Budhi Setyawan, atau Buset. Penyair kelahiran Purworejo, Jawa Tengah. Bekerja sebagai dosen di PKN STAN, menyukai musik dan puisi. Buku puisi terbarunya: Elegi Elegi Yogya (2024). Mengelola komunitas Kelas Puisi Bekasi (KPB). Saat ini ia tinggal di Bekasi, Jawa Barat.
Bara Shinta
1/
o, unggun api, aku datang padamu
karena nyaliku lebih keras dan panas
dari segala yang bara
2/
aku tak akan bersimpang
dari jalan yang telah dituliskan
langit lewat air mata bulan
maka,
bakar, bakarlah tubuhku
lumat, lumatlah ruhku
agar tatapan yang panah di sekelilingku
puas atas segala penantian
sebagai penyaksi musim
menunggu terbit buah dari kutuk
namun kudirikan
seluruh ketulusan
atas nama kesucian sabda
pijar doa di puncak gunungan
dan di ujung sembahyang
maka,
api, teduhlah demi kesetiaan yang
belum terbaca nyalang pandang
dan berikan lumur ranum
bagi wangi napasku
biar kualamatkan sari panasmu membakar
keraguan di jantung rama
yang bertunas oleh bayang
dendam cinta rahwana
dan semua naluri kelelakian
dalam kerdil dunia
bukankah tak ada
bau daging terbakar
setelah api padam diri
dan pandangan mereka
adalah panah yang bengkok
oleh badai hujan baja
dan mulut seperti gua
tersedak ketajaman takjub
karena yang menegak sibakkan abu
perempuan berparas pagi berembun
di luar segala cangkang duga
3/
o, sukma api,
bersemayamlah dalam jantungku
karena akan selalu kukobarkan nyala
segala yang putih berjiwa
Bekasi, 2014
Tengara Mantra Kunti
perempuan itu hanya tergugu
setelah curah renjana menggelegak
pada sebuah siang yang telanjang
“aku tak sengaja memanggilmu
hanya kuikutkan mantra mendesak jantung:
seperti sebuah larik nyanyi sepi
seperti riak air kolam pada tepi”
“tapi yang kaurapal tadi
telah membangunkan kemudaanku
cercah kama yang nyaris kulupakan
dan hanya padamu kulepaskan”
“ternyata kita berdua tak kuasa
untuk menahan getar dari sekerling cinta
hingga tercipta sebuah dunia”
“biarlah benih itu tumbuh
karena ia bukan alamat sekumpulan tuduh
dan di tubuhnya mengalir keberanian rindu
yang sebelumnya kita upacarakan
dalam peleburan deru”
“nanti ia akan lahir lewat telingamu
seperti mantra yang kausebut nyanyi
dan menjadi setapak sunyi takdirmu”
ketika matahari telah pulang
ada sisa senja berwarna tembaga
serta langit tertegun berkaca kaca
di dalam telinga perempuan itu
bertukar pendar sorak dan jerit meriuh
seperti kecamuk di sebuah pertempuran
lalu air matanya menjadi derai
tak sampai sampai untuk melerai
riwayat getir anak anaknya
Jakarta, 2019
Raksi Banowati
taman itu teramat pengap
bunga tak pernah mekar
kolam beku dan ikan kesedihan
menjadi penghuni alam kelam
dirimu yang kerap diam
melebihi batu
yang megar adalah anganmu
dengan kobar bagikan ranum harum
menguar liar pada sekitar
kau pun bertanya sendiri
adakah sebenarnya jodoh
atau hanya seloroh bodoh
sebagai pelarian dari alibi
terdesak pacak anomali
dan hari selalu malam
dengan sebuah lampu menyala di kejauhan
di paras lelaki yang lepaskan panah
menancap dalam ingatan
hingga kau sering terkesiap
tersimpan dalam gugusan tahun
dan terus kautahan
bagimu kelegaan di kamar rias dulu itu
menjadi sajak yang meminta
perulangan lebih dalam dan makin berisi
dari sekadar repetisi
tak ada jalan lain selain menanti
sampai sengketa terbuka
menetas dari kitab ramalan
yang mendekatkan campuh pertempuran
yang menjauhkan segala pelukan
dalam dirimu terbelah kisah
dua sosok kaucipta
dari rancung kubu pertarungan
antara raga dan cinta
kau pun masih berdiri di antara dua musim
yang tengah berhadapan
kemarau yang siramkan dahaga
dan hujan yang belum juga tiba
dalam riang rangrangan
nanti seusai gemuruh perang
hilang dan hanya sisakan arang
kau akan bersamanya
menjadi kayu kekal memanaskan tungku
menanak gebu
tetapi kau tak pernah tahu, banowati
waktumu tak lagi panjang
ada endus anak kuda yang mencalang
setelah songar penolakan dulu tak kausadari
telah menjelma sehunus belati
: lalu tumpaslah wangi perapian
sebelum menjadi
Bekasi, 2020
Drama Drupadi
setiap orang tak bisa menentukan
pada muasal keberadaan
juga kau
yang terbit dari tengah bara pemujaan
akankah kegembiraan
merekah dari kerjap dendam
sementara ruas ruas waktu
berisi mata tikam
berkejaran di lingkar khayal
sendirian
tetapi kau bukan perempuan sepi
tak pernah berada di tepi
malar kauarung arena tarung
awal rasian memilih sasaran
dari sayembara busur
yang membisikkan arah umur
meski tak kuasa kautampik
sabda ibu memecah getar
ke dalam lima warna pelik
jentera buah aduan yang memusar
kau pun tahu
tubuhmu bukan sisi mata dadu
bagian permainan peluang
saat dilontarkan sembarang
lantas kau lepaskan kata
yang lebih tajam dari tombak
mengoyak tembok diam
hingga bermunculan liang
untuk meloloskan diri
dari keriap napas beringas
karena kekar pelindung
telah leleh dan menguap
lalu lindang landai
pun wajah wajah tua
kehilangan bahasa
di pertaruhan yang lecat
lebih dari lendir belut
dalam ruangan penuh kabut
lapis lapis kain di tubuhmu tak kunjung terbuka
terbuat dari anyaman petala doa
dari jejak renik cakra musim
hingga keselamatan bermukim
namun kau tetaplah sekuncup nyala
kelopakmu akan mencacah gelap
dengan nyali membakar
suara suara dari lingkar seringai berkoar
setelah keramas keramat itu
dan urai rambut kembali tergelung
seperti tersambung lagi kisah
yang dulu rinai berserakan
tak terjamah
meski pada akhirnya
selepas gaduh reda
kau malah bertanya
ini semua untuk apa
ini semua demi siapa
dan hanya ada hitam sepah
dari remah sumpah
Bekasi, 2020
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi AI.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Budhi Setyawan
Editor: Muhammad Subhan