasa CA sebagai penyair pembaharu dalam kesusastraan Indonesia. Ia telah menancapkan tonggak pembaharuan yang mendobrak tradisi lama penulisan puisi angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan Pujangga Baru, hingga ia berjuluk sebagai pelopor Angkatan ’45.

Meski sekira tiga puluh tahun kemudian ada penyair yang memperkenalkan jenis penulisan baru yang membebaskan kata dari makna (Kredo Sutardji Calzoum Bachri), namun sampai kini gaya menulis bebas yang terus dilakukan para penyair lintas generasi tetaplah merupakan “epigon-epigon” CA. Begitu mantap posisi dan ketenaran CA hingga hari kelahirannya ditetapkan sebagai “Hari Puisi Indonesia”.

Tanpa meremehkan penyair-penyair lain yang tak kurang jasanya dalam proses kreatif menulis puisi, seperti Rendra, Goenawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, nama CA tetap menempati “nomor urut satu” dalam deretan nama-nama penyair papan atas Indonesia.

Kreativitas dan Gaya Hidup

Kreativitas dan gaya hidup CA memang sangat menarik untuk dibicarakan. Karena terbatasnya ruang dan referensi tentang hal ini, pun terkait itu sudah banyak ditulis orang, maka dalam tulisan ini saya memaparkan kreativitas dan gaya hidup CA hanya “sekilas” saja.

Kondisi kejiwaan CA sebagai penyair sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi zaman sebelum kemerdekaan. Sajak-sajaknya yang penuh semangat mencerminkan pemberontakan terhadap situasi bangsa yang waktu itu sedang dicengkeram penjajah. Hal ini terbukti dengan sajak-sajaknya seperti “Antara Kerawang Bekasi”, ” Persetujuan dengan Bung Karno” dan sajak ” Semangat” yang begitu populer setelah judulnya diubah menjadi “Aku”.

Selain menulis sajak-sajak patriotik, sajak-sajak romantis CA juga sangat menyentuh perasaan pembaca, di antaranya sajak “Cintaku Jauh di Pulau”, “Tak Sepadan” dan beberapa sajak cinta lainnya.

Lebih dari itu, sajak-sajak CA juga banyak yang bertema tentang kehidupan dan kematian. Pandangan hidup CA yang filosofis melahirkan ungkapan-ungkapan berkesan, seperti: “hidup hanya menunda kekalahan/ tambah terasing dari cinta sekolah rendah/ dan tahu ada yang tak terucapkan/ sebelum pada akhirnya kita menyerah” (Sajak: “Derai-derai Cemara”).

Firasat akan hari kematiannya yang segera akan tiba, dapat kita rasakan dalam sajak “Yang Terempas dan Yang Putus”. Sebagian liriknya kita kutip sebagai berikut: “di Karet, di Karet daerahku y.a.d./ sampai juga deru angin/ aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang/.

Gaya hidup CA juga dikenal sebagai seniman eksentrik dan bohemian. Ia banyak bergaul dengan masyarakat kalangan bawah, abang-abang becak, para pelacur, dan kuli-kuli pelabuhan. Ia termasuk seorang perokok berat dan menghabiskan malam-malam dengan banyak begadang. Ia banyak membaca puisi karya para sastrawan dunia dan begitu serius menekuni puisi, hingga ia mengacuhkan kesehatannya sendiri. Gaya hidup yang seperti itulah yang mungkin menjadi penyebab ia meninggal dalam usia muda. Ia lama mengidap TBC, dan setelah dirawat seminggu di RSCM Jakarta, penyakit typhus yang menyebabkan ususnya pecah merenggut nyawa penyair itu pada tanggal 28 April 1949.

Selama hidupnya yang singkat, ia telah menulis 75 puisi, 7 prosa, 7 puisi terjemahan dan 4 prosa terjemahan. Adalah “Paus sastra”, kritikus, dan dokumentator sastra H.B. Jassin yang berjasa mengorbitkan nama dan mengoleksi sajak-sajak CA yang banyak tercecer.

Legendaris

Tulisan ini hanya akan menyimak sisi lain dari ketenaran nama atau legendarisnya nama penyair besar yang meninggal dalam usia sangat muda (27 tahun) itu.

Berangkat dari perbandingan dengan artis-artis atau seniman yang meninggal dalam usia muda, maka bisa dikatakan bahwa artis atau seniman yang meninggal dalam usia muda namanya akan cenderung lebih legendaris sepanjang masa. Dengan kata lain, jika ia berumur panjang dan terus berkarya, ketenaran nama dan pengakuan berbagai pihak akan normal dan biasa-biasa saja.

Ambil contoh, aktris Marilyn Monroe, misalnya. Artis yang kematiannya misterius tersebut dan konon punya skandal dengan presiden John F. Kennedy, namanya tetap legendaris sepanjang masa. Padahal, jika dibandingkan dengan Sophia Loren dan Elyzabeth Taylor yang berumur panjang dan berkontribusi yang jauh lebih besar terhadap perfilman Hollywood, kontribusi Marilyn Monroe “belum begitu berarti”.

Demikian juga dengan aktor ganteng James Dean dan penyair Inggris John Keats, musisi John Lennon atau Jimmy Hendrick yang semuanya meninggal dalam usia muda, nama mereka lebih legendaris ketimbang artis-artis atau seniman yang meninggal di usia tua. Seperti dikatakan di atas, hal ini mungkin merupakan kecenderungan bahwa pihak-pihak tertentu akan melegendakan artis yang meninggal di usia muda secara luar biasa. Hal ini mungkin disebabkan oleh berbagai faktor, terutama pemberitaan mengenai artis yang meninggal itu mempunyai nilai jual yang lebih tinggi atau mereka mempunyai keistimewaan dan peristiwa tertentu yang tetap menarik untuk dipublikasikan.

Di Indonesia, kita bisa mengambil contoh artis yang meninggal di usia muda, yaitu Nike Ardila. Sampai kini, masih ada komunitas yang memperingati hari kematian artis tersebut.

Demikian juga dengan Widji Thukul, penyair yang hilang tak tentu rimbanya dan diperkirakan ia sudah tiada (meninggal dunia), akan selalu dikenang sebagai penyair korban politik dan korban pelanggaran HAM. Terlepas dari segi kreativitas atau kualitasnya dalam menulis puisi, namanya melegenda sebagai penyair dan aktivis reformasi yang lewat puisi-puisinya memberikan perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Berbeda dengan banyak penyair yang kurang dikenal karena luput dari pengamatan, berumur panjang, dan terus berkarya, namun namanya tenggelam ditelan waktu, padahal kualitas karya-karyanya layak diperhitungkan.

Akan halnya dengan CA, saya kira berbagai pihak memang sudah semestinya menghormati dan menempatkan posisi CA sebagaimana yang selama ini telah kita lakukan.

Akan tetapi, dalam konteks ini saya yakin, bahwa legendarisnya CA sedikit banyak mempunyai unsur-unsur yang korelatif dengan apa yang telah saya paparkan di atas.

Berandai-Andai

Seperti judul tulisan ini, memang saya ingin berandai-andai. Saya membayangkan, seandainya CA berumur panjang, mungkin ia akan terus berkarya dengan puisi-puisinya yang lebih berbobot hingga ia benar-benar menjadi penyair besar Indonesia, “mengalahkan” Rendra, Goenawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri, dan Sapardi Djoko Damono. Mungkin ia melanjutkan karier kepenulisannya, di samping sebagai penyair, juga sebagai esais seperti Goenawan Mohamad, bisa juga ia seperti Ajip Rosidi yang menulis berbagai karya tulis tentang sastra atau menjadi jurnalis seperti Rosihan Anwar.

Karena bertambahnya usia, perubahan situasi dan kondisi zaman, segala kemungkinan bisa saja terjadi. Di samping tetap sebagai penyair, siapa tahu ia menjadi cerpenis seperti Gerson Poyk dan Hamsad Rangkuti, novelis seperti Hamka, Motinggo Boesye, atau Pramoedya Ananta Toer.

Saya juga membayangkan, berbagai pihak akan menyejajarkan namanya dengan penulis-penulis yang telah saya sebutkan di atas. Hanya memang ia diakui atau tercatat sebagai Angkatan ’45 yang mempelopori penulisan puisi Indonesia modern.

Karena ia lahir 26 Juli 1922 (102 tahun yang lalu), dipastikan kini ia sudah meninggal dunia. Dan kita mengenangnya baru dua atau tiga puluh tahun saja. Bisa dibayangkan, kita menghormati dan mengenangnya tidak se-greget seperti yang selama ini telah kita lakukan.

Kita mengenangnya seperti kita mengenang almarhum Takdir Alisyahbana, H.B. Jassin, Hamka, Rendra, Pramoedya Ananta Toer, Ajip Rosidi, Gerson Poyk, Remy Sylado, atau Sapardi Djoko Damono.

Realitas

Adalah sebuah kenyataan, CA telah meninggalkan kita untuk selamanya dalam usia muda. Seperti ungkapan dalam baris sajaknya: “Sekali berarti, sesudah itu mati”.

Kematiannya di usia muda ternyata merupakan “keberuntungan” bagi dirinya karena ketenaran namanya tetap berada di atas para penyair lain yang berumur panjang dan terus berkarya, kendati CA sendiri tidak tahu dan tidak bisa “menikmati” kebesaran namanya. Majalah Varia edisi akhir tahun enam puluhan (1968), yang sempat saya baca ketika saya masih SMP, memuat tulisan tentang CA dengan judul “Chairil Anwar, Meninggal di Saat-saat Namanya Cemerlang”. Dan ternyata kecemerlangan namanya sampai kini terus memanjang.

Keinginan CA “aku ingin hidup seribu tahun lagi”, bisa saja menjadi kenyataan, mengingat ia pelopor penulisan puisi modern di negeri kita. Ia memang lahir dari situasi dan kondisi zaman yang menekan, di tengah wajah perpuisian Indonesia yang waktu itu notabene masih konvensional.

Tanpa sedikit pun mengurangi rasa hormat dan kagum serta menempatkan CA tetap dalam posisi seperti sekarang, tulisan ini memang hanya berandai-andai dan bersifat imajiner. []

Yoffie Cahya. Penulis fiksi dan nonfiksi. Beralamat di RT. 03, RW 11, Blok Anjun, No. 04, Desa/Kecamatan Kadipaten, Majalengka.

Penulis: Yoffie Cahya

Editor: Muhammad Subhan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan