Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis, menetap di pinggir Kota Padang Panjang, Sumatra Barat. Lahir di Medan, 3 Desember. Buku kumpulan cerpennya; Jalan Sunyi Paling Duri (2022) dan Bensin di Kepala Bapak (2020). Buku puisinya; Percakapan Marapi (2024), Tungku Api Ibu (2023), dan Kesaksian Sepasang Sandal (2020). Novelnya; Rumah di Tengah Sawah diterbitkan Balai Pustaka (2022). Ia penulis undangan Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2017. Esainya tiga terbaik Festival Sastra Bengkulu (2019) dan puisinya tiga terbaik Banjarbaru Rainy Day Literary Festival (2019). Beberapa puisinya dialihwahanakan menjadi lagu dengan iringan musik klasik oleh pianis bertaraf internasional, Ananda Sukarlan. Instagram: @muhammadsubhan2

MUARA YANG TAK
LAGI MENUNGGU

Aku telah datang
dengan kesetiaan
seperti embun
yang tak pernah
alpa. menyentuh daun
di pagi buta.

Tapi kau memilih pergi
dengan sesal mengabu
seperti camar kehilangan
angin. langit kehilangan biru.

Aku menunggu di tepi waktu
membawa harap seperti sungai
yang setia mencari-cari laut, di mana
—tapi kau hanyut, menjadi arus
yang alpa ke muara.

Kini langkah kakimu
menjadi guratan di pasir senja
sementara aku masih berdiri
di sini, memandang ombak
yang menghapus jejak
segala yang pernah ada.

Ladang Tebu, 2025

PINTU

Jika kau ragu
jangan sekali-kali
mengetuk pintu
atau menjejak tangga
sunyi. di rumah ini.

Angin di baliknya
tak selalu ramah
kadang ia bisikkan
harap, kadang pula
sesatkan langkah kakimu.

Jika kau gentar
jangan biarkan tanganmu
gemetar, menyentuh kenop
yang dingin, sebab tak semua
yang terbuka harus
kau masuki palungnya.

Ada pintu yang membawa
cahaya, ada yang menyimpan
gelap, ada yang menjahit luka
ada yang mengundang bahagia
ada yang menghapus jajak-jejak
agar kenangan tak kembali lagi.

Jika kau masih ragu
berdirilah di ambang waktu
biarkan hatimu yang mengetuk
dan dengarkan bisik takdir
sebelum segalanya berakhir.

Ladang Tebu, 2025

DALAM HENING
AKU KEMBALI

Memasuki bulan
suci-Mu, aku susuri jejak
sunyi di pelataran takdir
ragu menjelma kabut
di ufuk kalbu, sebab telah lama
aku tersesat di labirin entah
membiarkan nurani lapuk
dalam lorong waktu.

Aku hanyalah debu
di pusaran kasih-Mu
yang tak pernah jeda
Kauberi segala, meski Kautahu
dosa-dosaku altar yang
menggunung dan kau tak
pernah lelah merentangkan
pelukan Cinta Yang Amat Maha.

Rabbi, di sunyi malam-Mu,
kutemukan lagi rindu yang sujud
pada kepasrahan, kusebut asma-Mu
dan biarkan hatiku tenggelam
sepenuh syahdu dan khusyuk
hanyut dalam cahaya-Mu yang abadi.

Ladang Tebu, 2025

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan