Winar Ramelan. Lahir di Malang, 5 Juni. Kini tinggal di Denpasar, Bali. Puisinya terangkum dalam antologi tunggal Narasi Sepasang Kaos Kaki (2017), Mengening (2020), Dongeng Latisha (2023), dan lebih dari 60 antologi bersama, antara lain antologi dwi bahasa, Indonesia-Bolivia, antologi Sembilan Negara, Puisi di Tanah Cahaya (HPI, 2022), Raja Kelana, Antologi Puisi-12 DNP. Karyanya juga dimuat di berbagai media cetak daerah maupun nasional dan media online seperti harian Pikiran Rakyat, Banjarmasin Post, Dinamikanews, Bali Pos, harian Nusa Bali, Suara NTB, Radar Malang, Suara Sarawak Malaysia, majalah Homagi Internasional. Kontributor di majalah wartam, masuk lima besar Anugerah Sastra Apajake, sekarang bergiat di Komunitas JKP Jatijagat Kehidupan Puisi.

YANG TAK MENGENAL MUSIM

Ia yang tiba saban waktu
Atas sedih, bahagia dan haru
Mengaruskan bening
Sungai rasa menjadi hulu

Ia adalah syair puisi tanpa aksara
Bahkan senandung nyanyian
Atau irisan luka
Yang menyayat kedalaman
: ia adalah keluguan manusia

Ia pun tak mengenal musim
Panen raya atau paceklik
Suka atau duka
Awal atau akhir

Ia menjadi ayah yang menenangkan
Menjadi ibu yang menimang
Menjadi kakak yang memegang tangan ini
Menjadi adik yang mengajak bercanda
Menjadi musuh menguliti harga diri
: ia adalah air mata

Denpasar 2024

BERTEMU TUHAN DI DAPUR

Hampir setiap pagi aku merasa bertemu Dia di antara putihnya gula dan hitamnya kopi
Atau ada di lentik api yang kadang biru kadang kuning keemasan
Bahkan ada di golak air mendidih
Lalu tersenyum padaku ketika aku menuang air ke dalam gelas isi gula dan kopi
Setelah mengaduk aku pun membalas tersenyum
“wangiii”,

Tuhan, benar benar wangi pagi ini dan kemarin-kemarin
Esok dan esoknya lagi pasti wanginya tak luntur
Yang selalu membuat aku tersenyum

Denpasar, Mei 2024

BERKENALAN DENGAN ABJAD

Mungkin benar kata orang
“Tak kenal maka tak sayang”
Maka sedari bocah dipaksa aku untuk berkenalan
Memahami garis dan lekuk serta namanya
Sampai tiba rasa penasaran itu
Hingga akhirnya jatuh cinta
Memanggilnya lirih, bergumam bahkan berteriak

Nyatanya, dengan mencintainya tak menjadi sia sia
Aku bisa mengajaknya kencan setiap saat
Dengan meramunya sepanjang waktu
Untuk menjadi puisi atau prosa
Pantun juga peri bahasa

Namun, abjad-abjad itu kadang berlari ketika ingin kurangkai
Tak mau menjadi bait atau paragraf
Mereka sembunyi bersama tumpulnya ide
Maka puisi dan prosa pun tak pernah jadi

Denpasar, Mei 2024

Penulis: Winar Ramelan

Editor: Likin At Tamimi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan