Sastra & Wisata
Pemerintah daerah perlu mengelola potensi cerita rakyat sebagai aset budaya dan promosi wisata yang bernilai ekonomi tinggi.

Oleh Muhammad Subhan
SEANDAINYA Marah Rusli tidak pernah menulis novel Sitti Nurbaya, mungkinkah jembatan megah yang membelah Batang Arau itu tetap ada?
Barangkali ada. Namun, besar kemungkinan tak akan dinamai “Jembatan Sitti Nurbaya”.
Seandainya pula novel itu tak pernah terbit, Gunung Padang di tepi muara Batang Arau hanyalah tumpukan bukit biasa. Tak lebih menarik dari bukit-bukit lain yang sunyi tanpa cerita.
Namun, berkat novel itu, Gunung Padang menjadi tempat yang sering didatangi. Orang mendaki, berwisata, bahkan “berziarah” ke pusara fiktif Sitti Nurbaya.
Pertanyaannya: benarkah ada pusara itu?
Tentu saja tidak. Sitti Nurbaya hanya hidup dalam imajinasi Marah Rusli. Ia tidak pernah lahir dari rahim siapa pun.
Namun, kisahnya mewakili kenyataan yang dialami banyak perempuan pada masa itu. Maka, Sitti Nurbaya bukan sekadar tokoh rekaan, melainkan simbol perlawanan dan harapan.
Petilasan yang disebut-sebut sebagai makam Sitti di Gunung Padang, tak lebih dari upaya menarik wisatawan. Namun, tak bisa dimungkiri: dari puncak gunung itu, lanskap Kota Padang terlihat memukau. Lautnya memesona. Garis pantainya terbentang panjang.
Lalu, siapa yang paling diuntungkan dari ketenaran nama Sitti Nurbaya?
Tentu saja para pelaku pariwisata, termasuk masyarakat Kota Padang dan Sumatra Barat secara umum. Ekonomi mereka ikut bergerak. Warung makan, penginapan, pedagang kaki lima, semuanya kebagian rezeki dari cerita itu.
Namun, sebelum Sitti Nurbaya dikenal luas, Padang sudah punya legenda yang lebih dulu masyhur: Malin Kundang.
Kisah anak durhaka yang dikutuk ibunya menjadi batu di Pantai Airmanis, telah melekat kuat dalam ingatan kolektif masyarakat. Tubuh Malin dan puing kapalnya, konon, membatu di sana.
Orang berbondong-bondong datang ke pantai itu, ingin menyaksikan langsung rupa kutukan itu. Ada rasa penasaran, ada pula emosi yang ikut terbawa saat menyaksikan bentuk batu menyerupai manusia bersujud.
Tapi pertanyaan yang sama muncul lagi: benarkah Malin Kundang pernah hidup?
Jangan-jangan batu itu hanyalah karya seniman masa lampau yang dibumbui dongeng. Kisahnya lalu diwariskan dari mulut ke mulut, disampaikan sebelum anak-anak tidur, sebagai pengingat agar tak durhaka pada orang tua.
Tak ada bukti otentik sejarah soal Malin Kundang. Namun, dampaknya sangat nyata. Kisah itu mengundang wisatawan. Memberi penghidupan.
Cerita rakyat—baik yang tertulis dalam novel maupun yang berkembang secara lisan—ternyata bisa menjadi lokomotif pariwisata. Mereka bukan sekadar kisah pengisi waktu senggang, tapi daya tarik yang mampu menghidupkan sektor ekonomi.
Masalahnya, apakah pengelola pariwisata cukup jeli melihat peluang ini?
Sayangnya, masih banyak pemerintah daerah yang tampak “kurang peduli” pada kekuatan cerita. Padahal, di tangan yang tepat, kisah-kisah itu bisa menjadi strategi promosi yang luar biasa efektif.
Lihat saja Belitong.
Ketika Andrea Hirata menerbitkan Laskar Pelangi, lalu kisah itu difilmkan, Belitong mendadak menjadi magnet wisata. Orang datang karena penasaran ingin melihat lokasi syuting, menyusuri pantai berkarang, atau sekadar merasakan suasana sekolah tempat Ikal dan Lintang belajar.
Sebelum novel itu hadir, siapa yang kenal Belitong?
Kini, daerah itu berkembang. Industri pariwisata menggeliat. Dan semua berawal dari satu buku.
Sumatra Barat sebetulnya memiliki potensi serupa.
Beberapa novel klasik telah difilmkan dan membawa efek sama: Sengsara Membawa Nikmat, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal van der Wijk—semuanya meletakkan Sumatra Barat sebagai latar yang kuat, eksotis, dan menggugah rasa ingin tahu.
Maka, buku-buku sastra dengan muatan kearifan lokal dan keterkaitan dengan daerah patut menjadi perhatian khusus. Pemerintah daerah seharusnya aktif “berjualan” melalui kisah-kisah ini.
Mengapa tidak menjadikan buku sebagai cenderamata resmi bagi wisatawan? Sebab cendera mata bukan cuma soal plakat atau gantungan kunci.
Sebuah buku bisa menghidupkan imajinasi. Bisa membawa pulang narasi sebuah tempat. Bisa menyebarkan cerita ke berbagai penjuru dunia.
Sayangnya, hal ini masih jarang dilakukan.
Bila pemerintah serius, mereka bisa mulai dari hal sederhana: mendata dan mencetak ulang karya-karya pengarang lokal. Lalu menyusunnya sebagai paket wisata literasi. Bisa juga membuat monumen-mini atau papan cerita di lokasi legenda, sebagai penanda sekaligus alat promosi.
Cerita rakyat bisa dialihmediakan menjadi film pendek, animasi, komik, atau pertunjukan seni. Semua ini memperkaya pengalaman wisatawan dan memperkuat identitas daerah.
Jika digarap serius, potensi ini bisa menjadi sumber pendapatan sekaligus pelestarian budaya. Dan yang terpenting: masyarakat ikut merasakan dampaknya secara langsung.
Kepedulian terhadap sastra lokal harus menjadi perhatian para pemangku kebijakan.
UNESCO bahkan pernah memberikan penghargaan kepada A.A. Navis, penulis besar dari Padang Panjang. Hari kelahirannya dijadikan peringatan dunia. Nama Navis pun berkibar. Orang pun semakin tertarik mengunjungi kota kelahirannya—meski di kota kelahirannya sepi dari perayaan Navis..
Inilah kekuatan cerita. Inilah kekuatan narasi.
Ketika kisah dibaca, didengar, dan diceritakan kembali, sebuah daerah tidak hanya menjadi tempat di peta. Ia menjadi ruang hidup yang penuh makna, daya tarik, dan harapan.
Dan dari sana, pariwisata yang manusiawi pun tumbuh. Bersama masyarakatnya. Bersama ingatan kolektifnya. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, dan founder Sekolah Menulis elipsis.
Lukisan sebagai ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Muhammad Subhan