Mustofa W, Hasyim lahir di Yogyakarta 17 November 1954, bergabung dengan komunitas sastra Malioboro Persada Studi Klub yang diasuh Umbu Landu Paranggi, kemudian mengirim puisi ke bebagai media di Yogyakata, Semarang, Surabaya, dan Jakarta. Kumpulan puisinya ada 10 judul di antaranya Perang yang Damai (Interlude), dan Di Antara Para Wali (Diva). Tinggal di Yogyakarta menjadi Ketua Studio Pertunjukan Sastra Yogyakarta dan anggota Perkumpulan Seni Sastro Mbeling, Yogyakarta.
Di Antara Lipatan Langit
Di antara lipatan langit yang rumit
kutemukan lagu lagu wingit
ketika nenek moyang lelah bertempur
mereka mandi kata kata menghibur
lalu mengajak bayi bayi
yang selamat dari perang
menanam senyuman
yang pernah menghilang
lagu lagu wingit berubah
menjadi lagu dolanan
menyadarkan kalau hidup
hanya permainan bayang bayang
dengan banyak tipuan
Di antara lipatan langit yang lain
tersembunyi lagu kemarahan
manusia yang terluka
oleh penindasan yang berkepanjangan
ketika yang menindas pun lebih terluka
karena sabana hati menghitam
terbakar oleh kemaraunya sendiri
mereka menangisi waktu
untuk menyirami ruang
yang pernah mereka hisap harapan
sampai ke sudut sunyi tersembunyi
lagu kemarahan pun mencair
menjadi lagu penuh sindiran
tajam dan segar
seperti kata seorang Buya
yang pernah menemani anak muda
Di lipatan langit lain
segalanya berlangsung sederhana
lagunya ditiup seruling kerinduan
a’tini al nay Fairuz Libanon
pohon pohon gemetar mendengarnya
rumput rumput memperbarui cintanya
pada semut pengembara
Ya lipatan langit masih terus menyimpan
lagu dan misteri
dan bayi bayi Palestina
mampu mendengarnya
lagu pembebasan
lagu pembebasan dari luka nganga
dari senjata
kekerdilan bangsa tetangganya.
3 Januari 2025
Baca juga: Sajak-sajak Riki Utomi
Melompati Cakrawala
Melompati cakrawala demi cakrawala
seorang pemburu sunyi menemukan
jernihnya gelombang cinta semesta
Ia termangu lalu terus menerobos
cakrawala cakrawala berikutnya
ketemu pemandangan tanpa warna
sekaligus penuh warna
Ia nekad terus mengembara
menerobos cakrawala
seperti tidak ada putusnya
tiba tiba dia terhenyak melihat Dewa Ruci,
Nabi Khidlir dan Semar sedang ngobrol
di bawah pohon talok yang rimbun
sambil menikmati wedang teh jahe.
“Lho, dari mana datangnya wedang teh jahe ini?
‘kan di alam ini tidak ada kebun teh,
sawah jahe dan pohon kelapa
yang menghasilkan gula?”
tanya pengembara bernada protes.
Tiga sosok itu tertawa terbahak bahak
“Buat apa kau melompati seribu cakrawala
kalau asal usul wedang teh jahe ini
kami tidak tahu,” sindir Nabi Khidlir
“Apakah kau nglindur tanpa kesadaran
ketika mengembara?” tanya Dewa Ruci.
“Dadi Wong Jawa kok ora sekti ya kebangeten*
Sampeyan iki,” tegur Semar lalu tersenyum ramah
Pengembara itu malu bukan main
Dengan kepala tunduk ia kembali ke rumahnya
Sampai di halaman rumah dia ditegur Eyang Juru Mertani,
“Dadi wong Jawa kok nglokro lan mutungan. Ora pantes.”*
“Lantas saya harus bagaimana, Eyang?”
“Hayo ikut saya. Saya ajari kitab alif ba ta
urut dan tertib mau?”
“Mau, Eyang.”
Dia takjub, dengan membaca
dan melaksanakan isi kitab alif ba ta dia
bisa menemukan cakrawala cakrawala
di dalam diri sendiri ternyata amat luas
di situ dia ketemu Dewa Ruci sedang main biji sawo
“Lho mbah Nabi Khidlir dan Eyang Semar di mana?”
“Di sana di cakrawala lebih dalam lagi.
Keduanya sedang main catur, lho. Jangan diganggu.”
Pengembara bingung sekali
Untung muncul Eyang Juru Mertani
mengajaknya mengaji kitab Sastra Gending.
Apa lagi iki? Gumam Pengembara
“Lho kitab Sastra Gending ini
bisa menyelamatkan dan membebaskan kamu
dari cengkeraman zaman Edan. Kamu percaya?”
“Percaya, Mbah.”
Malam terasa dini hari
dan pengembara lupa kantuknya.
4 Januari 2025
- Jadi orang Jawa kalau tidak sakti keterlaluan
- Jadi orang Jawa jangan lesu dan mudah patah hati, tidak pantas
Baca juga: Sajak-sajak Yeni Purnama Sari
Mandi Air Kesadaran
Mandi air kesadaran di bawah pancuran rindu alangkah segarnya waktu dan alangkah jernih ruang bertemu. Bisikanmu meresap dalam pori pori jiwa. Terasa ada lagu meniti rambut serabut harapan. Sebuah lagu penyembuh luka perjalanan yang tak terlupakan. Sungguh mandi air kesadaran di bawah pancuran rindu membuka pintu lapisan hati demi hati. Aku menggigil kedinginan, untuk sementara karena hawa dari semacam magma cinta berembus dari kedalaman pedalaman yang sunyinya justru mulai mendidihkan semua nada. Huruf huruf menari berputar putar lembut membentuk cahaya yang makin lama makin terang terawanglah kasunyatan diri.
2025
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Mustofa W, Hasyim
Editor: Ayu K. Ardi