Sastra: Merawat Ingatan, Mengukir Peradaban
Sastra menjaga ingatan kolektif bangsa agar tidak terhapus zaman.
Oleh Muhammad Subhan
I
SEJAK 2013, tanggal 3 Juli, diperingati sebagai Hari Sastra Indonesia, merujuk pada hari lahir Abdul Moeis, sastrawan asal ranah Minang yang lahir di Sungaipua, Agam, Sumatra Barat. Abdul Moeis tokoh pejuang yang bukan hanya penulis, tetapi juga wartawan, politisi, dan perumus arah kebangsaan di masa kolonial.
Ada pertanyaan, mengapa Abdul Moeis, bukan Chairil Anwar atau Pramoedya Ananta Toer, atau tokoh lain yang ditetapkan pemerintah dan mengabadikan hari lahirnya sebagai Hari Sastra Indonesia?
Pendapat saya, ini pilihan yang sangat tepat. Abdul Moeis bukan sekadar pengarang “Salah Asuhan”, sebuah novel penting yang memotret benturan peradaban Timur dan Barat, konflik identitas bumiputra di bawah bayang-bayang kolonialisme, dan kegelisahan sosial yang membelah masyarakat Hindia Belanda pada masa itu. Abdul Moeis hadir bukan hanya di ranah sastra, tetapi juga menapaki jalan pergerakan nasional. Ia terlibat dalam Volksraad, aktif di Sarekat Islam, bergerak di jalur jurnalistik, dan kemudian ia meyakini bahwa pena harus diiringi tindakan nyata.
Chairil Anwar memang simbol Angkatan ’45. Puisinya merombak bentuk, bahasa, dan semangat sastra Indonesia. Ia meledakkan kata dengan intensitas personal yang memukau. Namun, Chairil lebih dominan di ranah puisi, bukan prosa panjang yang di awal abad ke-20 menjadi senjata ampuh membangun pembaca lintas kelas sosial.
Sementara Pramoedya Ananta Toer, kita semua mengakui, ia raksasa sastra Asia, pengarang “Tetralogi Buru” yang mendunia. Namun, sejarah masih menempatkan Pram dalam ruang kontroversi politik pasca-1965. Nama Pram, sayangnya, masih sering diperdebatkan. Menetapkan tanggal lahirnya sebagai Hari Sastra Indonesia berisiko memecah persepsi publik, padahal sastra semestinya merangkul semua pembaca.
Karena itu, Abdul Moeis menjadi pilihan yang relatif netral. Ia penulis, pejuang, jurnalis, intelektual, sekaligus perumus identitas nasional pada masa awal kebangkitan. Tanggal lahirnya adalah pengingat bahwa sastra Indonesia tidak lahir dari menara gading, tetapi tumbuh bersama pergulatan sejarah, penindasan, perlawanan, dan perumusan siapa kita sebagai bangsa.
II
DI MASA LALU, sastra Indonesia pernah mencapai kejayaannya pada era buku cetak, koran, dan majalah. Percetakan-percetakan rakyat, kios buku, lapak-lapak kaki lima di pasar, sampai majalah anak-anak di sudut perpustakaan sekolah, semuanya menjadi muara dari saluran kata. Penyair, cerpenis, novelis, esais, penulis naskah drama, tumbuh dari ruang-ruang cetak itu. Siapa yang tidak kenal nama-nama seperti Armijn Pane, Idrus, Mochtar Lubis, NH Dini, WS Rendra, Taufiq Ismail, Motinggo Boesje, Wisran Hadi, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono—nama-nama yang mewarnai halaman-halaman koran dan majalah mingguan yang kita rebut di kios setiap hari Sabtu atau Minggu pagi.
Era buku cetak dan koran adalah era di mana kata-kata menjejak, di mana pembaca menunggu terbitan baru dengan penuh antusias. Kata-kata tidak hanya dibaca, tetapi dikliping, dijilid, diwariskan, juga didiskusikan di ruang-ruang pertemuan.
Tetapi kini, kita memasuki babak baru: era digital. Laman web sastra, e-book, blog, platform media sosial, sampai aplikasi baca daring, menawarkan ruang-ruang baru bagi kata-kata. Seolah segalanya menjadi lebih mudah. Siapa saja bisa mempublikasikan tulisan dalam hitungan detik. Siapa saja bisa jadi “penulis”. Namun, di balik kemudahan itu, kita menghadapi paradoks: ledakan informasi sering menenggelamkan karya yang sungguh-sungguh lahir dari perenungan dan pencarian artistik.
III
HARI INI, kita juga berhadapan dengan tantangan kecerdasan buatan, atau akal imitasi, atau dalam istilah populer artificial intelligence (AI). Algoritma tak hanya merekomendasikan buku, tetapi kini bisa menulis puisi, cerpen, bahkan esai. Tentu, AI tidak punya ruh pengalaman manusia. Namun, di hadapan pembaca yang makin pragmatis dan serba instan, apakah kita yakin kata-kata yang lahir dari batin manusia akan tetap dibaca dengan setia?
Di sekolah-sekolah, apresiasi sastra juga menghadapi tantangan yang tidak ringan. Kurikulum kadang menjadikan sastra sekadar pelengkap materi pelajaran bahasa. Padahal, melalui puisi, cerpen, drama, dan novel, anak-anak diajak menumbuhkan empati, imajinasi, dan kepekaan sosial. Sastrawan seolah disapa hanya sebagai nama dan tahun lahir, bukan melalui karya dan pergulatan zamannya. Celakanya, perpustakaan sekolah minim dari buku-buku pengayaan sastra, majalah dinding jarang diperbarui, majalah sekolah tak sepenuhnya terbit—antara hidup segan mati tak mau—,lomba-lomba apresiasi sastra pun makin langka. Gerakan literasi sekolah kerap berhenti pada seremonial, belum sungguh-sungguh menjadikan literasi sebagai jalan merawat ingatan.
Maka, di sinilah peran kita, para penulis—dalam hal ini sastrawan, seniman, budayawan, penyair, wartawan—termasuk pembaca, pegiat literasi, komunitas sastra, guru, dan pengambil kebijakan, untuk terus menyalakan api revolusi. Kita tidak bisa semata-mata meratapi kemunduran minat baca. Kita harus merancang strategi agar sastra menemukan bentuk dan jalannya di era baru. Generasi digital tetap perlu disentuh dengan kata yang hidup, bukan hanya terpaku pada emoji atau caption pendek di beranda media sosial. Ruang-ruang dialektika yang beberapa dekade terakhir menghiasi media massa kita dengan berbagai percikan pemikiran dan permenungan harus tetap ada, tetap hidup, sebagai upaya merawat pikiran dan harapan.
IV
SASTRA Indonesia di masa depan tidak boleh mati. Justru di era serbacepat dan serbainstan inilah sastra harus jadi ruang jeda: ruang merenung, merasakan, dan menghidupkan nurani. Sastra merawat ingatan. Sebab apa arti peradaban tanpa ingatan? Bangsa yang tak ingat sejarah, tak ingat luka dan bahagia masa lalu, akan mudah diombang-ambingkan gelombang zaman.
Sastra juga mengukir peradaban. Dari kata, kita membangun kesadaran. Dari kata, kita menulis ulang sejarah yang selama ini direduksi. Dari kata, kita membangunkan mereka yang diam. Dan dari kata, kita menyiapkan generasi penulis baru—generasi yang barangkali tidak lagi terpaku pada kertas, tetapi tetap menjaga bara kejujuran, keberanian, dan kebaruan.
V
TUGAS kita hari ini bukan hanya membaca karya Abdul Moeis, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, dan para sastrawan terdahulu sebagai masa lalu yang usang. Kita harus menafsir ulang, menghidupkan gagasan mereka di ruang-ruang diskusi: di kafe, di sekolah, di panggung teater, di podcast, di video pendek, di lini masa digital, dan pada media-media terkini lainnya.
Hari Sastra Indonesia 3 Juli adalah pengingat bahwa sastra tidak lahir di ruang kosong. Ia lahir dari jerit rakyat tertindas, dari gelora kemerdekaan, dari denyut kebudayaan lokal yang diperas menjadi kata-kata universal. Kita berutang pada kata-kata. Dan dengan kata-kata pula, kita melunasi utang kita pada generasi mendatang.
Mari kita jaga kata-kata agar tak tergerus zaman. Mari kita kawal sastra agar tetap hadir di ruang-ruang belajar anak-anak kita. Mari kita baca, kita tulis, kita diskusikan sastra—karena lewat sastra kita merawat ingatan, dan dengan itu pula kita mengukir peradaban. []
(Esai ini merupakan bagian dari Orasi Budaya bertajuk “Sastra: Merawat Ingatan, Mengukir Peradaban”, dengan sejumlah penyuntingan, dibacakan pada perayaan Hari Sastra Indonesia ke-12 di ArtCafe Jam Gadang, Kota Bukittinggi, Ahad, 6 Juli 2025, malam.)
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah











