Sakit

Di balik nyeri yang mendera, sakit membawa pesan tersembunyi: tentang batas manusia, tentang kesabaran, dan tentang kesyukuran.

Oleh Muhammad Subhan

Sakit. Kata yang singkat. Lima huruf yang membentuk rasa nyeri, linu, pedih, atau sekadar tidak enak badan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sakit berarti ‘berasa tidak nyaman di tubuh atau bagian tubuh karena menderita sesuatu’. Bisa karena demam, bisa karena patah hati.

Bisa karena tubuh yang lelah, bisa pula karena jiwa yang remuk.

Tubuh yang sakit adalah sinyal. Sebuah pesan dari raga kepada pemiliknya.

Ia berkata lirih, “Berhentilah sejenak.”

Ia memberi peringatan, “Ada yang harus diperbaiki.”

Sebab tubuh bukan mesin. Ia bukan besi yang bisa terus bekerja tanpa keluhan.

Ia punya batas. Ia meminta haknya: istirahat.

Mengapa tubuh sakit?

Ilmu medis menjelaskan: virus, bakteri, gangguan imun.

Sains menyuguhkan teori.

Tapi tasawuf dan filsafat membaca sakit sebagai bahasa lain.

Sebuah pertanda. Sebuah teguran. Sebuah kesempatan.

Ada keyakinan bahwa sakit menggugurkan dosa. Seperti hujan yang membasuh debu di atas batu.

Setiap nyeri, setiap demam, setiap rintihan adalah penghapusan.

Bukankah manusia sering lalai?

Sibuk mengejar dunia, lupa pada yang hakiki.

Lalu sakit datang. Memaksa diam.

Memaksa istirahat. Memaksa merenung.

Saat sakit, manusia belajar sabar. Tubuh tak bisa dipaksa.

Mau melawan, tenaga tak ada.

Mau bergegas, langkah terseok.

Maka, satu-satunya pilihan adalah menerima.

Dan, di situlah ujian. Apakah akan merutuki keadaan? Ataukah berserah dengan hati yang lapang?

Sakit mengajarkan ketabahan. Bukan hanya bagi yang sakit, tapi juga bagi yang merawat.

Seorang ibu yang terjaga semalaman di samping anaknya yang demam. Seorang teman yang datang membawa doa.

Di sana, ada ketulusan. Ada kasih yang tanpa pamrih.

Sakit menuntun manusia pada makna kekuatan. Bukan kekuatan fisik, tapi kekuatan jiwa.

Mereka yang berjuang melawan kanker, mereka yang bertahan dalam derita kronis, mereka yang tetap tersenyum meski tubuh tak lagi utuh.

Bukankah itu kekuatan sejati?

Tidak semua luka terlihat di permukaan.

Ada sakit yang diam. Ada sakit yang tak berdarah, tapi lebih pedih dari luka terbuka.

Lalu, renungan datang.

Betapa tubuh yang dulu sehat, kini ringkih. Betapa nikmat bisa berdiri tegak, bisa melangkah tanpa nyeri, bisa makan tanpa mual, sering diabaikan.

Barulah ketika sakit, kita sadar: Hal-hal kecil itu ternyata anugerah besar.

Sakit adalah pelajaran keilahian.

Di puncak demam, di malam-malam yang sunyi, di antara kantuk yang tak kunjung datang, manusia bertanya:

“Mengapa aku?”

“Untuk apa ini?”

Lalu perlahan, ia ingat. Ada Yang Maha Mengatur. Ada Yang Maha Menyembuhkan. Ada Yang Maha Lembut dalam setiap ujian.

Tapi manusia sering keras kepala. Ia hanya ingat Tuhan saat sakit. Saat sehat, ia berlari lagi. Mengejar dunia, menumpuk ambisi, melupakan hak tubuh, mengabaikan hak jiwa.

Hingga sakit datang kembali, sebagai pengingat. Sebagai tamu yang tak pernah diundang, tapi selalu membawa pesan.

Dan akhirnya, sakit mengajarkan satu hal yang paling penting: Hidup ini fana.

Sehat bukan selamanya. Kuat bukan selamanya.

Suatu hari, semua akan lumpuh. Suatu saat, semua akan berhenti. Lalu apa yang tersisa?

Mungkin sakit adalah cara Tuhan menyentuh hati manusia.

Dengan perih, agar kita merasakan.

Dengan lemah, agar kita mengerti.

Dengan sepi, agar kita kembali.

Maka, saat sakit datang, jangan hanya mengeluh. Dengarkan. Renungkan. Ada pesan di dalamnya.

Pesan itu, terkadang menerbitkan air mata. Terkadang mendatangkan penyesalan. Terkadang pula, apa yang sudah ada di genggaman terasa tak lagi berguna.

Tentu, yang dibutuhkan si sakit adalah sehat. Sehat itu mahal.

Sebelum sakit merenggut kenyamanan, hargailah sehat selagi ada. Jadikan setiap keluhan sebagai pengingat, setiap rasa perih sebagai pelajaran, dan setiap napas sebagai anugerah.

Karena pada akhirnya, sehat bukan sekadar keadaan, tetapi juga kesyukuran. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan